Catatan Estimasi Depkes mengenai Populasi Kunci tertular HIV dan AIDS di Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan Populasi Pelanggan Wanita Penjaja Seks (WPS) menempati peringkat pertama yaitu sebesar 350.710 orang, 44% dari total populasi berisiko di Jawa Barat.
Angka estimasi tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan data estimasi pengguna napza suntik/Penasun, subpopulasi yang paling sering didengung-dengungkan selama ini karena faktanya tingkat penularan HIV di kalangan penasun lebih cepat dibandingkan dengan subpopulasi kunci lainnya. Angka kasus tercatat di Dinkes Jawa Barat menyatakan 67% ODHA di Jawa Barat berasal dari kalangan Penasun (Dinkes Jabar Maret 2009).
Tingkat penularan HIV di kalangan pelanggan ini lebih lambat sehingga tidak terlalu populer dibandingkan dengan penasun. Berdasarkan teori, tingkat penularan melalui hubungan seksual hanya 1%, artinya seratus kali berhubungan seks tidak aman kemungkinan tertularnya hanya satu kali. Namun kita tidak akan pernah tahu, pada hubungan seks keberapa kita tertular. Bisa pada hubungan seks pertama, kedua, atau ke sembilan puluh sembilan.
Tingkat penularan HIV melalui hubungan seksual akan lebih tinggi jika di suatu wilayah memiliki tingkat Infeksi Menular Seksual tinggi di kalangan WPS dan pelanggannya, perbandingan jumlah WPS dibandingkan dengan pelanggannya sangat jauh, dan intensitas berhubungan seks tidak aman yang tinggi.
Hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Depkes 2007 menunjukan bahwa :
- Prevalensi HIV di Jawa Barat pada WPS Langsung termasuk 4 besar tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 11,6 % setelah Batam, Bali, dan Tanah Papua hasil temuan survey tersebut menunjukan bahwa sebagian besar WPS terinfeksi pada saat Enam bulan pertama menjajakan seks.
- Estimasi Jumlah WPS di Jabar 25.330 orang dan masih terdapat wilayah-wilayah berpotensi menghasilkan WPS baru.
- Prevalensi Klamidia dan Gonorhea pada WPS Langsung di Jawa Barat tertinggi di Indonesia, yaitu 55% dan 43,9%.
- Jumlah pelanggan WPS di Jawa Barat diperkirakan sebanyak 350.650 orang (Estimasi Populasi Risiko Tinggi/populas kunci 2006) namun Pemakaian kondom secara konsisten pada seks komersial tahun 2007 sangat rendah dan tidak memperlihatkan adanya peningkatan selama periode 2002-2007.
Kasus HIV dan AIDS di Jawa Barat tercatat pertama kali pada tahun 1998, 20 tahun sudah Jawa Barat telah menghadapi masalah epidemi ini. Dari hasil pemodelan epidemi HIV yang dilakukan KPAP Jawa Barat (2009), kasus HIV dikalangan Pelanggan WPS dan Pasangannya pada tahun 2008 sampai tahun 2020 diproyeksikan mengalami kenaikan perlahan tapi pasti. Karena kita tidak tahu siapa sebenarnya pelanggan WPS apakah Pengusaha, Pekerja, PNS, Mahasiswa, Buruh, Pengangguran. Dari golongan kaya, menengah, atau miskin, tidak ada tanda apapun dari mereka, bahkan sering kali mereka baru menyadari tertular HIV setelah masuk pada fase AIDS karena sudah mulai sakit-sakitan akibat Infeksi Oportunistik yang mereka alami seperti TBC, Diare, Kandidiasis, Toksoplasmosis yang lama sembuhnya.
Program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan Pelanggan WPS lebih sulit dibandingkan dengan subpopulasi lainnya seperti WPS, Penasun, Waria, Lelaki Seks Lelaki, dan Warga Binaan Pemasyarakatan karena mereka relatif lebih mudah dikenali dan dijangkau oleh LSM dan petugas Puskesmas.
Upaya yang dilakukan salama ini adalah menjangkau pelanggan di lokasi transaksi seks, supir truk, atau secara umum melalui program AIDS di tempat kerja di perusahaan-perusahaan. Artinya tidak semua pelanggan WPS dapat mengikuti program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Saat ini yang dimungkinkan untuk menjangkau pelanggan adalah kebijakan dari pemerintah dalam penggunaan kondom 100% untuk hubungan seks berisiko seperti yang dilakukan di Thailand atau diintegrasikan dengan Program KB BKKBN. Media dalam hal ini berperan dalam menciptakan opini publik yang mendukung kebijakan tersebut dan mempengaruhi kesadaran pelanggan WPS untuk memeriksakan dirinya sedini mungkin atau berubah berperilaku aman dan sehat.