close
download
Sebuah media kampanye untuk mengalihkan dana perang untuk pendekatan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan narkoba

Beberapa waktu lalu, sebuah utas ramai diperbincangkan di jagat Twitter membahas kasus narkoba yang menjerat seorang perempuan berinisial MZ.

Mari kita kenali dulu kasusnya.

MZ diamankan oleh penegak hukum pada 28 Desember 2019 lalu. Berdasarkan hasil tes pertama, aparat menyatakan bahwa MZ mengonsumsi amfetamina, sebuah zat yang sangat populer di Indonesia hari ini. Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan beberapa teman MZ.

MZ menyatakan bahwa zat tersebut ia konsumsi untuk kondisi bipolarnya. Oleh aparat, kasus MZ tidak dilanjutkan. Aparat menyatakan bahwa MZ akan direhabilitasi dengan metode rawat inap selama tiga bulan.

Utas yang tadi saya sebutkan di awal, pada dasarnya menyoal dan mempertanyakan apa dasarnya MZ bisa mendapatkan rehabilitasi? Kok bisa sih rehabilitasi didapatkan tidak melalui putusan hakim? Lebih jauh, si pembuat utas bahkan menyerukan pada aparat untuk memenjarakan MZ.

Dari kasus ini, ada beberapa hal yang menurut saya menarik untuk dibahas. Yang pertama adalah soal seruan memenjarakan MZ.

Menarik untuk mencari tahu dari perasaan seperti apa kira-kira seruan itu datang. Ia mungkin datang dari kebencian personal pada MZ. Bisa juga datang dari ketidaksukaan pada konsumen narkoba secara umum. Dan bisa saja, seruan itu datang dari rasa frustasi terhadap penegakan hukum di negeri ini, khususnya soal narkoba.

Oleh UU Narkotika seseorang bisa dipenjara hingga 12 tahun lamanya bila diketahui menguasai atau memiliki narkotika Golongan I. UU ini telah dengan brutal menempatkan ratusan ribu orang ke balik jeruji hanya karena mengonsumsi, menguasai, dan membeli narkotika meski sekedar untuk diri sendiri dan dalam jumlah terbatas.

Baca juga:  Alasan Pelarangan Kratom di Bumi Katulistiwa

Namun UU dengan sistem pidana yang buruk ini coba disikapi Pemerintah dan Mahkamah Agung RI dengan beragam peraturan untuk memberi ruang-ruang diversi agar seorang konsumen narkotika tak perlu dipenjara.

Persoalannya, publik menyaksikan melalui media bahwa ruang-ruang akses rehabilitasi tanpa melalui persidangan-itu hanya diberikan pada beberapa orang saja, seperti: MZ, IJP (politisi Golkar), anak HY (politisi PDIP dan aktivis antinarkotika), dan juga JN (aktor muda). Orang-orang dengan nama besar, punya akses politik, dan juga punya akses kapital.

Ketika persoalan yang sama menimpa orang-orang di sekitar kita yang remah-remah kerupuk ini, diskresi yang sama nampak sulit sekali untuk diambil. Dari sanalah, frustrasi dan kemarahan itu muncul yang kemudian memunculkan seruan: Penjarakan MZ!

Padahal, kalau kita mau berpikir sedikit lebih panjang, sebaiknya kemarahan itu tidak kita kirimkan pada MZ. Ada target-target kemarahan lain yang lebih penting.

Sasaran paling jelas adalah Parlemen dan Pemerintah yang amat lambat merespon dampak pemenjaraan massal dari UU Narkotika kita hari ini. Yang kedua, aparat. Memang UU-nya buruk, tapi ada kok ruang-ruang diversi yang bisa diambil. Apa yang menghalangi aparat untuk mengeksekusinya?

Ketika berhadapan dengan masyarakat biasa yang bukan siapa-siapa, langkah aparat untuk mengambil pendekatan kesehatan nampak berat, seret, dan berkarat. Tidak licin!

Lagipula, tak ada gunanya memenjarakan konsumen narkotika. Banyak negara sudah memalingkan wajah dari pendekatan ini. Negara-negara tersebut memandang konsumsi narkoba sebagai masalah kesehatan dan oleh karenanya pendekatan yang didorong adalah intervensi kesehatan, bukannya borgol, berita acara, persidangan, penjara, dan catatan kriminal.

Baca juga:  30 Tahun Peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional dan Dunia Bebas Narkoba 2019

Hal kedua yang menarik dari kasus MZ adalah soal zat yakni amfetamina. Sebelum UU Narkotika yang sekarang ada (35/2009), zat-zat seperti amfetamina, deksamfetamina, metamfetamina, dan metamfetamina rasemat secara hukum berada di Golongan II UU Psikotropika yang artinya dapat digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan.

Namun semua itu berubah sejak UU Narkotika hari ini berlaku. Zat-zat yang berada di Golongan I dan II UU Psikotropika semuanya dicaplok ke dalam Golongan I UU Narkotika yang oleh UU yang sama dilarang dimanfaatkan untuk kesehatan.

MZ membuat klaim bahwa ia mengonsumsi zat tersebut untuk pengobatan kondisi bipolarnya. Klaim yang tentu memiliki keanehan. Dokter mana yang meresepkannya? Di apotek mana MZ bisa menebus resep tersebut? Klaim itu pun akhirnya dibantah aparat.

Klaim menggunakan amfetamina untuk bipolar itu sendiri bermasalah karena amfetamina tidak digunakan untuk itu. Namun ia bukannya tidak memiliki nilai medis. Amfetamina, di beberapa negara, digunakan untuk mengobati ADD, ADHD, narkolepsi, dan obesitas.

Poin penting dari peristiwa ini ialah pelarangan pemanfaatan narkotika Golongan I oleh UU Narkotika haruslah ditinjau ulang. MZ memang bukan Yeni Riawati yang kematiannya menampar Indonesia untuk segera membuka akses pemanfaatan ganja sebagai narkotika Golongan I. Namun, pernyataannya tersebut membuat kita mestinya mau berpikir lebih jauh tentang hal ini.

Hal terakhir adalah soal penempatan rehabilitasi MZ. Melalui hasil tes rambut, aparat menyatakan bahwa MZ adalah pemakai baru dan oleh karenanya berhak atas rehabilitasi. Pernyataan yang tentu saja aneh karena semua orang seharusnya punya hak yang sama atas perawatan, terlepas sejak kapan ia mengonsumsi narkoba.

Baca juga:  Rapor Kebijakan Narkoba Indonesia

Namun yang lebih mendasar dari itu ialah soal penempatan dan masa rehabilitasinya. MZ ditempatkan di sebuah tempat pendidikan yang dimiliki oleh aparat di bilangan Jakarta Selatan. Aparat kemudian juga menyatakan bahwa MZ akan menjalani rawat inap selama tiga bulan di sana.

Penempatan konsumen yang ketagihan narkotika di tempat tersebut bukanlah yang pertama namun di sisi lain menimbulkan banyak pertanyaan.

Kok seorang pecandu ditempatkan di sana? Memangnya di sana tersedia program rehabilitasi? Sudahkah berkoordinasi dengan lembaga lain untuk memastikan program rehabilitasinya sesuai standar? Apakah program rehabilitasinya gratis sesuai amanat UU? Lalu, apa kompetensi aparat-aparat ini untuk mengatakan bahwa MZ harus dirawat inap selama 3 bulan lamanya?

Di tengah maraknya fenomena tempat rehabilitasi yang menjadi “tempat penyanderaan” karena sebelumnya telah bermain mata dengan aparat, tentu pertanyaan-pertanyaan tadi patut dijawab.

Namun, sepertinya jauh lebih baik apabila pertanyaan-pertanyaan itu sedari awal tak perlu ada. Sesuatu yang bisa terjadi bila negara tidak lagi menggunakan hukum pidana ketika berhadapan dengan seorang pemakai narkotika.

yohan misero

The author yohan misero

Bisa ditemukan di sudut-sudut gelap internet.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.