close
WhatsApp Image 2022-09-07 at 3.14.08 PM

Sejak akhir 1800-an, produsen farmasi terus berusaha menemukan obat anticemas alias obat penenang jenis baru dengan mudarat yang seminimal mungkin bagi pasien.

Cemas atau gugup sebenarnya adalah perasaan yang wajar. Kecemasan terjadi misalnya saat menghadiri wawancara kerja, ujian kenaikan kelas, menghadapi masalah pekerjaan, atau harus membuat keputusan penting. Seperti rasa takut, cemas pun bermanfaat untuk menyadari situasi berbahaya sehingga seseorang bisa selamat atau menjadi lebih baik.

Kecemasan adalah reaksi atas segala hal dan situasi dengan ketakutan dan kerap ditandai secara fisik seperti jantung berdebar dan keringat dingin. Kecemasan dianggap sebagai gangguan kesehatan mental saat menyebabkan ketidakmampuan seseorang menjalani kehidupan, bereaksi berlebihan saat ada yang memicu emosi, serta tidak mampu mengendalikan respons terhadap berbagai situasi kehidupan.

Gejala gangguan cemas yakni mengkhawatirkan hampir semua aspek kehidupan sampai-sampai sulit berkonsentrasi, kelelahan, tidak bisa tidur, serangan panik, hingga fobia termasuk bertemu orang lain untuk interaksi sosial dan mengurung diri (agorafobia). 

Sebelumnya, pasien dengan gangguan cemas diresepkan obat-obatan golongan opioid (morfin dsb.) yang tingkat toleransi dan ketergantungannya amat tinggi dan tentu saja membuat pasien kerepotan. Obat golongan barbiturat yang dikembangkan pada 1864 kemudian menggantikan pemakaian opioid sebagai anticemas dan obat insomnia termasuk antiayan (anticonvulsant).  

Barbiturat menjadi sangat populer di Amerika Serikat (AS) sepanjang Depresi Hebat pada 1930-an. Produk barbiturat dengan berbagai jenama yang tersedia ketika itu sukses membantu jutaan orang Amerika dari penderitaan mental mereka dalam menghadapi krisis ekonomi nasional yang berat itu.

Baca juga:  Penjara Penuh Sesak, Keselamatan Warga Binaan Dipertaruhkan

Saking populernya dan juga karena dijual bebas (over-the-counter alias obat warung), lebih dari satu miliar pil barbiturat tercatat dikonsumsi warga AS pada 1941 saat negara itu terlibat Perang Dunia II. Apoteker dan dokter-dokter di sana pun meyakinkan bahwa golongan obat ini tidak berbahaya, setidaknya bila dibandingkan dengan opioid yang sebelumnya dipakai sebagai obat penenang.

Meski sudah membantu jutaan orang dari derita kecemasan sehingga di malam hari mereka bisa tidur nyenyak, ternyata barbiturat juga membuat konsumennya ketergantungan dan berisiko alami overdosis lantaran tingkat toleransi tubuh terhadap obat ini pun tinggi. Gejala putus obatnya amat menyiksa dan kadang berakibat fatal. Kongres AS sampai mengesahkan UU agar obat ini tidak lagi dijual bebas dengan mensyaratkan resep dokter pada 1951.

Atas merebaknya laporan kasus dampak negatif pemakaian barbiturat, para peneliti di perusahaan farmasi mencari pengganti obat jenis ini.

Seorang kimiawan bernama Leo Sternbach yang bekerja di perusahaan farmasi Swiss, Hoffmann-La Roche berhasil menyintesiskan benzodiazepin pertama pada 1955. Perusahaan itu menjualnya dengan nama Librium (chlordiazepoxide). Obat ini meledak di pasaran pada 1960.

Sternbach dan perusahaan farmasinya kemudian mengembangkan bermacam obat-obatan benzo yang kita kenal sekarang seperti diazepam, nitrazepam, clonazepam. Boleh dibilang, Leo Sternbach adalah Bapak Benzodiazepin.

Saat ini, benzo sangat dikenal dalam pengobatan cemas dan insomnia. Saking populernya seperti para pendahulunya, opioid dan barbiturat, berbagai publikasi pun menggambarkan ketagihan benzo yang meningkat.

Baca juga:  Antara Motif Bisnis, Teror, dan Dongeng dalam Permen Narkoba di Surabaya

Sebuah studi melaporkan bahwa 30,6 juta warga dewasa di AS (12,6 persen populasi) mengonsumsinya pada 2016. Padahal dua puluh tahun sebelumnya, 1996, hanya 4,1 persen warga dewasa di sana yang menebus resep benzo meski persentase ini tidak melaporkan konsumsi tanpa resep seperti pada 2016.

Sayangnya studi sejenis di Indonesia tidak saya temukan.

Pola yang selalu terjadi adalah pemanfaatan satu jenis obat digantikan dengan jenis obat lain lantaran belakangan ditemukan dampak yang merugikan pasien. Laporan-laporan mengenai dampak konsumsi benzo makin banyak dipublikasikan.

Setelah lebih dari 70 tahun pemanfaatannya sebagai obat anticemas, akankah ada obat pengganti benzo sebagaimana yang terjadi pada barbiturat?

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.