Secara serempak tiap 1 Desember pemerintah, organisasi internasional, serta yayasan-yayasan amal memperingati Hari AIDS Sedunia untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah yang menjangkiti seluruh dunia akibat penyebaran HIV. Peringatan tahunan ini digagas pada Pertemuan Menteri Kesehatan Sedunia tahun 1988. Sejak 2005 hingga 2010 nanti, melalui tema yang relevan di tiap wilayah, tujuan kampanye Hari AIDS Sedunia adalah untuk memastikan para pemimpin dan pembuat keputusan menepati janji-janji mereka terhadap penanggulangan AIDS.
Kasus AIDS pertama di Indonesia dilaporkan pada 1987. Tujuh belas tahun kemudian, 2004, terjadi lonjakan kasus hingga hampir empat kali lipat (316 kasus pada 2003 dan 1,195 kasus pada 2004). Selama tiga tahun berturut-turut setelahnya, laporan selalu menunjukkan angka di atas 2,000 kasus tiap tahunnya.
Tingginya kasus yang dilaporkan lima tahun terakhir berasal dari maraknya pemakaian bergantian alat suntik untuk konsumsi narkoba. Di periode yang sama, angka kematian di lapas dan rutan di Indonesia meningkat tajam seiring dengan peningkatan jumlah terpidana kasus narkoba hingga melebihi kapasitas huni lapas dan rutan se-Indonesia. Pada 2006, terdapat 813 kematian napi dan tahanan dimana 70-75%-nya merupakan napi/ tahanan kasus narkotika.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melaporkan penyebab terbanyak kematian pada periode 2004-2006 adalah TBC, radang paru-paru, hepatitis, diare kronik, dan radang otak karena toksoplasma yang umum menyertai infeksi HIV. Kondisi di penjara merupakan kondisi lingkungan terburuk bagi kesehatan terlebih ketika populasinya jauh melebihi kapasitas huni, dimana gizi, sanitasi, dan pengobatan dilakukan ala kadarnya atau terabaikan sama sekali.
Pemerintah didukung oleh lembaga-lembaga internasional sejak dikeluarkannya Stranas Penanggulangan Narkoba dan HIV AIDS di Lapas dan Rutan 2005-2009 telah banyak melakukan kerja-kerja pengobatan kepada mereka yang sudah sakit. Hal ini juga dilakukan di luar penjara dimana terdapat penderita HIV. Namun upaya-upaya tersebut lebih bersifat penanggulangan persoalan-persoalan hilir, sebagai akibat dari persoalan yang lebih mendasar.
Lebih mengarah ke hulu persoalan, adalah lemahnya perlindungan negara terhadap hak kesehatan warganya. Hal ini ditandai oleh masih sulitnya masyarakat memperoleh pengobatan dan pencegahan virus darah yang murah dan berkualitas di layanan-layanan kesehatan umum. Alat suntik steril, selain harganya tinggi, juga sulit didapat karena stigma pemberi layanan terhadap konsumen narkoba.
Kriminalisasi beserta kampanye pemberantasan narkoba telah berhasil membuat sejumlah pemerintah daerah tidak bersedia menyediakan layanan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba yang telah terbukti mampu menurunkan prevalensi HIV di banyak negara. Alhasil, banyak lembaga internasional yang bekerja sama langsung dengan organisasi nonpemerintah (LSM) untuk memberikan layanan-layanan tersebut.
Kalaupun ada yang bekerja sama dengan pemerintah daerah, layanan tidak dibangun di dalam sistem kesehatan masyarakat sehingga ketika periode kerja sama selesai, maka selesai pulalah layanannya.
Fenomena kasus-kasus AIDS yang terjadi sejak awal 2000-an didominasi konsumen narkoba yang akibat kriminalisasi menjadi jauh dari informasi dan materi pencegahan penularan virus darah serta layanan kesehatan secara umum. Kriminalisasi pula yang menafikan keberadaan konsumen narkoba di tengah masyarakat. Kelompok yang banyak mengidap HIV ini, karena stigma dan kriminalisasi, tidak berani membuka diri lalu menularkan penyakit kepada pasangannya yang tidak tahu bahwa orang yang dinikahinya ternyata mengidap HIV.
Sejak direvisinya UU Narkotika dan disahkannya UU Psikotropika RI beserta perangkat penerapannya di penghujung 90-an, Indonesia semakin gencar melakukan ‘perang terhadap narkoba’ yang dicanangkan oleh Presiden AS, Richard Nixon, pada 1971 dan terus mengkooptasi kebijakan pengendalian narkoba di seluruh dunia hingga saat ini. Hasilnya adalah selain kasus-kasus AIDS dan kematian yang telah dijabarkan di atas, setidaknya 110,000 WNI dipenjarakan atas kasus narkoba.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 70 persennya adalah konsumen yang notabene merupakan korban dari sebuah kebijakan yang membuat narkoba malah beredar secara meluas melalui pasar gelap. Negara sekali lagi gagal melindungi warganya dari pemakaian narkoba yang memiliki potensi membahayakan tubuh dan kesehatan, malahan negara harus menanggung beban untuk pengobatan penyakit serta kelebihan populasi di penjara-penjara.
Pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba dipilih sebagai kompromi dengan pihak-pihak yang mengedepankan perang, pemberantasan, kriminalisasi, ataupun pelarangan sebagai jalan keluar dari suatu persoalan. Ketimbang mengambil alih kuasa pengendalian narkoba dari pasar gelap dan sindikat kejahatan, pendekatan pragmatis ini dilakukan tanpa mengubah pelarangan narkoba namun terbukti mampu meningkatkan taraf kesehatan di banyak negara.
Walaupun demikian, karena merupakan pendekatan kesehatan masyarakat, pendekatan ini tidak cukup ampuh untuk meredam populasi pelanggar kasus narkoba yang terus memenuhi penjara-penjara hingga jauh melebihi kapasitas huninya.
Kebanyakan lembaga dan donor internasional untuk penanggulangan AIDS memusatkan bantuannya pada penanggulangan persoalan-persoalan hilir atau melakukan pendekatan pragmatis, yang penting banyak orang yang menerima layanan, bukan membangun dan mengintegrasikan layanan ke dalam sistem yang ada dalam suatu negara sehingga berkesinambungan atau mengubah kebijakan yang merupakan pangkal persoalan dari tingginya kasus HIV di masyarakat.
Sangat jarang kajian-kajian mengenai dampak kriminalisasi narkoba di tanah air dan usulan untuk perubahan kebijakan narkoba nasional. Sementara, kajian-kajian perawatan dan pengobatan AIDS memenuhi jurnal-jurnal ilmiah. Lembaga-lembaga inilah yang sebenarnya memimpin respons terhadap epidemi HIV-AIDS di tanah air hingga pemerintah kita akhirnya turut berkonsentrasi pada penanggulangan masalah-masalah hilir saja.
Tanpa menyelesaikan masalah-masalah di hulu, kerja-kerja penanggulangan AIDS pada akhirnya adalah semata-mata proyek yang dipertahankan agar tidak berakhir. Bagaimana agar proyek-proyek global jutaan dolar ini tidak berakhir adalah dengan tidak menyelesaikan pangkal persoalan yang sudah diketahui berdasarkan analisa-analisa yang ada.
Untuk dapat menuntaskan tragedi kemanusiaan ini, maka dibutuhkan pemimpin yang berani membebaskan diri dari hegemoni kepemimpinan lama penanggulangan AIDS, yaitu makelar-makelar proyek berkedok badan kemanusiaan, di negeri kita sendiri. Janji-janji pemimpin harus ditagih, namun sejauh mana janji-janji tersebut terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan proyek semata?