close
FeaturedKeterangan PersKomunitas

Memperingati Nelson Mandela Day: Quo Vadis Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia

nelsonmandelanih ye
Pada 1994, Nelson Mandela mengunjungi Pulau Robben serta sel penjara tempat ia pernah ditahan (AP File)

It is said that no one truly knows a nation until one has been inside its jails. A nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones – Nelson Mandela

Nelson Mandela Day diperingati tiap 18 Juli. PBB menetapkan momentum itu sebagai hari untuk mempromosikan kondisi pemenjaraan yang manusiawi dan mengingatkan masyarakat bahwa penghuni penjara yang meliputi rumah tahanan negara dan lembaga pemasayarakatan di Indonesia adalah bagian dari masyarakat, serta untuk memberikan penghargaan kepada para petugas penjara.

Bertepatan dengan Nelson Mandela Day, Rumah Cemara dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kembali menyoroti kondisi penjara yang hingga hari ini masih jauh dari manusiawi dan mengingatkan bahwa sistem peradilan pidana kita harus segera berbenah tanpa meninggalkan konsep pemasyarakatan yang digagas oleh Menteri Kehakiman, Sahardjo pada 1962.

Melalui riset “RKUHP Mengancam Lapas: Analisis Situasi Pemenuhan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Dampak RKUHP terhadap Penanggulangan HIV-AIDS dalam Lapas”, Rumah Cemara dan ICJR mencoba melihat kondisi pemenuhan hak dasar penghuni penjara dan pemenuhan hak yang berkaitan dengan kebijakan penanggulangan HIV-AIDS.

Riset yang dilakukan di delapan penjara wilayah DKI Jakarta sepanjang Januari-Mei 2019, menggali apakan institusi penjara sudah memiliki kemampuan mencegah terjadinya penularan HIV-AIDS jika RKUHP yang mengkriminalisasi perilaku-perilaku berisiko tertular HIV disahkan. Kriminalisasi tersebut termasuk kriminalisasi hubungan seks konsensual yang akan menyasar baik bagi hubungan hetero atau homoseksual serta pekerja seks, juga kriminalisasi konsumen narkotika khususnya yang menyuntikkannya. Kondisi itu akan diperparah dengan dipidananya promosi alat kontrasepsi secara terbuka.

Baca juga:  Setujui RKUHP Disahkan, Jokowi Abaikan Penanggulangan HIV-AIDS

Hasil riset tersebut menemukan, secara umum pemenuhan hak-hak dasar penghuni di delapan penjara yang berada di DKI Jakarta masih jauh dari apa yang disyaratkan. Hal ini, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari fenomena kelebihan populasi yang masih menghantui rutan dan lapas di seluruh Indonesia. Hak dasar atas akomodasi yang layak misalnya, tidak terpenuhi  karena penghuni ditemukan harus berbagi dengan 10 hingga 11 orang dalam ruang yang berukuran hanya 3 x 4 meter.

Diskriminasi pun kerap terjadi karena penempatan penghuni dipisahkan berdasarkan tindak pidana di beberapa penjara, sehingga blok untuk mereka yang terlibat kasus narkotika selalu lebih sempit dibandingkan tindak pidana lain. Tercatat, kasus narkotika per per Juni 2020 menempati setidaknya 56,62 persen dari keseluruhan jumlah populasi rutan dan lapas se-Indonesia.

Tidak hanya itu, kebutuhan dasar penting lainnya seperti air minum pun diberikan terbatas dengan menggunakan galon atau teko yang harus dibagi dengan rekan satu sel dengan jam pengambilan terbatas hanya waktu makan. Riset ini bahkan menemukan adanya penghuni yang hanya diberikan air hangat dalam satu termos untuk dibagi ke 10 orang dalam satu sel setiap kali jatah makan. Temuan ini hanyalah sebagian kecil dari temuan lain berkaitan dengan hak-hak dasar warga binaan.

Selain itu, ICJR dan Rumah Cemara menemukan secara umum napi dan tahanan perempuan pun minim terpenuhi hak dasarnya, sama dengan laki-laki. Hak khusus seperti hak untuk memperoleh pembalut gratis yang dijamin oleh PP 32 Tahun 1999 dan Keputusan Dirjenpas No. 981 Tahun 2018, sama sekali tidak ditemukan di lapangan. Mereka harus memenuhi sendiri kebutuhannya tersebut dengan biaya pribadi.

Baca juga:  Penting dan Tidak Pentingnya Kasus MZ

Situasi lebih mengkhawatirkan jika penghuni tidak memiliki keluarga sehingga ia harus bekerja secara mandiri di dalam penjara atau meminta kepada rekan sesama penghuni lain. Padahal, pembalut adalah kebutuhan dasar untuk perempuan yang secara alami mengalami menstruasi. 

Riset ini juga menyinggung sejumlah hal terkait kebijakan penanggulangan HIV-AIDS, di antaranya dapat disimpulkan bahwa secara aturan tertulis, kebijakan yang ada sudah terlihat baik. Namun, implementasinya jauh dari harapan. Penanggulangan HIV-AIDS di penjara masih dilaksanakan berbasis stigma dengan pendekatan hanya dititikberatkan pada pelarangan perilaku berisiko yang berlebihan seperti pelarangan hubungan seks konsensual dan mengonsumsi narkotika, yang sejauh ini tidak efektif.

Selain itu, perawatan dan manajemen pencegahan HIV tidak sepenuhnya dijalankan. Misalnya saja dalam hal pencegahan HIV-AIDS melalui hubungan seksual. Berdasarkan Pedoman Layanan Komprehensif HIV-AIDS & IMS di Lapas, Rutan, dan Bapas yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, dijelaskan bahwa salah satu indikator kunci kinerja pengelolaan HIV, TB, dan IMS di penjara adalah dengan menyediakan dan mendistribusikan kondom. Hal ini dilakukan untuk mengontrol dan sebisa mungkin mengawasi perilaku berisiko tertular HIV.

Dalam praktiknya, kondom tidak ditemukan tersedia di tujuh penjara yang menjadi tempat riset. Hanya ada di satu penjara yang menyediakannya dan dilakukan dengan mekanisme pencatatan. Sayangnya, pencatatannya terkadang mengakibatkan stigma dan pelanggaran hak atas privasi penghuni.

Baca juga:  Bukan Salah Polisi Kalau Mereka Lihai Berbisnis Sabu

Pengambilan sampel untuk pemeriksaan CD-4 di penjara pun sangat bergantung pada Suku Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, yang pada saat riset ini dilakukan, sudah beberapa waktu tidak melakukan pemeriksaan CD4.

Dari riset ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa penjara masih belum memiliki kemampuan untuk secara umum memberikan pelayanan dan pembinaan bagi penghuninya, terlebih dalam kondisi untuk mencegah adanya penularan HIV di dalamnya. Dengan adanya RKUHP yang juga mengutamakan pendekatan kriminalisasi dengan pemenjaraan sebagai output-nya, maka akan menambah beban dan menyulitkan penanggulangan HIV-AIDS di penjara.

Berdasarkan riset ini, ICJR dan Rumah Cemara memberikan tiga rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR RI. Pertama, proses pembahasan RKUHP harus juga melihat institusi penjara sebagai korban dari sistem peradilan pidana yang punitif. Pendekatan kriminalisasi perilaku berisiko ataupun mengkriminalisasi populasi kunci HIV akan membebani penjara untuk melaksanakan pembinaan.

Kedua, pembahasan RKUHP harus menghapus pasal-pasal yang mengkriminalisasi perilaku berisiko HIV yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV-AIDS di penjara. Dan ketiga, segera memperbaiki kebijakan dan implementasi pemenuhan kebutuhan dasar penghuni penjara, termasuk memperbaiki implementasi penanggulangan HIV-AIDS di dalamnya.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.