close
Menu-ganja-yang-ditawarkan-di-salah-satu-cafe-di-amsterdam
Menu ganja di salah satu kedai kopi Amsterdam. Sumber: Google Images

Sinte adalah jenis narkoba berbentuk tembakau atau cairan (liquid) rokok elektrik. Zat aktifnya antara lain AB-CHMINACA, 5-FLUORO-ADB, dan FUB-AMB. Ketiganya sudah terdaftar sebagai narkotika golongan satu sejak 2018. Kepemilikannya diancam kurungan penjara empat hingga dua belas tahun serta denda 800 juta hingga 8 miliar rupiah.

Demi menghindari hukuman, produsen sinte menggunakan zat-zat psikoaktif yang tidak atau belum digolongkan sebagai narkotika oleh pemerintah. Sesuai namanya pula, sinte merupakan narkoba yang sepenuhnya berbahan baku sintetis.

Karena kerap disebut sebagai “ganja sintetis”, konsumen ganja pun menjadi segmen potensial dalam pemasaran narkoba yang masih tergolong baru ini. Terlebih, wujud sinte yang paling banyak dipasarkan adalah tembakau kering yang cara konsumsinya, kecuali yang berwujud cairan, sama seperti nyimeng.  

Selain aman dari sanksi pidana, para produsen juga mendapat keuntungan dari popularitas ganja. Ketenaran tersebut turut dimanfaatkan dalam pemasaran sinte.

Survei yang dilakukan BNN bersama PPK UI pada 2017, menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang mengonsumsi ganja sebanyak 1,7 jutaan orang. Dengan jumlah tersebut, ganja menjadi narkoba yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Pengembangan varian bahan baku sinte terus dilakukan supaya hukum berupa daftar penggolongan narkotika tidak bisa memidanakan baik produsen maupun konsumennya.

Penyebutan “ganja sintetis” terutama dilakukan produsen sinte supaya konsumen ganja di Indonesia, yang diperkirakan jumlahnya hampir dua juta orang, berminat untuk menjajal giting ganja legal dan membeli narkoba tersebut.  Ini merupakan strategi pemasaran yang sekadar mendompleng popularitas ganja. Padahal, efek zat sintetis tidak sama, bahkan sangat berbeda dengan efek ganja alamiah.

Efek yang diharapkan tidak terjadi lantaran zat psikoaktif sinte mengikat reseptor ganja di otak terlalu kuat dan berlebihan. Padahal, sinte telah dirancang sekian lama dengan berbagai macam zat aktif yang terus mengalami pergantian supaya bisa mengikat reseptor tersebut sebagaimana dilakukan oleh zat psikoaktif tanaman ganja, delta-9-tetrahydrocannabinol (THC).  

Dalam perjalanannya, sangat mungkin terjadi, sebuah narkoba mengandung zat yang sama sekali tidak terdapat dalam daftar narkotika yang baru saja ditetapkan peraturan menteri kesehatan. Jadi, narkoba tersebut tidak tergolong narkotika terlarang. Hal ini dikarenakan, daftar penggolongan narkotika adalah lampiran UU narkotika yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI. 

Lalu saat daftar narkotika dimutakhirkan, selalu ada kemungkinan terdapat narkoba dengan kandungan zat yang belum terdaftar dalam peraturan menteri kesehatan terbaru. Begitu terus selanjutnya. Produsen narkoba selalu punya cara menyintesiskan zat-zat baru untuk dipasarkan tanpa terjerat hukum. 

Baca juga:  Sinte: Ganja Sintetis padahal Zat-Zat Kimia yang Disintesiskan

Lalu entah bagaimana riwayatnya, kebanyakan produsen tembakau dengan kandungan berbagai zat psikoaktif sintetis tersebut menjadikan nama-nama primata sebagai merek dagang produk-produk yang mereka hasilkan?

Telah banyak kajian yang menunjukkan bahwa kandungan zat-zat kimia dalam sinte bisa sangat merusak organ tubuh. Meski demikian, ada saja alasan yang diutarakan orang-orang yang memanfaatkannya, di antaranya harga yang murah, asapnya tidak berbau atau seperti lazimnya tembakau maupun cairan rokok elektrik saat dibakar sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari orang di sekitar, serta baik penjualan maupun konsumsi tidak atau belum bisa dikenai hukuman. 

Sepanjang April hingga Agustus 2019, artikel tentang sinte di situs web Rumah Cemara telah dibaca sebanyak lebih dari 30 ribu kali. Selain dibaca dan dikomentari, utasnya di media sosial turut direspons oleh pengikut media sosial Rumah Cemara.

Dibanding ganja, konsumsi sinte tentu jauh lebih murah. Bahan baku utamanya adalah tembakau yang tak memedulikan kualitasnya. Sepanjang daun tembakau kering bisa dicelupkan ke berbagai cairan kimia dan dijemur lagi, maka produk narkoba ini sudah bisa dipasarkan dan dikonsumsi.

Karena zat psikoaktif sinte sepenuhnya merupakan bahan kimia, maka reaksi tubuh atas konsumsinya sangat bervariasi. Ada yang merasakan halusinasi, paranoia, otot lemas hingga tak bisa menopang tubuh, perasaan yang tidak karuan karena dipengaruhi suasana hati saat mengonsumsinya, hingga jantung berdetak cepat.

Bagi pemula, konsumsi sinte cukup dilakukan dua hingga tiga kali isap. Itupun biasanya efek yang dirasakan sudah sangat dahsyat. Karenanya, konsumsi narkoba ini bisa dibilang hemat alias murah.

Tapi bila konsumsinya sudah kronis, efek yang dirasakan tubuh akan dengan cepat menghilang. Konsumsi akan makin sering dilakukan. Bahkan lebih boros dibanding konsumsi narkoba lainnya. Contoh, efek ganja mampu bertahan di dalam tubuh relatif lebih lama ketimbang sinte.

Bentuk sinte lazimnya adalah tembakau dan cairan rokok elektrik, baunya pun seperti rokok pada umumnya – tidak menyengat seperti cerutu atau ganja kering yang bau asapnya akan mengganggu bila dibakar di tempat umum. Karena berbau layaknya asap tembakau atau cairan vape yang tidak menyengat, sinte bisa dikonsumsi di manapun kecuali tentu saja di tempat-tempat dilarang merokok.

Ketidaklayakan sinte disebut sebagai “ganja sintetis” adalah karena tidak adanya kandungan THC. Tapi biarpun tidak mengandung THC, sebagian konsumen dengan senang hati menjadikan sinte sebagai substitusi ganja. Belum adanya alat tes urine yang akurat untuk sinte menjadi alasan mengganti ganja dengan sinte   

Baca juga:  Pelarangan dan Pemberantasan NAPZA

Pilihan ini dilakukan demi menghindari ancaman empat tahun penjara atas uji kandungan ganja dalam urine yang akurasinya sudah terjamin.

Walaupun ketidakakuratan uji air seni untuk narkoba jenis sinte menjadi hal yang positif, tapi ketiadaan standar baku pembuatan sinte menjadi hal yang merugikan. Zat-zat kimia yang menjadi bahan rendaman tembakau atau bahan baku cairan rokok elektrik sangat mungkin merupakan zat-zat kimia berbahaya dan tidak diperuntukkan untuk konsumsi tubuh.

Sejumlah zat kimia yang namanya cukup akrab serta kerap digunakan sebagai bahan baku sinte yakni aseton, pelarut cat kuku dan tiner, juga pelarut cat kayu atau besi.

Walau konsumen ganja tidak begitu saja tergiur untuk mengonsumsi sinte, tapi narkoba ini telah jadi alternatif bagi mereka yang kesulitan memperoleh ganja. Sinte dipilih karena mudah diperoleh, relatif murah, baunya tidak mencolok, serta minimalisasi pemidanaan.

Sinte mudah dikonsumsi karena saat dibakar tidak menimbulkan bau menyengat yang khas seperti halnya ganja. Konsumen bisa membakarnya di tempat umum tanpa menarik perhatian. Cukup tiga kali isap, efeknya sudah bisa dirasakan.

Beberapa alat tes urine yang dimiliki aparat negara tidak bisa mendeteksi seluruh zat aktif yang dikandung sinte.

Walaupun dikenal dengan kandungan AB-CHMINACA, 5-FLUORO-ADB, FUB-AMB, dan varian-variannya, tidak tertutup kemungkinan pengecer sinte mencampurkan obat nyamuk, aseton, ataupun bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.

Dampak konsumsi sinte antara lain mual-mual, muntah-muntah, kerusakan ginjal, menurunnya kemampuan koordinasi tubuh, halusinasi bahkan mengalami psikosis. Dalam beberapa kasus, stroke dan kerusakan saraf otak permanen bisa terjadi.

Harga narkoba ini tergolong murah. Dengan uang sejumlah Rp250.000, konsumen bisa menghasilkan 30-40 linting sinte siap bakar.

Sebagai administrator media sosial Rumah Cemara, saya memantau kegiatan para bandar pada postingan kami. Mereka menawarkan barang dagangannya di sana. Beberapa kali saya melihat mereka berkomunikasi, bertukar nomor telepon, dan segera menghapusnya. Dalam sebulan, yang mencoba menjaring kosumen di medsos kami bisa sampai tujuh bandar.

Bagaimana keadaan di Inggris yang beberapa waktu lalu saya mendapat kesempatan mengunjungi negara ini. Di sana ganja masih ilegal.

Suasana jalan Queen Street Cardiff tempat konsumen ganja sintetis nongkrong. Foto: Eric Arfianto
Keadaan jalan Queens Street, Cardiff UK. Foto: Eric Arfianto

Saya berkesempatan mengunjungi pusat kota Cardiff bersama Tim Nasional Indonesia yang mengikuti ajang Homeless World Cup 2019.

Beberapa langkah sebelum memasuki Queen Street, saya mendapati beberapa orang ngebaks di emperan toko. Tampang mereka nampak lusuh. Mereka bergerombol. Sebagian di antaranya duduk di atas kardus bekas.

Baca juga:  Tumpang Tindih Layanan Kesehatan, Penegakan Hukum, dan Pengawasan Narkoba: Layakkah BNN Dipertahankan?

Rasa penasaran membuat saya nongkrong di sebuah restoran cepat saji untuk memperhatikan mereka melalui jendela. Mereka tidak segan mengoper lintingan sinte ke temannya. Padahal mereka berada di tempat umum. Setiap habis mengisap lintingan itu, tubuh mereka sempoyongan dan raut wajahnya berubah seperti hendak berperang.

Terus terang, saya khawatir dengan keamanan saya di sana. Apalagi saat melihat seorang bule berteriak-teriak tidak jelas di tengah jalan. Beberapa satpam restoran tampak sigap menjaga agar orang itu tidak masuk ke dalam dan menganggu tamu.

Claire Rogers, warga Wales yang jadi guide kami selama Homeless World Cup, menjelaskan bahwa sinte memang marak di kalangan tunawisma di sana. Konon, tingkat konsumsinya hampir 70% di kalangan mereka.

Pemandangan seperti yang saya lihat di Queen Street ternyata sudah sering terjadi seperti diliput BBC. Menyinggung soal ganja, Claire punya pendapat sendiri. “Sebenarnya ganja baik untuk pengobatan, jika memang disarankan oleh dokter,” ujarnya.

Bagaimana dengan negara lain? Beberapa teman dari Belanda dan Perancis mengatakan sinte tidak marak di negara mereka.

Pemerintah Perancis memperbolehkan konsumsi ganja untuk kebutuhan medis dan konsumsi pribadi dengan batasan yang jelas. Mereka boleh mengonsumsi selama dokter mengizinkan untuk terapi medis seperti kanker, epilepsi, dan penyakit berat lainnya termasuk gangguan mental. Sedangkan untuk rekreasi, pemerintah menetapkan kadar THC yang boleh dikonsumsi adalah 0,2 persen.

Sementara itu di Belanda, ganja memang sudah lama dilegalkan, termasuk untuk rekreasi (sebenarnya konsumsi, kepemilikan, dan penjualan ganja di Belanda adalah ilegal. Tapi hukum menoleransinya. Sehingga, konsumsi ganja untuk rekreasi, sebagian besar diterima dalam batasan tertentu termasuk di kedai-kedai kopi yang memiliki izin – red).

Kabarnya, orang bisa menikmati ganja di kedai-kedai kopi dengan berbagai tujuan. Layaknya memesan makanan, biasanya mereka menyodorkan buku menu untuk memesan ganja sesuai dengan keinginan pelanggan. Motif konsumsinya beragam, mulai dari memperbaiki suasana hati, meningkatkan stamina, atau sekadar membuat relaks.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Negara kita ini sudah dikenal sejak zaman dahulu sebagai produsen ganja. Tanaman ini cocok berkembang di alam Indonesia sehingga kualitasnya baik. Seandainya pemerintah kita mau mengubah kebijakan dengan menetapkan aturan yang tepat, mungkin peredaran sinte dapat ditekan atau bahkan tidak pernah ada. Dan jika memang ganja kita kualitasnya yang terbaik di dunia, mengapa kita tidak mengekspor ganja untuk meningkatkan devisa negara kita?

Eric Arfianto

The author Eric Arfianto

Penggiat internet, web master, old doggies skateboarder, hobi musik dan film horor.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.