close
FeaturedKebijakan

Di Antara Syarat dan Stigma: Ketika Pekerjaan Tak Ramah Semua Orang

shutterstock_1767213713-scaled-uai-1032×593

Setiap 1 Mei, Hari Buruh Internasional diperingati di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Panggung-panggung orasi dan arak-arakan tuntutan biasanya dipenuhi isu-isu klasik: upah minimum, jaminan sosial, dan hak berorganisasi. Namun, di luar radar wacana publik itu, ada kelompok yang bahkan tidak sampai ke titik “diupah”—karena mereka belum (atau tidak pernah) diberikan kesempatan untuk bekerja.

Mereka adalah orang-orang yang terpinggirkan oleh sistem ketenagakerjaan yang kian eksklusif: orang dengan HIV (ODHIV), mantan pengguna narkotika, warga binaan yang telah bebas, remaja putus sekolah, perempuan penyintas kekerasan, hingga pekerja informal yang kehilangan pekerjaan akibat krisis. Mereka bukan tidak mau bekerja. Tapi pekerjaan, terutama di sektor formal, seringkali menutup pintu rapat-rapat dengan alasan “kualifikasi”.

Hari ini, iklan lowongan kerja tidak lagi menjadi ruang harapan, melainkan daftar panjang dari pengecualian: usia maksimal 30 tahun, pendidikan minimal sarjana, berpenampilan menarik, sehat jasmani dan rohani, serta pengalaman kerja dua tahun ke atas—bahkan untuk posisi pemula. Di balik standar yang tampaknya netral itu, tersembunyi lapisan diskriminasi yang tidak disadari.

Kebijakan seperti ini menjadi tembok penghalang bagi mereka yang tidak lulus pendidikan formal karena faktor ekonomi, yang baru pulih dari masa sulit, atau yang memiliki riwayat penggunaan zat, meski kini sudah rehabilitasi dan siap kembali produktif. Usia, yang seharusnya menjadi angka, dijadikan vonis. Latar belakang hidup menjadi stigma. Dan upaya memulai kembali dianggap beban.

Baca juga:  Kecanduan adalah Penyakit Kronis Kambuhan seperti halnya Diabetes dan Asma

Sebagai organisasi yang telah lebih dari satu dekade bekerja bersama komunitas marginal, Rumah Cemara melihat langsung bagaimana sulitnya akses terhadap pekerjaan yang layak bagi kelompok rentan. Padahal, hak atas pekerjaan dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Hak ini juga ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 38 dan 39.

Namun dalam praktiknya, banyak dari mereka yang bahkan tidak mendapat ruang untuk membuktikan diri. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem rekrutmen menyingkirkan mereka sejak tahap awal—hanya karena usianya lewat dari batas, atau karena masa lalu yang tak bisa mereka ubah.

Jika ingin sungguh-sungguh memperingati Hari Buruh, maka negara harus membuka percakapan yang lebih luas: tentang siapa yang tidak bekerja dan mengapa. Batasan usia dalam lowongan kerja seharusnya dikaji ulang. Mekanisme rehabilitasi sosial semestinya diakui dalam kebijakan ketenagakerjaan. Dan sistem pelatihan kerja harus diarahkan untuk menjangkau mereka yang paling terpinggirkan, bukan yang paling siap saja.

Kita tidak sedang kekurangan tenaga kerja, tetapi kita sedang gagal menciptakan sistem kerja yang ramah terhadap keberagaman pengalaman manusia. Jika pekerjaan tetap menjadi hak yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memenuhi “syarat sempurna”, maka Hari Buruh hanya akan dirayakan oleh sebagian orang—sementara yang lain terus berjuang di lorong-lorong gelap ketidakpastian. Rumah Cemara berdiri bersama mereka. Karena setiap orang berhak diberi kesempatan. Karena setiap orang layak dipercaya. Dan karena tidak ada yang lebih manusiawi dari membuka ruang bagi sesama untuk tumbuh, bekerja dan bermartabat.

Tags : hari buruhStigma
ii

The author ii

Penyuka Olahraga Tinju dan Drama Korea.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses