Buat kebanyakan muslim, mungkin aneh membicarakan ganja ke khalayak dengan nada positif. Misalnya, soal manfaat-manfaat apa yang dikandung tanaman itu buat kesehatan manusia. Bagaimana tidak, halal dan haramnya zat memabukkan di luar alkohol yang jelas tersurat dalam Al-Qur’an memang jadi perdebatan tak berujung sejak lama di dunia Islam.
Gabriel G Nahas dalam artikel berjudul “Hasish in Islam 9th to 18th Century” di jurnal terbitan 1982 menyebut, ganja dipakai untuk mabuk (bhang) di India dan Iran setidaknya sejak 1000 SM. Zat rekreasional ini lantas diadopsi di kalangan muslim Timur Tengah 1.800 tahun kemudian, dua abad pascawafatnya Nabi Muhammad.
Memang selama masa hidup Kanjeng Nabi (570-632 M), konsumsi ganja yang di sana bernama hashish tidak diketahui. Ini mungkin yang menjadi alasan kenapa mabuk ganja tidak secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur’an seperti halnya minuman beralkohol.
Berbagai literatur pun mengonfirmasi kebiasaan nyimeng dan pemanfaatan ganja untuk keperluan medis oleh orang-orang Arab di masa lalu.
Di sekitar abad ke-10, manfaat pengobatan ganja banyak diperkenalkan orang-orang Arab melalui kebudayaannya hingga ke dataran Eropa. Karena itu, Paus Innosensius VIII melarang pemanfaatan ganja bersama tanaman pengubah pikiran (mind altering plant) lainnya pada 1484 lantaran dianggap budaya dan ajaran orang-orang kafir.
Periode pelarangan ganja dicoba lagi setelah invasi Napoleon ke Mesir. Tapi pada akhir abad ke-19 eksplorasi ganja untuk atasi sejumlah indikasi medis seperti migrain, nyeri neuropatik dan muskuloskeletal, serta untuk memperlancar persalinan sedang banyak dilakukan di antero Eropa.
Sebenarnya orang muslim Arab tidak seharusnya kikuk untuk berbicara soal ganja. Dalam ajaran Islam, juga di agama lain, mabuk setahu saya dilarang. Tapi berbicara pengobatan adalah hal yang berbeda. Ini pula yang mengubah sikap seorang Malek Asfeer, seorang pembuat film dan fotografer Saudi Arabia yang kini bermukim di Denver, Amerika Serikat (AS). Fakta sejarah tentang kebudayaan Arab menyatakan demikian, dan itu bukanlah sesuatu yang memalukan!
Menurut pengakuan Malek Asfeer alias Malik Sfeir, dulu ia cenderung membenci ganja. Sfeir menganggap ganja seperti narkoba lain yang berdampak buruk bagi manusia. Anggapannya itu berubah saat ia berkuliah di AS pada 2012.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Arab Saudi, Sfeir terbiasa dengan kampanye “say no to drugs”. Jelas kampanye itu juga meliputi ganja yang di banyak literatur pengobatan yang masih eksis hingga kini sangat dekat dengan peradaban Arab. Entah bagaimana propaganda itu bisa ampuh mencap buruk serta menghapus memori akan khasiat ganja di kalangan orang-orang Arab.
Sfeir kemudian berkenalan dengan Charlotte Figi dan keluarganya pada 2015. Charlotte adalah gadis kelahiran 2006 pengidap epilepsi dengan intensitas kejang hingga 300-an kali dalam seminggu. Semua terapi epilepsi yang ada kala itu pernah ia jalani dan semuanya gagal.
Setelah mulai ditetesi minyak cannabidiol (CBD) yang diekstrak dari tanaman ganja sejak 2012, intensitas kejangnya menurun drastis dari 300-an kali per minggu menjadi 2-3 kali per bulan. Kebetulan Colorado, negara bagian tempat tinggal Charlotte telah meresmikan pemanfaatan ganja untuk keperluan medis sejak tahun 2000.
Kabar kesuksesan Charlotte dalam pengobatan epilepsi memanfaatkan CBD ini menyebar ke antero AS di mana ketika itu masih banyak negara bagian yang belum mengizinkan konsumsi ganja untuk pengobatan. Alhasil, banyak keluarga pengidap epilepsi yang memutuskan untuk hijrah ke Colorado.
Kisah ini turut membuat Sfeir berkontemplasi, kalau memang ganja bermanfaat meringankan beban penderita penyakit berat macam yang dialami Charlotte dan keluarganya, kenapa banyak negara yang memusuhi tanaman ini?
Perjuangan keluarga Charlotte sampai membuatnya drop out dari kuliah perfilman. Sfeir membantu keluarga mendiang Charlotte Figi untuk mendorong lebih banyak negara bagian di AS yang mengizinkan terapi ganja. Ya, Charlotte Figi wafat pada 7 April 2020 karena pneumonia meskipun hasil tes empat hari sebelumnya menyatakan ia negatif covid-19. Meski demikian, ia diperlakukan layaknya pasien covid-19 saat dirawat di rumah sakit.
Salah satu film besutan Sfeir dari periode itu adalah God’s Plant. Film ini menceritakan seorang petani ganja di Kentucky yang dipenjara selama 17 tahun sampai akhirnya diberi amnesti oleh Presiden Barack Obama. Seri dokumenter karyanya seputar ganja pun diganjar piala emas dan perak di ajang Clio Cannabis Campaign.
Tantangan bagi Sfeir sehingga ia gigih memperjuangkan agar ganja bisa dimanfaatkan untuk pengobatan adalah persepsi otoritas keamanan di Jazirah Arab, mulai dari Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, hingga Kuwait yang keras menolak pemanfaatan ganja untuk alasan apapun. Padahal dalam satu dekade terakhir, banyak negara yang telah mengkaji ulang kebijakan ganjanya.
Karena itu, Sfeir memublikasikan berbagai manfaat ganja terutama untuk keperluan pengobatan melalui situs web berbahasa Arab. Situs yang Sfeir dkk. kembangkan bernama Canaarab atau Canbus al-Arabi. Ia ingin orang-orang berbahasa Arab bisa lebih memahami manfaat ganja untuk pengobatan. Menurutnya, banyak penduduk Jazirah Arab yang belum paham manfaat tersebut lantaran 10 ribuan lebih penelitian tentang ganja medis belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Maka, Sfeir menempatkan situs tersebut sebagai media pendidikan umum tentang ganja terutama bagi masyarakat berbahasa Arab. Materinya beragam, di antaranya wawancara dengan pengidap autisme atau depresi dari negara-negara Arab yang kondisinya membaik setelah terapi CBD. Ada juga obrolan dengan orang-orang yang kompeten untuk menjelaskan ganja dari bidang yang mereka kuasai seperti dokter, ekonom, juga politikus.
Yang Sfeir sayangkan, bila ada orang Arab yang menolak pemanfaatan ganja karena berpegang pada ajaran Islam. Sfeir bersimpati pada mendiang Charlotte Figi karena ia juga punya sepupu yang meninggal akibat epilepsi. Padahal bila otoritas kesehatan di negaranya mengizinkan ganja dimanfaatkan untuk pengobatan epilepsi, maka mendiang sepupunya akan mendapat kesempatan mendapat perawatan medis yang memadai.
Karena tidak adanya izin dan kebijakan tersebut akibat stigma terhadap ganja, maka pasien dan keluarganya hanya punya pilihan merukiahnya oleh pemuka-pemuka masjid. Gejala epilepsinya dianggap sebagai dampak sihir. Kejang sepupunya pun makin sering kambuh meski sudah berulang kali dirukiah.
Sfeir mengulang kisah yang dialami sepupunya di akhir masa hidupnya. Mendiang sepupunya meninggal setelah lama menderita tanpa pernah mendapat penanganan medis yang sudah terbukti secara ilmiah. Ia pun berandai-andai kalau ganja tidak dimusuhi dan terapi CBD diterima masyarakat Arab Saudi, mungkin sepupunya tidak akan semenderita itu menjelang ajalnya.
Ia pun berhitung, ada berapa pasien penyakit berat di luar sana yang bisa terbebas dari nyeri dan kejang seandainya kita tidak serta-merta membenci hal yang sebenarnya kurang kita pahami seperti ganja misalnya.
Islam tidak sepenuhnya menolak pemanfaatan psikotropika dan narkotika untuk kepentingan medis kan? Sfeir beretorika. Ada berapa banyak rumah sakit di Jazirah Arab yang menggunakan opioid sebagai pereda nyeri dan psikotropika untuk anestesi? Padahal menurutnya, kalau hanya menilai dari potensi psikoaktifnya (membuat mabuknya) saja, morfin dan obat-obatan anestesi untuk keperluan operasi semuanya adalah haram.
Tapi, tambahnya, sudut pandangnya akan jauh berbeda bila yang dinilai adalah potensi medisnya. Maka menurutnya, dengan prinsip yang sama, masyarakat Arab sebetulnya bisa memberi kesempatan bagi pemanfaatan potensi pengobatan ganja untuk berbagai macam penyakit.
Lantas Sfeir menyitir sejarah, bahwa ganja sebetulnya sudah dikenal bangsa Arab dan peradaban Islam sejak lama. Ia pun menyebut nama Ibnu Sina alias Avicenna, penyusun ensiklopedia kedokteran The Canon of Medicine (1025). Dalam ensiklopedia itu dinyatakan bahwa ganja adalah pengobatan yang efektif untuk asam urat, edema, luka menular, dan sakit kepala parah. Karyanya ini diakui dan diamalkan oleh praktisi pengobatan Barat selama berabad-abad.
Menurutnya, pandangan negara-negara Arab terhadap ganja sayangnya hanya mengekor kebijakan “perang terhadap narkoba” yang dicanangkan AS pada 1971. Tidak ada bukti-bukti ilmiah yang sahih mengenai ganja dan tanaman obat lain untuk mendukung kebijakan perang tersebut.
Hingga kini, kebijakan ganja di banyak negara Arab masih menyatakan kalau zat yang terkandung dalam tanaman itu tidak memiliki manfaat medis dan berbahaya. Padahal sejak 2 Desember 2020, PBB telah menghapus ganja dari daftar zat berbahaya yang tidak punya manfaat medis sama sekali.
Malik Sfeir percaya, masyarakat Arab khususnya, hanya perlu diyakinkan dengan data serta referensi ilmiah soal manfaat pengobatan ganja. Ia pun menambahkan, bila negara mengizinkan pemanfaatan ganja untuk pengobatan, maka prasyaratnya adalah regulasi yang ketat yang akan meruntuhkan peredaran gelap ganja tanpa jaminan mutu yang selama ini dikuasai oleh sindikat kejahatan.
Sekali lagi ia menegaskan, ganja untuk pengobatan merupakan persoalan kemanusiaan dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam.