Tidak hanya oleh mereka yang masih mengonsumsi NAPZA ilegal, pengurangan dampak buruk konsumsi NAPZA (HR) telah dirasakan manfaatnya oleh pasien terapi anti-retroviral (ARV) yang tertular HIV melalui alat suntik bekas. Di Indonesia, pendekatan kesehatan masyarakat ini dimulai pada 1999 melalui proyek percontohan di Provinsi Bali.
Sebuah organisasi non pemerintah (ornop) di Bali kala itu melakukan proyek dengan kegiatan yang kontroversial yaitu membagikan alat suntik kepada pecandu yang berada mulai dari Kota Denpasar hingga wilayah wisata Kuta-Legian, Kabupaten Badung. Selain ornop, rumah sakit pemerintah juga ambil bagian untuk pendekatan ini.
Program terapi rumatan metadon diujicobakan di RSUP Sanglah, Denpasar pada 2003. Dan pada 2006 program-program pemerintah tersebut diperluas hingga ke puskesmas dan penjara-penjara di pulau tersebut.
Perjalanan HR di Bali sejak 1999 telah banyak menghasilkan pengalaman belajar bagi provinsi lain di Indonesia. Salah satunya pengalaman Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba).
Didirikan April 1999, Yakeba telah melahirkan aktivis-aktivis yang kini bekerja baik untuk penanggulangan AIDS maupun NAPZA di Indonesia. Interaksi dengan para pecandu yang kebanyakan sudah terinfeksi HIV, membuat Bob Monkhouse, salah satu pendiri dan pimpinan pertama Yakeba (akrab disapa Uncle Bob), harus berinovasi. Inovasi yang dirumuskan kala itu salah satunya adalah program pendidikan sebaya.
Konsep program pendidikan sebaya pun tidak hanya diterapkan Yakeba untuk “pecandu menolong pecandu” sebagaimana Tradisi Pemulihan 12 Langkah, namun lebih luas untuk pelajar, narapidana, konsumen NAPZA ilegal, serta orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pertemuan-pertemuan untuk mendukung program ini juga digelar di ruang-ruang dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan) yang ada di Bali.
Dalam menjaring pendidik sebaya, staf-staf Yakeba, yang juga merupakan hasil dari program tersebut, memfasilitasi diskusi kelompok. Diskusi terutama membahas persoalan spesifik dan bagaimana strategi mengatasi persoalan di kalangan sebaya tertentu.
Fakta bahwa orang-orang yang mengonsumsi NAPZA ilegal di Bali sebagian merupakan turis, baik domestik maupun internasional, menjadi tantangan tersendiri bagi Yakeba. Tak jarang turis-turis tersebut berurusan dengan masalah hukum ketika berlibur di Pulau Dewata yang mengharuskannya menghuni lapas dan rutan.
Ketika berada dalam penjara, mereka bertemu dengan staf-staf Yakeba, mengikuti program-programnya, hingga menjadi pendidik-pendidik sebaya bagi komunitasnya. Namun demikian, catatan sejarah menunjukkan perantau-perantau dari luar pulau yang memutuskan untuk menetap dan warga asli Balilah yang naik hingga ke tingkatan selanjutnya dalam pendidikan sebaya, menjadi aktivis.
Sejak berdiri pada 2003, Rumah Cemara (RC) telah berinteraksi dengan Yakeba. Pertemanan individu-individu di komunitas pemulihan dan kemudian jaringan kerja HR di tingkat nasional telah menaikkan derajat interaksi ke kerja sama antar organisasi Bandung dan Denpasar ini. RC menyaksikan sendiri bagaimana Yakeba bisa eksis hingga saat ini.
Dibanding dengan ornop sejenis, Yakeba adalah satu yang masih ‘bertahan hidup’. Bahkan ornop yang kebetulan menjadi proyek uji coba HR, saat ini telah berganti tidak hanya nama namun juga struktur organisasi dan lainnya.
Pada 2012, Yakeba bekerja sama dengan RC melaksanakan Proyek Community Action on Harm Reduction. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pertemuan sesama ODHA yang telah mengikuti terapi ARV. Nama kegiatannya adalah “ARV Meeting”. Tujuan pertemuan ini terutama untuk memastikan terapi yang diikuti pesertanya bermanfaat secara optimal.
Adalah Novian yang mengoordinasi kegiatan ini di Yakeba. Motivasi Novian menyelenggarakan dan kemudian mengoordinasi ARV Meeting adalah ingin menebus kesalahan yang pernah dilakukannya, yaitu memutus terapi sembilan tahun lalu yang turut menginspirasi sebaya-sebayanya melakukan hal yang sama.
Novian mengikuti terapi ARV pertama kali pada 2004, lima bulan setelah mengetahui hasil tes darahnya. Dirinya mengidap HIV karena pemakaian alat suntik bekas. Lelaki kelahiran 1965 ini melanjutkan terapi dengan obat yang berbeda pada 2008 setelah berbagai infeksi oportunistik menyerangnya pasca putus ARV.
Selain HR, penanggulangan AIDS secara umum di Indonesia berkembang dari Pulau Bali. Tidaklah mengherankan, karena secara resmi kasus AIDS pertama di Indonesia dilaporkan dari provinsi ini pada tahun 1989. Ketimbang di daerah lain, ODHA di Bali saat Novian memulai terapi ARV-nya boleh dibilang lebih dimanjakan oleh proyek-proyek uji coba yang banyak dilakukan di sana. Namun ada saja orang-orang yang, menurut Novian, kembali ke siklus penyangkalan akan virus yang diidapnya dan kemudian memutuskan untuk berhenti terapi.
ARV Meeting yang dikoordinasi Novian menjaring hampir seluruh populasi kunci dalam penanggulangan AIDS di Bali: pekerja seks, konsumen NAPZA suntik, lelaki yang suka lelaki (LSL), hingga ibu-ibu rumah tangga. Novian bahkan berhasil mengundang ibu-ibu rumah tangga yang sudah terapi ARV dari luar Kota Denpasar.
Pertemuan mengupayakan agar orang-orang yang rentan akan ketidakoptimalan terapi ARV hadir. Selain menjaga semangat, hal ini menggugah kesadaran termasuk memotivasi ODHA-ODHA lain yang sesungguhnya telah dimanjakan oleh program-program penanggulangan AIDS yang ada khususnya di Kota Denpasar.
Saat ini ARV Meeting yang dikoordinasi Novian terus berupaya menarik sesama ODHA untuk bergabung, membagikan pengetahuan dan pengalamannya dalam menjalani terapi ARV. Langkah ini termasuk membangkitkan motivasi untuk berbagi. Selain motivasi, strategi yang telah dipersiapkan adalah menyelenggarakan kegiatan di klinik atau fasilitas kesehatan yang melayani pengobatan ARV.
Merupakan sebuah fakta bahwa selama ini orang-orang yang datang ke fasilitas kesehatan untuk mengambil ARV bulanan hanya saling menyapa satu sama lain tanpa adanya interaksi yang lebih dalam. Dan juga merupakan fakta bahwa masih terdapat ketakutan jika HIV yang diidapnya diketahui bahkan oleh orang yang juga mengambil ARV yang ditemui di klinik, misalnya.
Bali memang kerap dijadikan percontohan untuk upaya-upaya penanggulangan AIDS. Belasan tahun pelaksanaan berbagai layanan HIV tidak membuat semua yang terdampak dan menjadi sasaran program memanfaatkannya secara optimal. Ketakutan akan dipandang negatif masih dirasakan terutama oleh para pengidap HIV bahkan di saat bertemu orang-orang yang rutin mengambil ARV di klinik. Stigma masih dikhawatirkan bahkan oleh sesama ODHA.
Di titik ini upaya-upaya penguatan komunitas menjadi relevan. Bali dan Yakeba khususnya ditantang agar para ODHA yang terdiri dari komunitas-komunitas tertutup seperti pekerja seks atau konsumen NAPZA ilegal mampu terbuka mengutarakan pendapatnya. Selain memiliki pengalaman panjang mencetak aktivis untuk penanggulangan AIDS dan NAPZA, Yakeba juga pernah memfasilitasi pembentukan Ikatan Korban NAPZA Bali (IKON Bali).
Pada 2006, para pecandu dan mantan pecandu di Bali membentuk sebuah ikatan untuk memperjuangan hak-hak asasi manusia yang juga melekat pada diri anggota-anggotanya. Pembentukan ini tidak bisa dilepaskan dari seorang aktivis Yakeba lain bernama Gung Wah. IKON Bali dibentuk setelah kiprah Gung Wah di kelompok sejenis untuk tingkat nasional.
Sejumlah konsumen NAPZA ilegal dan ODHA telah dibesarkan Yakeba untuk menjadi pendidik sebaya dan kemudian, dalam tingkatan tertentu, naik menjadi aktivis. Mereka tidak hanya menyuarakan kepentingan dirinya namun terlebih sesamanya.
Gung Wah dan Novian adalah sebagian dari mereka yang kiprahnya dikenal bahkan dihormati dalam penanggulangan AIDS dan NAPZA di Bali. Komisi Penanggulangan AIDS, badan narkotika, dan ornop-ornop di Bali bahkan hingga kini diisi oleh kader-kader Yakeba.
Boleh jadi derajat stigmatisasi terhadap ODHA lebih tinggi ketimbang terhadap konsumen NAPZA ilegal. Walaupun demikian, pengalaman Yakeba dalam membesarkan aktivis dan kelompok aktivis di Bali akan bisa menjawab tantangan tersebut. Jawaban yang sekaligus menjadi cita-cita mendiang Uncle Bob dan Gung Wah semasa hidupnya kini menjadi amanah bagi penerus-penerus Yakeba.
Saat ini Novian dan kader-kader Yakeba lainnya ditantang agar Bali tidak hanya menjadi proyek percontohan bagi penanggulangan AIDS dan NAPZA di Indoensia, terlebih menjadi manfaat, kebanggaan, dan inspirasi bagi semua orang.
Community Action on Harm Reduction Project, 2015