close
FeaturedKebijakan

Indonesia Gagal Penuhi Komitmen Global 2020 dalam Kendalikan HIV-AIDS

merlin_151469118_4f4cd05f-cf24-4279-858b-097dd84bf3d9-articleLarge
Ilustrasi: Julianna Brion/New York Times

Indonesia turut menandatangani deklarasi politik untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada 2030 nanti. Penandatanganan itu dilakukan dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi PBB pada 2016.

Deklarasi mencakup target yang harus dipenuhi pada 2020, yaitu: 90 persen pengidap HIV tahu mereka tertular; dari yang sudah mengetahui dirinya mengidap HIV, 90 persennya mengikuti terapi antiretroviral (ARV); dan 90 persen peserta terapi sudah tidak terdeteksi adanya HIV dalam tubuh mereka. Target ini dikenal sebagai 90-90-90.

Kementerian Kesehatan RI pada 2016 memperkirakan terdapat 640.433 orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia.

Di kuartal ketiga 2020, Kementerian Kesehatan RI melaporkan 409.857 orang tahu dirinya mengidap HIV. Tapi, baru 139.585 pengidap yang ikut terapi ARV. Di antara mereka yang telah menjalani terapi, hanya 24.246 pasien yang jumlah HIV dalam tubuhnya dapat ditekan sehingga tidak terdeteksi. Artinya dari target 90-90-90, Indonesia baru mencapai 64-22-4.

Kegagalan pencapaian target itu tidak hanya dialami Indonesia. Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) melaporkan dari sekitar 38 juta pengidap HIV di seluruh dunia, baru 25,4 juta yang mendapat terapi ARV. Sisanya sebanyak 12,6 juta pengidap belum terobati.

Selain itu, walau sejak 2010 mengalami penurunan kasus penularan baru HIV yang cukup signifikan (38 persen), terjadi sekitar 1,7 juta kasus penularan baru pada 2019. Targetnya, kurang dari 500 ribu kasus baru pada 2020.

Kematian akibat AIDS secara global pun gagal diredam sesuai target yang kurang dari 500 ribu kematian, yakni 690.000 kasus pada 2019.

Indonesia mencatatkan diri sebagai negara dengan jumlah penularan baru terbanyak ketiga se-Asia Pasifik dengan jumlah 50.282 kasus pada 2019 dan 32.293 kasus sepanjang Januari-September 2020.

Sejatinya, komitmen politik global menumbuhkan komitmen politik pemimpin sebuah negara. Penanggulangan HIV-AIDS diupayakan secara lebih efektif. Namun faktanya hanya sebatas retorika.

Baca juga:  Virus Korona dan Abainya Kita

Saya tidak merasakan adanya urgensi penanggulangan HIV-AIDS Pemerintah RI. Sejak 2016, jumlah orang yang tahu kalau mereka mengidap HIV hanya tumbuh 57 persen. Pengidap HIV yang mendapat pengobatan ARV pun hanya meningkat 56 persen atau 61.837 pasien. Padahal, sejak 2016 capaian-capaian itu jauh di bawah target.

Atas data-data tadi, sudah seharusnya ada tekanan yang kuat supaya negara memiliki pemimpin yang berkomitmen teguh agar terjadi perubahan yang signifikan dan cepat.

Kebijakan yang Menghambat

Saya menilai, kebijakan di Indonesia tidak mendukung program penanggulangan HIV-AIDS. Tidak adanya peran pemerintah yang berupaya menyelaraskan upaya-upaya penanggulangan ini membuat masalah penularan atau epidemi HIV tiada berujung. Padahal, epidemi HIV bukan hanya menyangkut persoalan kesehatan melainkan juga sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Peran lintas kementerian yang besar dibutuhkan.

Dulu, peran lintas sektor dikoordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Namun komisi ini bubar sejak terbitnya Perpres No. 124 Tahun 2016. Peranan teknis diserahkan ke Kementerian Kesehatan RI sedangkan peran koordinasi diemban Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI.

Dampak pembubaran tersebut, hilangnya peran koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan rencana kerja. Terlebih, desentralisasi sektor kesehatan di Indonesia potensial menciptakan kebijakan dan rencana kerja yang tidak selaras dengan yang disusun di tingkat nasional.

Di tingkat nasional saja banyak sekali peraturan yang menghambat respons terhadap persoalan HIV-AIDS terutama yang bersifat diskriminatif serta mengkriminalisasi populasi yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan masalah ini. Populasi itu di antaranya konsumen narkoba suntik, pekerja seks, laki-laki homoseksual, waria, dan penghuni lapas dan rutan.

Salah satu contoh diskriminasi yang berlaku adalah pengecualian bagi penyakit akibat ketergantungan obat untuk mendapat layanan dari BPJS Kesehatan. Hal itu termuat dalam Pasal 52 Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Baca juga:  Empat Dekade "Perang terhadap Narkoba" di Indonesia: Sebuah Kegagalan Melindungi Rakyat dari Pemidanaan dan Jaringan Kejahatan Terorganisir

Atas diskriminasi dalam layanan BPJS Kesehatan itu, Rumah Cemara bersama koalisinya mengajukan uji materi di Mahkamah Agung pada Agustus lalu. Kebijakan itu telah membuat banyak konsumen narkoba tidak mau memanfaatkan layanan kesehatan. Padahal salah satu cara penularan HIV adalah pemakaian alat suntik bergantian.

Pemerintah akan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat macam itu kalau saja memiliki kepentingan mendesak untuk mengendalikan HIV-AIDS. Tapi sialnya pemerintah nampak tidak memilikinya!

Penanggulangan HIV di Tengah Wabah Covid-19

Pandemi covid-19 telah meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan tidak hanya kesehatan. Istilah “sindemi” digunakan sejumlah pakar kesehatan untuk menggambarkan dua atau lebih penyakit yang berinteraksi hingga dapat sangat merusak. Penanggulangan epidemi HIV sepanjang 2020 ini tentu saja terdampak wabah covid-19.

Untuk menghindari tertular covid-19, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan layanan medis agar memberi stok ARV kepada pasien HIV untuk enam bulan. Anjuran itu tidak dilaksanakan di Indonesia. Justru di awal 2020, Indonesia mengalami kekurangan stok ARV secara nasional.

Beberapa pasien HIV di Bandung sudah merasa beruntung bisa mendapat stok ARV untuk satu bulan. Lebih miris, banyak pasien yang hanya mendapat stok untuk satu atau dua minggu. Mereka lebih rentan tertular covid-19 karena tiap minggu harus datang ke layanan kesehatan.

Dampak lain adalah terganggunya terapi yang mensyaratkan kepatuhan minum obat ARV. Maret 2020, Rumah Cemara melakukan asesmen cepat untuk melihat dampak ekonomi yang berkaitan dengan akses ARV di saat wabah virus korona merajalela. Atas penilaian tersebut, Rumah Cemara melakukan respons darurat, yakni menyubsidi kebutuhan pasien HIV dalam hal pengobatan ARV.

Subsidi diberikan untuk biaya administrasi pemerolehan ARV di tempat layanan serta pengantarannya sehingga pasien dapat tetap aman berada di rumah dan memperoleh obat tanpa harus mengeluarkan biaya.

Baca juga:  Rumah Cemara Galang Donasi Bantu Transgender Perempuan Atasi Dampak Covid-19

Hingga kini, respons tersebut telah membantu 1.422 pasien tetap menjalani terapi ARV. Respons darurat ini mengurangi jumlah pasien yang meninggalkan terapi atas risiko penularan korona karena harus bolak-balik ke tempat layanan yang juga membutuhkan biaya lebih ketimbang pada situasi sebelumnya.

Di Indonesia, pasien HIV yang meninggalkan terapi ARV jumlahnya cukup tinggi. Per September 2020, jumlahnya mencapai 64.988 pasien.

Masa Depan Respons HIV

UNAIDS saat ini sedang memperbarui strategi penanggulangan AIDS yang berakhir pada 2021. Strategi global baru ini akan disepakati dalam pertemuan tingkat tinggi PBB pada Juni 2021. Sebagai anggota PBB, Indonesia tentu akan turut menandatangani deklarasi politik baru penanggulangan HIV-AIDS global.

Apakah komitmen baru ini akan membawa kemajuan bagi Indonesia? Ataukah akan tetap menjadi retorika belaka tanpa adanya ikhtiar dan kepemimpinan yang tegas?


Sumber Bacaan

  1. Political Declaration on HIV and AIDS: On the Fast Track to Accelerating the Fight against HIV and to Ending the AIDS Epidemic by 2030. United Nations General Assembly. https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2016-political-declaration-HIV-AIDS_en.pdf, diakses pada 30 November 2020.
  2. Laporan perkembangan HIV/AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan III tahun 2020, Kementerian Kesehatan RI. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_Perkembangan_HIV_AIDS_dan_PIMS_Triwulan_III_Tahun_2020.pdf, diakses pada 30 November 2020.
  3. Global AIDS Report 2020, UNAIDS. https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2020_global-aids-report_en.pdf, diakses pada 30 November 2020.
  4. Peraturan Presiden Nomor 124 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. https://jdih.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/2019-08/PERPRES%20Nomor%20124%20Tahun%202016.pdf, diakses pada 30 November 2020.
  5. Perpres 82 tahun 2018, pasal 52 (1) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: (i) gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; (j) gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2018/82TAHUN2018PERPRES.pdf, diakses pada 30 November 2020.
Adit T

The author Adit T

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.