close
FeaturedKomunitas

Pemanfaatan Ganja Medis Dipidanakan Lagi: Bebaskan Reyndhart Siahaan!

SCHOOLS-TOP-e1524026920282
Ilustrasi: Canna Care Wellness

Kasus ganja medis seperti yang dialami Fidelis Arie pada 2017, kembali terulang. Kali ini, seorang warga Jakarta Timur, Reynhardt Siahaan didakwa atas pemanfaatan ganja dan sedang menunggu vonis dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang, Nusa Tengara Timur.

Seperti diberitakan sejumlah media, Reynhardt (37) mengalami gangguan saraf terjepit pada 2015. Tiga tahun kemudian, penyakit itu kambuh. Untuk meredakan rasa sakit, dia memanfaatkan ganja. Kini Renyhardt harus menghadapi proses hukum.

Kasus ini mengingatkan publik pada kasus serupa, yang menimpa Fidelis Arie di PN Sanggau pada 2017 silam. Fidelis saat itu diadili karena mengobati istrinya, Yeni Riawati, menggunakan ganja. Sang istri diketahui menderita syringomyelia. Sebelumnya, Fidelis sudah berusaha mencari metode pengobatan istrinya secara konvensional maupun alternatif. Ia ditangkap dan divonis penjara oleh PN Sanggau, Kalimatan Barat. Selama Fidelis menjalani hukuman, kondisi sang istri memburuk hingga akhirnya meninggal dunia.

Indonesia memang melarang pemanfaatan narkotika golongan satu untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meski demikian, tidak semestinya UU tersebut melarang pemanfaatan narkotika untuk pelayanan kesehatan.

Hal ini disampaikan LBH Masyarakat (LBHM) melalui siaran pers yang diterima Rumah Cemara (10/6). Menurut LBHM, tujuan pertama dan utama keberadaan narkotika sejatinya adalah untuk kesehatan umat manusia. Keberadaan pasal itu justru bertolak belakang dengan eksistensi narkotika itu sendiri. Riset dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengembangkan hal itu seharusnya tersedia dan didukung oleh negara.

Baca juga:  Tanggapan Para Pemohon Uji Materi Pelarangan Narkotika Pascaputusan MK

Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia dijamin dalam konstitusi. Hak atas kesehatan juga dijamin dalam UU HAM nomor 39/1999 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Oleh karena itu, pelarangan narkotika golongan satu untuk medis jelas bertentangan dengan norma hak atas kesehatan.

Sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan satu guna pelayanan kesehatan.

Sekalipun UU Narkotika masih memidanakan pemanfaatan narkotika golongan satu, Majelis Hakim PN Kupang yang mengadili perkara Reynhardt diharapkan dapat mengedepankan prinsip hak atas kesehatan dan mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum.

LBHM juga mendesak majelis hakim agar bersedia membebaskan Reyndhart Siahaan dari segala dakwaan.

Dalam siaran persnya, LBHM juga menyampaikan sejumlah desakan kepada negara. Pertama, meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan satu, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Kedua, menyediakan kesempatan untuk melakukan penelitian terhadap zat dan tanaman yang terdaftar sebagai Narkotika Golongan I, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas.

Ketiga, menghapus stigma terhadap zat-zat narkotika dan para konsumennya, sebab mereka bukan kriminal. Mereka harus mendapat dukungan, bukan kurungan!

Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.