Dari ramainya perdebatan tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2019, salah satu yang menarik adalah pasal tentang alat kontrasepsi, yaitu Pasal 481: “Setiap orang yang tanpa hak secara terang‑terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang‑terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang‑terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana denda paling banyak Kategori I.”
Pasal ini menyiratkan, masyarakat tidak boleh mempromosikan alat kontrasepsi dalam kondisi apa pun. Aturan itu tidak menjelaskan kenapa masyarakat tidak boleh berperan aktif mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi dan apa bahayanya.
Aturan semacam itu hanya menyiratkan satu hal, negara ketakutan pada alat kontrasepsi tanpa alasan jelas.
Untungnya banyak pihak yang menentang pasal itu dengan argumen yang jelas. Salah satu yang menentang pasal ini adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dalam pernyataannya, YLBHI menyatakan, pasal 481 di RKUHP bertentangan dengan aturan yang sudah ada tentang promosi alat kontrasepsi, yaitu Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2004. Dijelaskan di sana, pelayanan kontrasepsi salah satunya diselenggarakan oleh masyarakat.
YLBHI juga menjelaskan, pasal 481 RUKHP adalah bentuk kriminalisasi terhadap para kader kesehatan dan kerja mereka dalam mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi.
Mengacu pada data Kementerian Kesehatan RI, saat ini di Indonesia terdapat 596.477 kader kesehatan. Salah satu tugas mereka adalah mempromosikan penggunaan alat kontrasepsi baik demi program keluarga berencana, maupun sebagai pencegah infeksi menular seksual. Jika RKUHP itu disahkan, maka sudah pasti seluruh kader kesehatan itu terancam hukuman pidana.
Yang juga harus diperhatikan, kriminalisasi terhadap alat kontrasepsi, terutama kondom, dapat mengancam program penanggulangan HIV-AIDS. Kita tahu, penularan HIV melalui hubungan seksual adalah yang tertinggi saat ini, bukan hanya di antara mereka yang sering berganti-ganti pasangan, tetapi juga yang salah satunya tidak tahu kalau pasangannya suka “jajan” di luar.
Melihat situasi itu, kondom sangat penting untuk terus dipromosikan oleh masyarakat, dan aksesnya harus dipermudah.
Selain YLBHI, yang juga menentang RKUHP adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Soal Pasal 481 RKUHP, ICJR menyatakan, penggunaan unsur “tanpa hak”, memperkokoh konsep bahwa yang dapat memberikan informasi adalah mereka yang ada dalam Pasal 483 RKUHP, yaitu petugas yang berwenang. Ini berarti masyarakat sipil atau mereka yang bergerak di bidang penyuluhan kesehatan reproduksi tidak diberikan “hak” sebagaimana pengaturan Pasal 481 RKUHP.
Ketentuan itu bertentangan dengan UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan bertentangan dengan UU RI No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (UU PKPS 1992), pada Bab X tentang peran serta masyarakat. Kewenangan yang diberikan hanya untuk “petugas yang berwenang” di Pasal 483 mengakibatkan peran serta masyarakat dalam melakukan penyuluhan terhadap kesehatan reproduksi, penularan infeksi seperti HIV-AIDS, serta kependudukan dan pembangunan keluarga menjadi terhambat.
Kita tentu heran, kenapa perancang KUHP terlihat begitu ketakutan dengan kontrasepsi? Padahal sedianya alat kontrasepsi adalah alat untuk mengontrol populasi, dan pada ujungnya akan memberi jalan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Salah satu jenis alat kontrasepsi, kondom, juga berfungsi sebagai pencegah penularan penyakit menular seksual. Dalam kaitan ini, kondom jadi semacam pagar bagi siapa pun yang tak bisa menghindar dari perilaku seks berisiko.
Saya khawatir, sikap para pembuat undang-undang itu mewakili sikap mayoritas orang Indonesia terhadap isu-isu kesehatan seksual. Dari sebuah penelitian yang dilakukan melalui program Glocalities Research (2019), Indonesia memang menunjukkan penolakan yang cukup tajam terhadap berbagai isu terkait seksualitas dan pendidikan seksual. Misalnya, terhadap pendidikan seks dan akses terhadap alat kontrasepsi, Indonesia menunjukkan penolakan yang sangat tinggi jika dibandingkan negara-negara lain di seluruh dunia.
Secara umum, hasil penelitian itu menunjukkan sikap konservatisme yang terjadi hampir menyeluruh di tengah masyarakat Indonesia yang ditunjang oleh berbagai faktor, seperti sikap keagamaan, nilai-nilai yang diajarkan di keluarga, maskulinisme dan lain-lain. Sikap konservatif yang merupakan cara berpikir yang menentang penerapan nilai-nilai baru, sudah menjadi ancaman serius bagi perkembangan Indonesia ke depan, terutama dalam masalah kesehatan.
Mungkin gambaran itulah yang menjadi jawaban, kenapa RKUHP 2019 menunjukkan tingkat konservatisme yang tinggi di dalam pasal-pasalnya, di mana segala tindakan yang tidak manut pada nilai-nilai lama diancam hukuman pidana.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengikis konservatisme di Indonesia agar langkah masyarakat lebih ringan demi kemajuan?
Saya pikir yang harus jadi sasaran adalah lembaga-lembaga pendidikan, karena dari sanalah salah satu penyebab konservatisme berasal. Lembaga-lembaga pendidikan harus terpapar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknoologi, serta nilai-nilai baru masyarakat. Para dosen harus terlibat dalam banyak penelitian untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat dan terakses pada penelitian-penelitian terbaru. Pun demikian para guru di sekolah tingkat dasar sampai tingkat atas harus terakses pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Diharapkan, dengan terbiasanya mereka pada ilmu pengetahuan terbaru, pola pikir mereka pun bisa berubah seiring perkembangan zaman. Dan pada akhirnya, siswa dan mahasiswa, yang suatu saat akan menduduki posisi-posisi penting dalam kehidupan bernegara akan menghasilan kebijakan-kebijakan yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan—tidak semata berpegang pada moral dan dogma.