Peredaran gelap narkoba (narkotika dan obat/ bahan berbahaya) cukup lama jadi perhatian negara-negara di Asia tenggara. Melalui forum kerjasama ASEAN, berbagai negara di kawasan ini berupaya merespons persoalan itu terutama sejak tahun 2000. Saat itu, para menlu ASEAN mendeklarasikan komitmen untuk menghapuskan produksi, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi narkoba sebelum tahun 2015. Komitmen itu dikenal sebagai “Drug-Free ASEAN 2015”.
Tenggat waktu “Drug Free ASEAN 2015” sudah kita lewati empat tahun tanpa tercapai tujuannya yaitu kendali peredaran narkoba di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Pendekatan penanggulangan narkoba menggunakan kekuatan senjata dan pemenjaraan digalakkan Pemerintah RI menjelang tenggat “Indonesia dan ASEAN Bebas Narkoba 2015”.
Alhasil, berbagai razia, penangkapan, dan penggerebekan semakin gencar dilakukan aparat. Dampak penerapan pendekatan “perang terhadap narkoba” ini dirasakan lembaga pemasyarakatan. Per Desember 2017, terdapat 232.081 penghuni lapas dan rutan di seluruh Indonesia. Mereka menempati keseluruhan bangunan berkapasitas 123.997 penghuni. Sebanyak 99.507 penghuni merupakan tahanan dan narapidana kasus narkotika.
Jumlah tersebut mendominasi 106.383 penghuni dengan kasus kejahatan khusus, yakni narkotika, korupsi, terorisme, pembalakan liar, perdagangan manusia, dan pencucian uang. Jumlah konsumen narkotika yang menjadi terpidana naik dari 28.609 per Desember 2014 menjadi 36.734 penghuni (Sumber: Sistem Database Pemasyarakatan – Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2018).
Sistem peradilan Indonesia mudah mengirim penjahat ke penjara bahkan untuk kasus-kasus kecil. Dengan sistem seperti ini, konsumen narkoba yang barang buktinya hanya cukup untuk dikonsumsi untuk diri sendiri dikirim ke penjara, bukan diberikan akses layanan kesehatan.
Pelarangan total konsumsi narkoba juga mendorong konsumennya terlibat pasar gelap. Pada saat yang sama, pedagang narkoba secara inovatif menarik konsumen sejak dini dan meningkatkan produksinya untuk dipasarkan dengan mutu dan harga yang tidak terkendali.
Pendekatan yang demikian represif hingga eksekusi 18 terpidana mati kasus narkoba antara 2015-2016 ternyata tidak mengurangi prevalensi konsumsinya di tanah air. Penduduk yang mencoba konsumsi narkoba ternyata bertambah dari 800 ribuan (2008); 1,15 juta (2011); 1,62 juta (2014); hingga 1,90 juta (2017).
Biaya konsumsi narkoba juga naik dari Rp15 triliun (2008); Rp17 triliun (2011); Rp42 triliun (2014); hingga Rp69 triliun (2017). Nilai rupiah ini merupakan pendapatan tahunan sindikat peredaran narkoba di pasar gelap.
Dampak lain yang terjadi khususnya dalam sektor kesehatan adalah meningkatnya infeksi HIV di tengah masyarakat. Pemakaian alat suntik narkoba secara bergiliran diidentifikasi sebagai pemicu melonjaknya penularan HIV di Indonesia sejak akhir 1990-an. Depkes RI mencatat dari tahun 2003-2004 angka kasus berlipat ganda dengan 80% kasus baru adalah dari pengguna narkoba suntik.
Dengan situasi yang seperti ini, masihkah “perang terhadap narkoba” efektif? Adakah langkah yang lebih inovatif, ketimbang menghabiskan trilunan rupiah untuk sebuah perang yang hampir setengah abad ini tidak bisa dimenangkan alias gagal membasmi peredaran narkoba di jalanan?