close
FeaturedKebijakan

Pelarangan Narkoba: Seberapa Berdaulat Indonesia?

730×480-img-11948-bendera-merah-putih-steemkr

Narkoba adalah komoditas yang telah dikonsumsi umat manusia selama ribuan tahun. Opium (getah tanaman Papaver somniferum), misalnya, telah digunakan dalam pengobatan dan rekreasi bangsa Sumeria di dataran rendah Mesopotamia pada 3400 SM. Pemanfaatan alkohol bahkan lebih tua lagi. Penemuan teko bir zaman batu dari Periode Neolitikum (10.000 SM) menegaskan hal itu.

Pengobatan dan rekreasi adalah dua manfaat narkoba yang membuatnya menjadi komoditas perdagangan lintas negara sampai sekarang.

Saat impor opium Tiongkok mencapai 3.300 ton, dan Inggris 386 ton, sebuah pertemuan yang dihadiri dua belas negara diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok pada 1909. Agendanya adalah kemungkinan penerapan kendali internasional atas perdagangan opium dan pembentukan Komisi Opium Internasional. Produksi opium global kala itu diklaim lima kali lebih besar dari yang dihasilkan pada 2009.

Sejak saat itu, opium berada di bawah rezim kendali internasional. Konvensi Opium Internasional juga mencakup ganja pada 1925.

Pasca Perang Dunia II, konstelasi global memungkinkan rezim ini tidak hanya mengendalikan perdagangan, tapi juga menerapkan pelarangan dan hukum pidana internasional. Kendali dialihkan dari Liga Bangsa-Bangsa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konvensi Tunggal PBB mengenai Narkotika disahkan pada 1961. Konvensi ini menargetkan pemusnahan pemanfaatan tradisional opium 15 tahun pasca-diterapkan negara-negara penanda tangan (anggota PBB) pada 1964, dan 25 tahun untuk pemanfaatan tradisional ganja dan koka. Tentu saja ketentuan tersebut memberatkan negara-negara produsen tradisional ketiga komoditas itu yang terkonsentrasi di Asia, Amerika Latin, dan Afrika.

Sepuluh tahun kemudian, rezim ini memasukkan zat-zat psikoaktif lainnya ke dalam Konvensi PBB mengenai Psikotropika 1971.

Setahun sebelum tenggat pemusnahan pemanfaatan tradisional koka dan ganja, Konvensi PBB Melawan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 ditandatangani negara-negara anggota.

Kegagalan pencapaian di bidang pengendalian narkoba sesuai target yang disepakati secara internasional terus berlanjut. Sesi khusus sidang umum PBB mengenai narkoba digelar untuk pertama kali, menandai dekade pemberantasan penyalahgunaan narkoba oleh PBB pada 1990. Sesi khusus kedua diselenggarakan pada 1998 yang menetapkan “dunia bebas narkoba” sepuluh tahun kemudian.

Seperti sebelumnya, target inipun kandas dan harus diperpanjang tenggatnya hingga 2019.

Bersama ASEAN, Indonesia pun menetapkan target serupa pada 2015. Kini, tenggat itu sudah tiga tahun berlalu dan masih meninggalkan berbagai persoalan.

Narkoba ditetapkan sebagai masalah nasional saat Presiden Soeharto menginstruksikan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara untuk mencegah dan memberantas masalah yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum. Bersama uang palsu, penggunaan narkotika dianggap menghambat pembangunan. Instruksi presiden itu ditetapkan 8 September 1971.

Tiga bulan sebelumnya, Juni 1971, dalam sebuah konferensi pers, Richard Nixon, Presiden AS menetapkan narkoba sebagai musuh masyarakat Amerika nomor satu dan mencanangkan ‘perang terhadap narkoba’. Semangat perang inilah yang digelorakan dan menjadi arwah penanggulangan narkoba secara global.

Seperti halnya di AS, ‘perang terhadap narkoba’ di Indonesia membawa dampak yang lebih merugikan. Tidak hanya gagal mencapai cita-cita “Indonesia Bebas Narkoba 2015”, berbagai macam persoalan berkaitan dengan narkoba terus membelit negeri ini.

Di penghujung dekade 1990-an, menyuntik heroin (putau) lazim dilakukan demi menghemat biaya konsumsinya, ketimbang dengan cara dibakar atau dihirup. Karena berada di kerangka ekonomi pasar gelap, para pengedar semena-mena menentukan harga jual. Tak hanya itu, produsen serta pengedar mencampurkan berbagai bahan supaya berat dan kuantitasnya bertambah demi melipatgandakan laba. Alhasil, konsumen harus menyuntik lebih sering karena rendahnya mutu narkoba yang dibeli.

Baca juga:  Ancaman Sanksi Berlebihan di RKUHP pada Sektor Pariwisata

Di saat bersamaan, UU Narkotika baru (22/1997) mencantumkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkoba. Muncullah berbagai ormas antinarkoba. Gerai-gerai tempat memperoleh suntikan pun tidak berani lagi menjual alat konsumsi narkoba itu. Banyak konsumen putau yang akhirnya menggunakan suntikan secara bergiliran. Praktik ini membuat mereka rentan terinfeksi virus darah seperti HIV dan hepatitis C karena pemakaian alat suntik yang tidak steril bergantian.

Kasus AIDS di kelompok inipun melonjak dari 62 pada 2001 menjadi 1.517 kasus pada 2006, melebihi setengah dari seluruh temuan kasus secara nasional.

Kebijakan pelarangan membuat narkoba dipasok dan dikonsumsi secara sembunyi-sembunyi (pasar gelap). Dalam kerangka ekonomi ini, para produsen tidak diwajibkan untuk mengikuti standar mutu. Otoritas kesehatan pun tidak melakukan pengawasan terhadap produk yang dipasarkan. Demi laba tinggi, produsen menggunakan bahan baku murah bahkan beracun. Narkoba sintetis dan oplosan pun marak.

Gencarnya pemberantasan juga membuat produksi narkoba makin tersembunyi. Produsen berupaya menciptakan zat-zat psikoaktif baru yang tidak terdaftar dalam UU Narkotika demi menghindari hukum pidana.

Pada 2017, 49 zat baru ditambahkan ke daftar Golongan 1, zat yang hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan IPTEK dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam lima tahun terakhir, konsumsi narkoba sintetis seperti tembakau Cap Gorila dan sabu marak. Karena tidak bergantung pada budi daya tanaman, narkoba sintetis makin banyak dipasarkan. Ironisnya, di pelosok Aceh saat ini, sabu lebih mudah ditemui ketimbang ganja.

Selain itu, hukum pidana narkoba telah menempatkan ratusan ribu warga negara Indonesia ke dalam penjara.

Per Desember 2017, sebanyak 232.081 orang menjadi penghuni lapas dan rutan. Mereka menempati keseluruhan bangunan berkapasitas 123.997 penghuni. Sebanyak 99.507 penghuni merupakan tahanan dan narapidana kasus narkoba. Jumlah konsumen narkoba yang menjadi terpidana naik dari 28.609 per Desember 2014 menjadi 36.734 penghuni.

Penjara adalah tempat di mana akses terhadap layanan kesehatan lebih terbatas. Ditambah, kelebihan populasi yang mencapai 183 persen per Desember 2017, kondisi kesehatan narapidana dan tahanan menjadi lebih rentan. Tercatat, dari 813 kematian di seluruh lapas dan rutan pada 2006, 70 persennya terkait HIV-AIDS. Penyakit yang ditemukan di antaranya TBC, diare kronis, dan toksoplasma.

Secara tidak adil, pemidanaan narkoba justru dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan.

Pada 2017, BNN memperkirakan biaya konsumsi narkoba di Indonesia mencapai Rp69 triliun. Jumlah ini secara konsisten meningkat dari Rp15 triliun pada 2008 dan Rp42 triliun pada 2014. Uang sebanyak ini masuk ke saku sindikat narkoba tanpa dikenai pajak. Jumlah fantastis inilah yang menyebabkan bisnis narkoba terus digeluti walaupun terdapat ancaman hukuman mati.

Pemidanaan membuat narkoba hanya dikuasai segelintir orang yang berani melakukan apapun demi keuntungan triliunan rupiah per tahun, mulai dari dari suap hingga pembunuhan. Berada di penjara sekalipun tidak meredam bandar untuk tetap berbisnis. BNN mengakui, 90 persen peredaran narkoba dikendalikan narapidana.

Mengendalikan sebuah bisnis dari balik terali penjara tentu membutuhkan keterlibatan aparat. Dari laba besar penjualan narkoba, sindikat tak segan menggelontorkan uang untuk menyuap.

Baca juga:  PBB Laporkan, Rehab Narkoba Paksa Terus Beroperasi di Asia Timur dan Tenggara

Sebuah laporan mengenai korupsi polisi yang berkaitan dengan narkoba di Amerika menyatakan, terdapat enam tindak kejahatan dalam pemidanaan narkoba. Keenamnya yakni, melakukan penggeledahan dan penangkapan secara inkonstitusional, mencuri uang dan/ atau narkoba dari pengedar, menjual narkoba hasil sitaan, melindungi bisnis gelap narkoba, memberikan kesaksian palsu, serta membuat berita acara pemeriksaan yang tidak benar.

BNN melaporkan, komponen kedua terbesar setelah biaya konsumsi narkoba pada 2011 adalah biaya berurusan dengan aparat hukum. Biaya ini meningkat 12 kali lipat dari Rp800-an miliar pada 2008 menjadi Rp11 triliun lebih pada 2011. Peningkatan ini terjadi karena, saat tertangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan, konsumen narkoba dan keluarganya seringkali menempuh ‘jalan damai’ yang dimanfaatkan oleh oknum.

Rehabilitasi yang dimungkinkan bagi pecandu sebagaimana diatur UU Narkotika juga berpeluang menjadi ajang kolusi. Hal ini terlihat dari mudahnya orang-orang seperti pejabat atau artis mendapat putusan rehabilitasi dalam persidangan. Kalangan miskin yang menghadapi kasus serupa sangat sulit mendapat putusan macam itu.

Sampai hampir setengah abad ‘perang terhadap narkoba’, ketidakadilan ini masih terus berlangsung. Perang tersebut juga belum pernah dimenangkan.

Padahal, untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila serta UUD 1945 melalui peningkatan kualitas manusia Indonesia sesuai pertimbangan awal UU Narkotika, bangsa ini tidak harus mengikuti jejak negara adikuasa untuk memerangi narkoba.

Untuk menyelamatkan bangsa dari penyalahgunaan narkoba dan memberantas peredaran gelapnya sebagaimana tujuan UU tersebut, Indonesia bisa saja memilih untuk menerapkan kebijakan nonpidana untuk komoditas ini. Pendekatan kesehatan adalah salah satu pilihan dan bisa menjadi bukti bagaimana negara melindungi rakyatnya dari pasar gelap dan dampak yang lebih merugikan dari konsumsi narkoba.

Pada 2003, untuk menanggulangi penularan HIV di kalangan konsumen narkoba suntik, Kementerian Kesehatan RI memperkenalkan terapi substitusi narkoba jenis opioid (putau, morfin, dan turunan opium lainnya). Metadon, narkotika golongan dua dalam UU Narkotika, digunakan untuk mengganti kebutuhan harian putau para pecandunya.

Metadon sirup diproduksi di dalam negeri pada 2008. Di tahun yang sama 56 klinik metadon beroperasi tidak hanya di RS dan puskesmas, tapi juga di klinik lapas dan rutan.

Di samping metadon, alat suntik steril juga disediakan untuk mencegah pemakaian alat suntik narkoba secara bergiliran yang sangat potensial menularkan HIV. Layanan ini dilaksanakan di 189 puskesmas yang tersebar di sepuluh provinsi pada 2008.

Pendekatan kesehatan dalam menanggulangi persoalan narkoba itu berbuah pada penurunan kasus HIV akibat penyuntikan narkoba di Indonesia dari 2.780 pada 2010, menjadi 832 kasus pada 2017. Selain mencegah penularan HIV, layanan metadon juga mengalihkan pola mendapatkan narkoba dari jalanan ke fasilitas kesehatan. Konsumen memperoleh narkoba dengan mutu dan harga terjamin, jauh di bawah harga narkoba jalanan. Penjualan narkoba secara gelap menjadi tidak menguntungkan.

Penyediaan heroin dan klinik untuk menyuntikkannya di Swiss sejak 1994 telah menurunkan 60 persen kasus kriminal dan 82 persen penjualan heroin ilegal di kalangan pasien. Kematian akibat heroin nihil karena bahan baku dan dosisnya terjamin. Heroin tidak lagi diperoleh di jalanan dan tidak diminati anak muda karena citra medisnya.

Baca juga:  Diskriminasi terhadap Pengidap HIV Justru Memperburuk Penyebaran Virusnya: Hentikan!

Mengelola pasokan narkoba, seperti yang dilakukan Swiss untuk heroin, dipraktikkan agar pasar komoditas ini tidak dikuasai sindikat kejahatan. Pengelolaan narkoba oleh negara membuat harganya transparan dan berdampak pada penurunan harga jualnya. Ini membuat harga jual di pasar gelap tak mampu bersaing. Bandar pun gulung tikar.

Uruguay juga bisa menjadi contoh pengelolaan narkoba oleh negara untuk menumbangkan pasar gelap ganja. Penduduk berusia 18 tahun ke atas diperkenankan membeli ganja dari apotek yang diizinkan kementerian kesehatan setempat hingga 40 gram per bulan. Mereka juga dibolehkan menanam hingga enam pohon ganja di rumah dengan produk yang dihasilkan tak lebih dari 480 gram per tahun.

Harga jual ganja di sana kurang dari Rp10.000 per gram (22 peso). Bandingkan dengan harga di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, yang mencapai Rp56 ribu untuk kuantitas yang sama. Dengan harga jual yang ditentukan pemerintah itu, sindikat tidak akan bisa mengeruk keuntungan besar melalui pasar gelap ganja.

Terlebih, dengan diterapkannya aturan seperti di Uruguay, aparat tidak perlu repot-repot memusnahkan ratusan ribu meter persegi lahan ganja di lereng-lereng pegunungan. Sistem hukum pidana pun terbebas dari urusan ribuan tersangka kepemilikan ganja tiap tahunnya. Anggaran pemberantasan dan penegakan hukum pidana narkoba akan jauh lebih hemat. Celah-celah terjadinya kolusi termasuk untuk melindungi bisnis ilegal narkoba pun tertutup.

Dalam memperjuangkan kedaulatan bangsanya, Evo Morales, Presiden Bolivia, dengan gagah berani mengajukan proposal untuk menghapus pengunyahan daun koka dari Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961. Saat proposal itu ditolak 18 negara anggota, Bolivia keluar dari konvensi tersebut pada 2011 dan bergabung kembali setelah pengunyahan koka masuk dalam ranah budaya yang diurus PBB-UNESCO pada 2013.

Alih-alih musnah sebagaimana cita-cita Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961, pemanfaatan koka secara tradisional terus lestari sampai hari ini di Bolivia tanpa ancaman pidana.

Bibliografi

BNN & PPK UI. Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011

BNN & PPK UI. Survei Perkembangan Penyalahguna Narkoba di Indonesia Tahun Anggaran 2014

BNN & PPK UI. Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017

Ditjenpas. Sistem Database Pemasyarakatan. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2018

Drug Policy Alliance. A Brief History of the Drug War.

General Government Division. Information on Drug-Related Police Corruption. US General Accounting Office, 1998

Holmes, Catesby. Marijuana Reform Advocates Make History in Uruguay. Open Society Foundations, 13 Desember 2013

Niaz, Kamran. International drug control system and the United Nations General Assembly Special Session (UNGASS) on the world drug problem: an overview. Vienna: UN Office on Drug and Crime, 2017

Rosmarin, Ari dan Niamh Eastwood. A Quiet Revolution: Drug Decriminalisation Policies in Practice Across The Globe. London: RELEASE, 2011

Transform Drug Policy Foundation. Panduan Praktis Regulasi Ganja. Diterjemahkan oleh Rumah Cemara, 2015

TNI. The UN Drug Control Conventions. Amsterdam: Transnational Institute, 2015

UNODC. A Century of International Drug Control. Vienna: UN Office on Drug and Crime, 2008

Wooldridge, Howard J. Swiss Medication Assisted Treatment Approach to Heroin Addiction. Geneva: Swiss Institute for Addiction Research, 2016

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.