close
exit

Sejak Presiden Jokowi menyatakan “Indonesia darurat narkoba”, banyak yang menjadi latah untuk menyematkan status darurat pada persoalan yang menyita perhatian publik. Sebagian memang proporsional, namun sebagian lagi menurut saya lebay.

Pembakaran hutan, kekerasan terhadap anak, dan korupsi saya anggap tepat untuk diberi status darurat. Pertama, terdapat tindak kejahatan yang terus berulang. Kedua, jumlah korbannya banyak dan/atau terus bertambah namun tidak berdaya untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku sehingga mengusik rasa keadilan khalayak. Ketiga, sebagai konsekuensinya, cara-cara berbeda di luar kebiasaan harus ditempuh untuk mengatasi persoalan yang terus-menerus terjadi (makanya sering disebut “kejahatan luar biasa”).

Sekarang, mari kita periksa hal-hal yang statusnya dinyatakan darurat menggunakan prasyarat-prasyarat di atas!

Desember 2014: “Indonesia Darurat Narkoba,” Joko Widodo, Presiden RI

Sebenarnya, lebih tepat jika Presiden (atau yang mengutip pernyataannya) menggunakan frase yang lebih lengkap, “darurat peredaran gelap narkoba” misalnya. Namun saya bisa memahami pemilihan frase tersebut, supaya catchy dan mudah diingat. Saking catchy-nya, banyak yang ikut-ikutan menetapkan status darurat untuk persoalan lainnya.

Di Indonesia, memasok (mengedarkan dan memproduksi) narkoba telah diancam hingga hukuman mati sejak 1976. Presiden menyatakan status darurat narkoba untuk menolak grasi 64 terpidana mati kasus ini. Walaupun terdapat ancaman hingga hukuman mati, masih ada saja yang memasok narkoba di Indonesia. Prasyarat pertama terpenuhi.

Pihak yang potensial menjadi korban dalam hal ini adalah konsumen. Jumlahnya pun banyak. Diperkirakan sekitar empat juta penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun mengonsumsi narkoba setahun terakhir (BNN & PPK UI, 2014).

Saat ini, produsen bisa menggunakan apa saja sebagai bahan baku karena tidak ada badan resmi yang berwenang mengawasi mutu narkoba, ini termasuk komoditas terlarang lainnya seperti minuman beralkohol. Karena mutu produk yang buruk, konsumen mengalami kerugian. Mereka harus mengonsumsi lebih banyak, mengeluarkan biaya lebih besar, bahkan meregang nyawa karena keracunan bahan oplosan.

Baca juga:  Kanal Indonesia tanpa Stigma

Persoalannya, mereka menyadari kalau komoditas yang dikonsumsinya ilegal. Tidak hanya memasok, mengonsumsi narkoba pun diancam hukuman penjara dan denda. Melaporkan kerugian atas konsumsi narkoba kepada aparat hukum sama saja menyerahkan diri sendiri atas sebuah tindak pidana. Rasa keadilan masyarakat kemungkinan besar tidak terusik oleh hal ini. Situasinya berbeda jika, misalnya terdapat data yang sahih bahwa saat ini semakin banyak anak-anak yang dicekoki narkoba.

Menurut saya, pernyataan Presiden bahwa Indonesia sudah sampai ke tahap darurat narkoba tidaklah berlebihan. Tapi sebagai kepala negara yang punya kewenangan luas, Presiden seharusnya segera menangani persoalan ini dengan cara-cara yang tidak biasa.

Hukuman mati adalah business as usual, sudah dijadikan ancaman pidana dalam UU Narkotika sejak 1976. Eksekusi terpidana mati kasus inipun telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1995. Hingga kini, 22 terpidana telah dieksekusi mati (Kontras, 2016). Ketegasan Presiden menolak grasi terpidana mati kasus narkoba bukanlah cara mengatasi persoalan yang luar biasa.     

Maret 2015: “Indonesia Darurat Korupsi,” Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK Non Aktif

Korupsi adalah tindak pidana yang terus terjadi di Indonesia sampai sekarang. Korbannya adalah mereka yang terhambat pemenuhan haknya sebagai warga negara. Rasa keadilan masyarakat jelas terusik oleh kejahatan ini.

Wajarlah jika Bambang Widjojanto menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat korupsi, dan akibatnya, banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sayangnya, dia sudah tidak berwenang untuk bisa memberantas korupsi dengan cara-cara yang di luar kebiasaan saat menyatakan status tersebut.    

Baca juga:  Penggagas Homeless World Cup Apresiasi Keberagaman Tim Indonesia

April 2015: “Indonesia Darurat Komunis,” Adityawarman T, Mantan Staf Ahli Panglima TNI

Indonesia memang masih melarang komunisme. Penyebar ajaran ini bisa dipidana penjara. Namun, pasca pembubaran PKI oleh MPRS pada 1966, apakah ada yang menjadi korban komunis di Indonesia?  

Oktober 2015: “Indonesia Darurat Kejahatan Kekerasan Anak,” Arist Merdeka S., Ketua KPAI

Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Lebih dari 5 ribu kasus tercatat pada 2014. Angka ini naik dari 2 ribuan kasus pada 2011. Kekerasan justru paling banyak terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah (KPAI, 2015).

Pernyataan Arist cukup proporsional karena tindakan-tindakan kekerasan yang dilaporkan semakin keji dan brutal. Apalagi menurutnya, kebanyakan pelaku masih mempunyai hubungan kerabat dengan korban yang seharusnya mengayomi dan melindunginya.

Kekerasan terhadap siapapun merupakan tindak pidana, apalagi sampai menyebabkan kematian. KPAI dibentuk untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak sebagai amanat UU yang diterbitkan tahun 2002. UU tersebut direvisi pada 2014 dengan menambah hukuman penjara dari maksimal 10 tahun menjadi 15 tahun jika kekerasan menyebabkan kematian.

Sebagai ketua sebuah lembaga negara, Arist punya kewenangan untuk melakukan cara-cara penanganan persoalan ini, lagi-lagi, yang di luar kebiasaan. Memperberat hukuman untuk kasus kekerasan terhadap anak tidak terbukti menurunkan jumlah pelakunya.

Februari 2016: “Indonesia Darurat Bahaya LGBT,” Mahfudz Sidiq, Ketua Komisi I DPR RI  

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT) bukanlah sebuah kejahatan, termasuk di Indonesia. Walaupun, bisa saja mereka melakukan tindak pidana sebagaimana orang-orang melakukan penipuan, pemerkosaan, perusakan lingkungan, korupsi, dll. Korbannya adalah mereka yang ditipu, diperkosa, dirampok, dll., bukan di-LGBT. Menurut saya pernyataan status darurat LGBT, lebay, jadi tidak perlu ditanggapi.  

Baca juga:  Penghilangan Paksa: Akankah Jokowi Mengakhiri Kejahatan Mengerikan Ini di Eranya? (Sambungan)

Mei 2016: “Indonesia Darurat Kejahatan Seksual,” Reni Marlinawati, Anggota Komisi X DPR RI

Reni Marlinawati menyatakan hal ini dalam menanggapi kecaman masyarakat atas kasus-kasus pemerkosaan anak. Kejahatan kelamin di Indonesia semakin gawat, usia korbannya pun semakin dini. Beberapa hari setelah kasus pemerkosaan dan pembunuhan anak berusia 14 tahun di Bengkulu terungkap, seorang bayi berusia 2,5 tahun ditemukan tewas akibat tindak kejahatan serupa di Bogor.

Sebagai perempuan dan seorang ibu, pernyataan status darurat Reni tidaklah berlebihan. Tapi sebagai tokoh masyarakat, dia hanya ikut-ikutan menyematkan kata “darurat” pada kejadian-kejadian yang sedang menjadi perhatian publik. Buktinya, dia juga menganggap PERPPU pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan kelamin selaras dengan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang sedang dibahas DPR RI. Karenanya, Reni mendukung rencana penerbitan PERPPU tersebut.

Mei 2016: “Indonesia Darurat Miras dan Pornografi,” Wirianingsih, Ketua ASA Indonesia

Untuk darurat miras, silakan merujuk ke pembahasan darurat narkoba.

Sama seperti narkoba, pornografi merupakan komoditas. Di Indonesia, mengedarkan, membuat, serta memiliki pornografi merupakan tindak pidana yang diatur UU.

Pernyataan Wirianingsih merupakan tanggapan atas kejahatan yang dialami bocah 14 tahun di Bengkulu, dimana keempat belas pelakunya mengaku menonton film porno dan minum tuak sebelum memerkosa korban. Namun penetapan status darurat menjadi berlebihan ketika tidak didukung oleh data yang menunjukkan secara sahih jumlah korban pornografi di Indonesia.

Seandainya Jokowi tidak pernah menyatakan “Indonesia darurat narkoba”!

Dimuat di Qureta.com, 24 Mei 2016

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.