“Kok izin terus ya?”
Kalimat itu masih terngiang di kepala Dina (bukan nama sebenarnya), 29 tahun, seorang penyintas lupus yang pernah bekerja di perusahaan distribusi barang di Jakarta Selatan. Dina tahu tubuhnya tidak lagi seperti dulu. Dulu, ia kuat bekerja lembur. Tugas administratif ia tuntaskan cepat. Tapi sejak dua tahun lalu, tubuhnya mulai memberi perlawanan: sendi-sendi membengkak, kepala berdenyut tajam, dan tubuhnya mudah sekali kelelahan. Kadang ada bercak merah di wajahnya, tapi lebih sering tidak terlihat apa-apa. Dari luar, ia tampak sehat.
Hingga akhirnya dokter menyatakan: lupus.
Diagnosis itu datang telat, seperti kebanyakan kasus di Indonesia. Lupus, atau systemic lupus erythematosus (SLE), adalah penyakit autoimun yang bisa menyerang sendi, kulit, ginjal, bahkan paru dan otak. Penyakit ini dikenal sebagai the great imitator—karena gejalanya bisa menyerupai banyak penyakit lain. Tubuh yang tiba-tiba lemah, nyeri tanpa sebab jelas, kelelahan kronis, dan demam tak tentu—semua hadir tanpa pola pasti.
Dina mencoba bertahan di kantornya. Ia tak minta perlakuan khusus. Hanya sedikit pengertian jika tubuhnya tak bisa hadir penuh setiap hari. Tapi dunia kerja tak menunggu tubuh yang lemah. Dalam waktu tiga bulan, Dina “dibina” untuk mengundurkan diri. “Daripada performamu terus turun,” kata atasannya.
Lupus menyerang sekitar 5 juta orang di dunia dan diperkirakan ada lebih dari 12 ribu penyintas lupus di Indonesia, menurut data Yayasan Lupus Indonesia. Mayoritas adalah perempuan usia produktif. Tapi di dunia kerja, lupus bukan kategori disabilitas yang bisa “dilindungi.” Penyintas lupus tidak memiliki kursi dalam wacana inclusive workplace yang selama ini banyak membahas difabel fisik.
Lupus tak punya wajah yang jelas. Tidak ada kursi roda. Tidak ada tongkat. Yang ada adalah tubuh yang tampak sehat tapi nyeri diam-diam. Kelelahan yang ekstrem, gangguan ginjal, peradangan otak, sampai depresi. Tapi karena tidak kelihatan, lupus sering dianggap remeh. Bahkan oleh HRD.
Indonesia sudah memiliki UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang seharusnya memberi ruang perlindungan bagi orang dengan keterbatasan fungsional—baik fisik, mental, intelektual, maupun sensorik. Tapi penyakit autoimun seperti lupus tidak secara eksplisit masuk ke dalam definisi “layak perlindungan”.
Padahal menurut standar WHO, lupus bisa dikategorikan sebagai invisible disability. Di negara-negara seperti Inggris atau Kanada, penyintas lupus bisa mengajukan skema kerja fleksibel, tunjangan disabilitas, bahkan perlindungan hukum bila diberhentikan karena kondisi medis kronis.
Di Indonesia? HRD masih melihat kesehatan dari absensi. Bukan dari kapasitas fungsional yang bisa dimodifikasi.
Cerita seperti Dina bukan cerita langka. Tapi tetap jarang kita dengar. Di Hari Lupus Dunia yang diperingati tiap 10 Mei, pembicaraan soal lupus seringkali berhenti di gejala, pengobatan, atau kampanye pakai pita ungu. Yang jarang disentuh adalah sisi yang paling sunyi dan getir: bagaimana penyintas lupus dipinggirkan diam-diam di dunia kerja.
Dan ini bukan hanya perkara kurangnya empati. Kadang, rekan kerja pun kelelahan.
“Saya tahu dia sakit, tapi tiap kali dia izin, saya yang harus back-up. Lama-lama capek juga,” kata R, karyawan swasta yang pernah satu tim dengan penyintas lupus. “Saya juga punya tekanan kerja sendiri. Tapi siapa yang saya bisa marahi? Dia sakit beneran, kok.”
Satu tubuh melemah, satu sistem limbung. Rekan kerja terpaksa menanggung beban tambahan. Tim kehilangan ritme. Iklim kerja jadi kaku. Dan yang sakit merasa bersalah, malu, bahkan memilih mundur diam-diam.
Masalahnya bukan di orangnya. Tapi di sistemnya.
Indonesia belum punya kebijakan yang betul-betul melindungi penyintas penyakit kronis tak kasatmata di tempat kerja. Undang-undang ketenagakerjaan kita memang mengatur hak cuti sakit. Tapi tidak cukup untuk penyakit kronis jangka panjang yang datang dan pergi tak tentu seperti lupus. Belum ada skema fleksibilitas kerja yang adil bagi mereka yang tubuhnya “tidak selalu kuat”—dan belum ada kesadaran luas bahwa lupus adalah bagian dari keragaman disabilitas.
Banyak penyintas lupus yang tetap ingin bekerja. Mereka tidak minta dikasihani. Mereka hanya ingin dipercayai—bahwa meskipun hari ini tubuhnya lemah, minggu depan mereka bisa kembali produktif.
Di negara seperti Inggris, Kanada, atau Jepang, penyakit seperti lupus sudah masuk kategori invisible disability yang dilindungi hukum. Artinya, perusahaan wajib menyediakan akomodasi kerja yang adil: seperti jam kerja fleksibel, opsi remote saat flare, atau redistribusi beban kerja yang disertai insentif jelas bagi tim. Hasilnya bukan cuma inklusi, tapi juga loyalitas tinggi dari para pekerja.
Bagi penyintas lupus, dunia kerja tak pernah netral. Ia bisa menjadi arena yang mematikan semangat, atau ruang yang menghidupkan kembali harga diri.
Kita tidak sedang bicara soal kebaikan hati perusahaan. Ini bukan perkara belas kasihan. Ini perkara keadilan struktural. Karena realitanya, lupus bukan satu-satunya penyakit yang tak terlihat. Masih ada fibromyalgia, endometriosis, gangguan bipolar, dan segudang kondisi medis lain yang tak nampak dari luar tapi menuntut adaptasi dari dalam.
Di Hari Lupus ini, alih-alih sekadar mengganti foto profil dengan pita ungu, mari tanyakan hal sederhana ini:
Apakah kantor kita tempat yang aman untuk orang yang tubuhnya tidak sempurna? Atau justru ikut menghilangkan mereka secara perlahan?