Kementerian Perdagangan RI telah resmi menerbitkan Peraturan No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Peraturan ini terutama membatalkan Pasal 14 Ayat 3 Huruf A bahwa minuman beralkohol golongan A (kadar alkohol sampai dengan 5%) dapat dijual secara eceran di minimarket dan Pasal 22 Ayat 7 mengenai perizinan penjualannya di minimarket pada peraturan sebelumnya (Permendagri No 20/M-DAG/PER/4/2014).
Penerbitan peraturan ini perlu dilihat dari sejumlah sisi. Pertama, terbitnya peraturan ini tak bisa lepas dari getolnya Pemerintahan Jokowi menindak secara ultra represif pihak-pihak yang terlibat narkoba. Memang vonis hukuman mati dijatuhkan di era rezim pemerintahan sebelumnya. Namun eksekusi yang telah tertunda bertahun-tahun lamanya ini kemudian dijadikan sebagai bahan ‘jualan moral’ oleh pemerintahan saat ini. Tentu saja eksekusi tersebut perlu diikuti oleh sikap terhadap narkoba secara umum.
Sikap yang sinkron dengan eksekusi hukuman mati adalah menindak dengan keras hal-hal yang berkaitan dengan narkoba. Minuman beralkohol, sama dengan narkoba, adalah komoditas yang ‘diharamkan’. Namun sekeras apapun pemberantasannya masih tetap saja banyak orang yang mengonsumsinya. Sifat haram komoditas-komoditas inilah yang kemudian dipertegas sebuah pemerintahan untuk memperkuat legitimasinya. Kebijakan pelarangan minuman keras dan narkoba pastilah akan sangat populer di Indonesia di mana jumlah ‘kaum pelarangan’ (orang-orang yang menganggap pelarangan sebuah komoditas sebagai satu-satunya cara mengatasi persoalan) ditaksir cukup besar.
Kedua, selain tekanan dari ‘kaum pelarangan’, terbitnya permendag terbaru tentang pelarangan minimarket menjual minuman beralkohol golongan A juga tidak dapat dilepaskan dari fakta pelanggaran peraturan oleh minimarket dalam menjual komoditas ini. Pasal 16 Ayat 1 Permendagri No 20/M-DAG/PER/4/2014 menyatakan bahwa pengecer wajib menempatkan minuman beralkohol pada tempat khusus atau tersendiri dan tidak bersamaan dengan produk lain. Selain itu, tidak seperti rokok, minuman beralkohol golongan A di kebanyakan minimarket dapat diperoleh secara swalayan termasuk oleh anak-anak.
Hal ini menambah kerepotan pramuniaga (walaupun bukan tidak mungkin dilakukan) untuk melaksanakan ketentuan di Pasal 15 bahwa penjualan minuman beralkohol hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 tahun atau lebih dengan menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga. Pelanggaran kedua ketentuan tersebut tidak pernah mendapat tindakan. Minuman beralkohol tetap ditempatkan berdekatan dengan produk lain dan bisa diperoleh secara swalayan di minimarket.
Ketiga, permendag baru ini boleh jadi terbit sebagai bentuk sikap pemerintah atas maraknya kasus kematian akibat minuman oplosan belakangan ini. Padahal tidak ada kaitan langsung antara minuman oplosan dengan penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket. Maraknya minuman beralkohol oplosan justru terjadi atas diterapkannya kebijakan pelarangan (kebanyakan berupa peraturan daerah antiminuman keras) serta dominasi produk impor minuman beralkohol golongan B (kadar alkohol 5-20%) dan C (kadar alkohol 20-55%).
Minuman-minuman beralkohol lokal seperti arak, ciu, legen, atau sofi, yang banyak dijadikan bahan dasar oplosan dalam berbagai eksperimen gelap, kebanyakan tidak diperoleh di pengecer resmi sebagaimana diatur dalam permendag. Produk-produk tersebut, dalam kerangka aturan pemerintah mengenai perdagangan di Indonesia pun kalah dengan minuman Barat ‘modern’ seperti whisky, vodka, atau gin.
Peraturan-peraturan antiminuman keras di sejumlah daerah semakin menempatkan komoditas tradisional yang teknologi produksinya dikuasai secara turun-temurun ini berada di bawah tanah. Modus-modus pelemahan produk lokal untuk mengamankan bisnis multinasional sebenarnya dulu pernah dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda dengan memanipulasi sikap tokoh-tokoh pribumi terhadap minuman beralkohol dan menerapkan kebijakan pelarangan hingga pemberantasannya (Kasijanto Sastrodinomo, 2006).
Untuk dapat melindungi warga negara dari kematian akibat minuman oplosan seharusnya pemerintah bukan melarang dan menafikan keberadaan dan konsumsi minuman beralkohol di masyarakat. Pemerintah harus berani mengangkat produk-produk minuman beralkohol lokal sehingga berada dalam kerangka perdagangan yang resmi di mana mutunya dapat diawasi dan produksi serta perolehannya tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Hal inilah sebenarnya yang ditakuti para pelaku bisnis minuman impor karena harga produk lokal tentu akan jauh lebih terjangkau jika berada di kerangka pasar yang sama resminya.
Begitu pula dengan penjualan minuman beralkohol di minimarket, pemerintah seharusnya menindak minimarket yang melanggar peraturan bukan melarangnya sama sekali. Pelarangan justru akan melahirkan pengecer-pengecer gelap karena kesulitan masyarakat memperoleh minuman beralkohol golongan A.
Hal-hal tersebut mencerminkan posisi pemerintah yang perlu dipahami sebagai berikut: Pertama, pemerintah tunduk kepada pelaku industri minuman beralkohol ‘modern’ dengan terus menempatkan minuman-minuman beralkohol tradisional di dalam kerangka ekonomi pasar gelap. Sikap ini sama saja dengan sikap pemerintah kolonial ketika itu dalam mengamankan bisnis pengusaha minuman beralkohol multinasional asal Belanda dengan kedok pemberantasan mudarat minuman keras.
Kedua, pemerintah tidak memiliki ketegasan untuk menindak minimarket yang melanggar peraturan, sampai-sampai kementerian perdagangan harus menerbitkan peraturan baru agar tidak perlu lagi berurusan dengan jaringan pengusaha minimarket.
Ketiga, dengan merepresi sejumlah komoditas yang telah lama dilarang namun tetap saja banyak yang mengonsumsi, pemerintah berada dalam posisi yang pro pasar gelap. Sikap ‘kaum pelarangan’ yang banyak dianggap sebagai bermoral dimanipulasi oleh sindikat pelaku industri gelap narkoba dan minuman beralkohol agar pemerintah (tentu saja tanpa disadari) menerapkan kebijakan pelarangan dan pemberantasan. Dengan demikian komoditas-komoditas tersebut tetap berada di pasar gelap yang dikuasai oleh para sindikat.
Sesungguhnya Pemerintahan Jokowi tidak kekurangan legitimasi atas kekuasaan yang baru diembannya sampai-sampai harus berada dalam posisi-posisi tersebut di atas. Publik dapat melihat bagaimana antusiasme warga pada saat kampanye dan pelantikan presiden yang dapat dijadikan ukuran legitimasi. Boleh jadi sikap tersebut diambil karena dalam waktu dekat pemerintah akan membuat kebijakan-kebijakan yang sangat tidak populer seperti pengangkatan Kapolri yang menjadi tersangka KPK atau menempatkan orang-orang parpol dalam lingkar kekuasaan.
Untuk mengimbanginya maka kebijakan yang sangat populer untuk melarang dan memberantas ‘komoditas haram’ dilakukan saat ini. Padahal telah terbukti bahwa perang terhadap narkoba sejak 1971 belum juga bisa dimenangkan; hukuman matipun tidak menyurutkan orang untuk berbisnis narkoba di berbagai pelosok dunia; pelarangan alkohol di Amerika 1919-1933 justru meningkatkan angka pembunuhan dan maraknya gangsterime di sana.
Nampaknya jalan inilah yang akan ditempuh oleh pemerintahan yang entah bagaimana seperti kehilangan kepercayaan dirinya padahal kepresidenannya disambut dengan kegembiraan dan suka cita oleh rakyat. Jika memang demikian, maka Bangsa Indonesia perlu bersiap untuk menyambut kelahiran Pablo Escobar dan Alcapone-Alcapone baru di negeri yang kita cintai ini.
Dimuat di Empowerment Justice Action 29 Januari 2015