close
FeaturedKomunitas

Penuhi Hak Tersangka, Minimalkan Stigma Penggerebekan Komunitas Gay “Hot Space”

479
Ilustrasi: The New Arab, Video 'guide to gay rights' in Morocco goes viral

Sabtu, 29 Agustus 2020 terjadi sebuah penggerebekan oleh Polda Metro Jaya di sebuah unit apartemen di bilangan Jakarta Selatan. Polisi menggelandang 56 laki-laki ke Mapolda Metro Jaya dan melakukan pemeriksaan terhadap semua orang yang dibawa ke sana.

Penggerebekan tersebut jelas tidak mengindahkan hak-hak tersangka. Ini tampak dari selang waktu penggerebekan hingga konferensi pers gelar perkara yang berjarak lima hari.

Baik penggerebekan, penangkapan, sampai pemeriksaan semua berjalan sangat tertutup. Pihak keluarga tidak menerima surat pemberitahuan penangkapan. Bahkan salah satu pihak keluarga yang kerabatnya diamankan sempat membuat pengumuman orang hilang.

Hal ini membuktikan bahwa penggrebekan tersebut mengabaikan hak-hak tersangka atas proses hukum yang adil, termasuk di dalamnya asas praduga tak bersalah, hak untuk menghubungi dan didampingi pengacara, serta hak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga dalam konteks bantuan hukum.

Konferensi pers gelar perkara mengumumkan hasil pemeriksaan acara “Hot Space” yang dihadiri 56 laki-laki pada 29 Agustus 2020. Polda Metro jaya menetapkan 9 dari 56 laki-laki tersebut sebagai tersangka yang ditengarai sebagai penyelenggara dengan tuduhan Pasal 296 KUHP tentang penyediaan kemudahan perbuatan cabul dengan motif ekonomi dan atau Pasal 33 junto Pasal 7 dalam UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Sementara itu, 47 orang sisanya ditetapkan sebagai saksi.

Para peserta maupun penyelenggara pesta tidak mendapatkan hak pendampingan hukum di setiap tahap perkaranya sebagaimana telah dijamin di Pasal 54 KUHAP. Selain itu juga terdapat intervensi terhadap privasi warga negara dan pengingkaran atas Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah Indonesia ratifikasi melalui UU No. 12/2005. Pasal 17 Kovenan Sipil dan Politik secara jelas membatasi negara dalam mencampuri tempat tinggal warga secara sewenang-wenang.

Baca juga:  Kondom

Lebih dari itu, penyidik kepolisian juga mempublikasikan status HIV dari salah satu tersangka, di mana hal ini sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan atas privasi yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia tersangka pidana.

Kecerobohan dan kesewenang-wenangan dalam proses hukum tersebut berdampak juga terhadap maraknya pemberitaan dan diskursus publik terkait kasus ini yang bertendensi negatif baik di media massa dan media sosial. Hal ini berpotensi meningkatkan stigma dan kebencian terhadap tersangka dan kelompok keragaman seksual dan identitas gender di Indonesia.

Atas rangakaian kejadian tersebut, sebuah konsorsium bernama Crisis Response Mechanism beserta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Hak Kelompok Rentan mendorong kepolisian untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan, khususnya pendampingan kuasa hukum.  

Mendorong kepolisian untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan, khususnya pemilihan dan pendampingan kuasa hukum pada tiap tingkat pemeriksaan sesuai Pasal 54 dan 55 KUHAP.

Pada kasus ini, kami melihat sembilan tersangka tidak didampingi oleh kuasa hukum. Padahal pendampingan hukum dalam kasus semacam ini sangat dibutuhkan mengingat masih seringnya pasal-pasal dalam UU RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi digunakan secara tidak proporsional untuk mengkriminalisasi perempuan dan orang-orang yang memiliki orientasi seksual tertentu.

Kami mengutuk adanya pemberitaan yang membocorkan status kesehatan, khususnya HIV yang diidap tersangka. Pengungkapan status HIV ke publik menumbuhkan stigma terhadap kelompok LGBT sebagai penyebab penularan HIV.

Laporan Kementerian Kesehatan RI Triwulan II 2019 mengenai HIV dan IMS di Indonesia memperlihatkan faktor risiko penularan HIV dari hubungan seks di kelompok heteroseksual sebesar 70,2 persen, jauh lebih tinggi daripada di kelompok homoseksual yang berada di kisaran 7 persen.

Baca juga:  Cerita di Balik Senyum

Lebih daripada itu, Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS menjamin kerahasiaan status HIV dari pihak-pihak yang tidak bersangkutan (Pasal 21 ayat [3]). Pembocoran status HIV oleh polisi dan media membuat tujuan diterbitkannya Permenkes ini menjadi sia-sia.

Selain itu, penggunaan kondom sebagai barang bukti kejahatan yang dituduhkan kepada para tersangka adalah tindakan penegakan hukum yang kontraproduktif terhadap upaya pemerintah di sektor kesehatan publik dalam mencegah penularan penyakit kelamin dan HIV.

Kami meminta kepada media dan pihak-pihak lain untuk tidak menyebarkan informasi pribadi tersangka. Dari hasil pemantauan, beberapa media telah melakukan penyebaran data pribadi dengan tujuan melakukan profiling terhadap salah satu tersangka.

Beberapa pemberitaan secara eksplisit mempublikasikan aktivitas yang dilakukan oleh tersangka di media sosialnya. Sesuatu yang tidak relevan dengan kasus ini dan justru semakin mempertebal stigma terhadap tersangka dan melanggar asas praduga tak bersalah.

Sesuai dengan Peraturan Dewan Pers No. 6/ Peraturan-DP/ V/ 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik, wartawan Indonesia seharusnya menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Selain itu, wartawan harus menempuh cara-cara yang profesional, salah satunya dengan menghormati hak privasi narasumber. Pemberitaan terhadap kasus penggrebekan komunitas “Hot Space” ini seharusnya mematuhi prinsip-prinsip ini.

Sebagai tambahan, kami meminta aparat kepolisian dan pemerintah untuk mencegah persekusi terhadap LGBT sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang komprehensif dan berkeadilan.

Baca juga:  "Support. Don’t Punish" yang Meng-Indonesia

Kasus yang terjadi di Jakarta akhir Agustus ini serta pemberitaan yang mengiringinya berisiko meningkatkan risiko persekusi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat kepolisian diminta untuk menghentikan, mencegah, dan menyelesaikan kasus-kasus persekusi yang dihadapi oleh kelompok LGBT di Indonesia. Hal ini sesuai dengan mandat pemenuhan dan penegakkan hak asasi manusia yang tertuang dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Upaya ini juga menjadi langkah penting dalam menuntaskan krisis-krisis yang melanda kelompok LGBTI di Indonesia.

Sebagai penutup, tuduhan Pasal 296 KUHP tentang  memudahkan perbuatan cabul dan atau Pasal 33 junto Pasal 7 dalam UU RI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi tidak tepat disangkakan dalam kasus ini mengingat pasal-pasal dalam UU Pornografi dan Pasal 296 KUHP tersebut diperuntukkan bagi mereka yang hendak mencari keuntungan. Sementara kegiatan pesta tersebut sama sekali tidak berlatar motif untuk kepentingan keuntungan ekonomi. Sehingga kegiatan itu bukan merupakan pelanggaran hukum.

Kami percaya bahwa negara seharusnya tidak dapat meenggunakan hukum pidana untuk menarget kelompok tertentu dan tidak diciptakan untuk menakut-nakuti warga. Itu mengapa, tidak dibenarkan dalam sebuah gelar perkara hukum pidana terdapat cara-cara untuk memperoleh alat bukti dengan cara melanggar hukum dan hak asasi manusia seseorang yang disangkakan sebagai pelaku kriminal.

Kami juga menghimbau kepada seluruh kelompok LGBT di Indonesia untuk tetap waspada, membekali diri dengan membaca dan memperhatikan hak-hak tersangka di dalam KUHAP sehingga bila sewaktu-waktu tejadi penangkapan dapat mengenali hak apa saja yang kita miliki sebagai warga negara.******

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.