Konsumsi narkoba bermasalah telah membuat para konsumen dan orang-orang terdekatnya berupaya menghentikan dan berpantang dari konsumsi zat-zat psikoaktif itu. Upaya yang lebih sistematis melibatkan profesional maupun secara berkelompok, yakni mereka yang sama-sama berniat menghentikan dan hidup tanpa konsumsi narkoba.
Kriteria bermasalah tidak melulu berkaitan dengan frekuensi konsumsi, melainkan pada dampak terhadap kehidupan, yakni masalah-masalah sosial, finansial, psikologis, fisik, atau hukum akibat konsumsi narkoba.
Konsumsi bermasalah sebuah zat psikoatif tercatat mulai didiskusikan pada abad ke-17. Ketika itu, konsumsi narkoba bermasalah diidentifikasi dari ketidakmampuan seseorang mengontrol konsumsi narkobanya yang melahirkan konsep ketagihan (addiction).
Dari masa itulah evolusi perawatan konsumsi narkoba bermasalah mulai tercatat dalam sejarah. Terdapat setidaknya dua cara mengatasi konsumsi zat psikoaktif, yakni menggunakan obat-obatan (farmakoterapi) dan tanpa bantuan obat.
Sepanjang 1750 hingga awal 1800-an dikenal kelompok-kelompok saling bantu alkoholik atau sobriety circles. Kelompok ini awalnya terdiri dari berbagai suku penduduk asli Amerika yang memanfaatkan praktik-prakik nenek moyang mereka untuk mengatasi alkoholisme.
Benjamin Rush, dokter sekaligus salah seorang penanda tangan Deklarasi Kemerdekaan AS berargumentasi kalau alkoholisme merupakan sebuah penyakit yang seharusnya mendapat perawatan pada 1784.
Orang-orang yang ketagihan alkohol atau opium banyak ditemukan di Amerika pada 1800-an (bahkan hingga kini). Selama perawatan, konsumsi zat-zat psikoaktif tersebut digantikan dengan morfin, kokaina, dan obat-obatan lainnya yang dianggap mampu mengatasi ketagihan. Terapi pengalihan sampai saat ini pun masih dilakukan. Sebagai contoh, buprenorfin, morfin, metadon, hingga heroin diresepkan di layanan kesehatan bagi yang bermasalah dengan konsumsi opioid. Sementara koyok nikotin dipakai untuk mensubstitusi konsumsi rokok bermasalah.
Terapi pengalihan turut dipopulerkan bapak psikoanalisis, Sigmund Freud. Ia menggunakan kokaina untuk perawatan alkoholisme dan ketagihan morfin yang diikuti oleh dokter-dokter di Amerika pada 1880-an.
Rumah-rumah pemulihan mulai dibuka sejak 1850-an sebagai tempat tinggal sementara untuk detoksifikasi nonmedis, isolasi dari budaya minum alkohol, mengasah moral, dan melatih cara hidup baru tanpa mabuk secara berkelompok. Rumah pemulihan macam ini pertama kali dibuka di Boston, AS mencontoh rumah-rumah sakit jiwa yang dioperasikan pemerintah.
Rumah sakit jiwa, termasuk di Indonesia, banyak pula yang merawat konsumsi narkoba yang bermasalah. Bangunan dan tenaga medis yang tersedia memungkinkan para pasien dirawat di fasilitas terpisah dengan supervisi medis untuk farmakoterapi.
Selain farmakoterapi, terapi psiko-sosial, atau dukungan kelompok, pusat-pusat rehabilitasi di AS menggunakan berbagai cara untuk mengatasi ketagihan narkoba. Merendam dengan air dingin, menyuntikkan berbagai zat termasuk insulin untuk membuat koma, vaksin antialkoholisme, hingga menyetrum pasien dipercaya bisa menyembuhkan ketagihan narkoba.
Di Indonesia, cara-cara penyembuhan tak kalah absurd. Mistik dan klenik banyak dimanfaatkan atas keputusasaan yang ditimbulkan oleh ketagihan narkoba. Selain rumah sakit-rumah sakit jiwa, pondok-pondok pesantren juga kerap dimanfaatkan untuk merehabilitasi pasien ketagihan narkoba. Banyaknya konsumen narkoba yang tertangkap polisi pada gilirannya membuat program rehabilitasi juga dilaksanakan di dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Pada akhir 1990-an, sejumlah yayasan di Indonesia membuka pusat-pusat rehabilitasi ketagihan narkoba mengadopsi therapeutic community yang berakar di AS dan telah lebih dulu dilaksanakan di Singapura atau Malaysia. Program jenis ini mensyaratkan rawat huni setidaknya selama enam bulan sampai pasien mampu mengadaptasi gaya hidup baru tanpa konsumsi narkoba. Program ini mengandalkan dukungan dan panutan dari sesama konsumen yang telah lebih dulu hidup “bersih”.
Fasilitas program tersebut diperuntukkan khusus bagi konsumen narkoba tanpa bercampur dengan penghuni rumah sakit jiwa, pesantren, maupun rumah sakit yang sangat medis. Meski demikian, biaya perawatan yang mahal membuat peserta-peserta program ini tidak datang secara sukarela, tapi diminta atau dipaksa masuk oleh orang tuanya.
Sayangnya dengan biaya yang tidak murah, tingkat kekambuhan program rehabilitasi ketagihan narkoba relatif tinggi. Drugabuse.com menyebut statistik kekambuhan setahun pascaperawatan mencapai 85 persen. Sementara National Institute on Drug Abuse membandingkan tingkat kekambuhan antara konsumsi narkoba bermasalah dengan penyakit kronis lainnya, yakni antara 40-60 persen untuk masalah konsumsi narkoba dan 50-70 persen masing-masing untuk darah tinggi dan asma.
Ketidakefektifan rehabilitasi ketagihan narkoba diperparah dengan banyaknya pasien yang mengikuti program secara wajib alias nonsukarela. Hal ini dimungkinkan karena syarat yang dibebankan sistem penegakan hukum atau dipaksa para orang tua yang membiayai program.
Sebuah kajian yang dipublikasikan the International Journal of Drug Policy menyimpulkan, rehabilitasi yang diwajibkan (mandatory atau compulsory) untuk masalah narkoba tidak seefektif yang berdasarkan kesukarelaan dalam mencegah residivisme.
Para peneliti dalam kajian itu merekomendasikan program perawatan yang berlandaskan bukti dan kesukarelaan sebagai solusi untuk mengurangi dampak-dampak merugikan yang diakibatkan oleh konsumsi narkoba.
Boleh dibilang, pusat-pusat rehabilitasi untuk konsumsi narkoba bermasalah kebanyakan dihuni tidak berdasarkan kesukarelaan. Ketidaksediaan asuransi kesehatan membayar layanan ini menjadi salah satu faktor ketidaksukarelaan seseorang mengikuti program ini.
Di Indonesia, ditengarai banyak pusat rehabilitasi yang dimanfaatkan oleh orang-orang berduit saat tertangkap polisi atas kepemilikan narkoba. Mereka rela mengeluarkan banyak uang agar dapat berada di pusat rehabilitasi, termasuk yang dikelola pemerintah, ketimbang di penjara.
Karena terpaksa berada di pusat rehabilitasi atau rumah tahanan karena kasus narkoba, pemerasan serta berbagai tindak kekerasan kerap dialami para penghuni.
PBB sejak 2013 melaporkan, orang-orang yang diidentifikasi sebagai konsumen narkoba di pusat rehabilitasi paksa atau rumah-rumah tahanan kasus narkoba yang dikelola pemerintah sering mengalami penyalahgunaan termasuk kekerasan fisik dan seksual serta kerja paksa atas nama “rehabilitasi”. Bahkan para pembuat laporan meminta para donatur untuk tidak lagi membiayai tempat-tempat semacam ini.
Laporan PBB itu dilakukan untuk menindaklanjuti Pernyataan Bersama 2012 untuk menutup pusat-pusat rehabilitasi paksa dan rumah tahanan kasus narkoba. Sebagai gantinya, PBB meminta pemerintah negara-negara anggota mengadopsi layanan sosial dan kesehatan di masyarakat yang berdasarkan hak asasi manusia, bukti-bukti, serta kesukarelaan.
Delapan tahun kemudian, bertepatan dengan pandemi covid-19, badan-badan PBB kembali menegaskan pernyataan untuk menutup tempat-tempat penahanan paksa konsumen narkoba.
Atas laporan penyiksaan, kerja paksa, kekerasan fisik dan seksual, tidak efektifnya rehabilitasi paksa, tingkat kekambuhan yang relatif tinggi, serta kerentanan penularan virus atas sulitnya menjaga jarak fisik, kali ini badan-badan PBB mendesak negara-negara anggota untuk menutup secara permanen tempat-tempat penahanan yang disebut sebagai pusat rehabilitasi bagi konsumsi narkoba yang bermasalah.
Berikut isi pernyataan bersama tersebut:
PERNYATAAN BERSAMA
Pusat Rehabilitasi dan Rumah Tahanan Kasus Narkoba di Asia dan Pasifik dalam Konteks Covid-19
1 Juni 2020
Badan-badan PBB mendesak Negara-Negara Anggota untuk menutup pusat rehabilitasi dan rumah tahanan secara permanen, serta menerapkan layanan sosial dan kesehatan yang berlandaskan bukti-bukti, hak asasi manusia, serta kesukarelaan sebagai langkah penting menekan penyebaran covid-19.
Selain itu, negara anggota perlu memfasilitasi pemulihan dan reintegrasi mereka yang berada di tempat-tempat tersebut untuk kembali ke keluarga dan komunitasnya. Hal ini merujuk pada Pernyataan Bersama 2012 mengenai Pusat Rehabilitasi dan Rumah Tahanan Kasus Narkoba serta Pernyataan Bersama 2020 mengenai Covid-19 di Penjara serta Tempat-Tempat Tertutup lainnya.
Wabah covid-19 membentangkan berbagai tantangan bagi negara-negara di Asia dan Pasifik untuk merancang serta menerapkan respons dan langkah pemulihan yang efisien serta menghormati hak semua orang tanpa terkecuali. Orang-orang di pusat rehabilitasi dan rumah tahanan rentan tertular virus. Mereka terdiri dari orang-orang yang dicurigai mengonsumsi atau ketergantungan narkoba, terlibat perdagangan seks, atau anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Kriteria penahanan di tempat-tempat tersebut bervariasi di tiap negara, tapi mereka kerap ditahan tanpa proses, perlindungan, dan peninjauan hukum yang memadai atas nama “perawatan” dan “rehabilitasi”. Mereka menjadi lebih rentan, termasuk terhadap HIV, TBC, sebagaimana terhadap covid-19, sebagai akibat dari kondisi kehidupan di bawah standar, termasuk kelebihan hunian serta kesulitan menjaga jarak fisik. Selain itu, penahanan di sana sering dilaporkan menerapkan kerja paksa, gizi buruk, kekerasan fisik dan seksual, serta penyangkalan atau akses terhadap layanan dan kualitas kesehatan yang relatif lebih rendah.
Selama masa darurat kesehatan global ini, badan-badan PBB kembali menyerukan kepada Negara-Negara Anggota supaya segera menutup pusat rehabilitasi dan rumah tahanan kasus narkoba dan membebaskan para tahanan. Ini adalah langkah penting mencegah penularan covid-19, dan tidak lagi menggunakan segala bentuk penahanan.
Badan-badan PBB siap bekerja dengan Negara-Negara Anggota saat mengambil langkah-langkah tersebut serta untuk transisi ke sistem perawatan dan layanan berbasis masyarakat yang berdasarkan bukti, yang selaras dengan pedoman dan prinsip-prinsip internasional perawatan ketergantungan serta konsumsi narkoba dan hak asasi manusia.
Ditandatangani oleh,
6 Comments