Street soccer baru dimulai secara resmi pada 2002. Pelopornya adalah mahasiswa asal Jerman, Jürgen Griesbeck, yang tinggal di Medellin, Kolombia. Ia terpicu atas kematian pemain sepak bola asal Kolombia, Andreas Escobar yang dibunuh secara tragis penggemarnya. Andreas dibunuh setelah gol bunuh dirinya yang mengakibatkan Kolombia gagal lolos ke semi final Piala Dunia 1994.
Saat itu, Jürgen menemukan bahwa sepak bola bisa menjadi media bagi orang-orang Kolombia yang bersenjata, kaum miskin kota, gangster, dan lainnya untuk berdialog, bekerja sama, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan memanfaatkan olahraga ini, dia membuat sebuah program bernama Fútbol por la Paz (Sepak Bola untuk Perdamaian), sebuah proyek bagi anak-anak muda yang menggunakan sepak bola untuk memerangi kekerasan di Medellin.
Sama halnya dengan di Indonesia pada 2012, Rumah Cemara memprakarsai acara street soccer bernama League of Change (LoC). Dalam acara ini, sepak bola menjadi media bagi Orang dengan HIV-AIDS (ODHA), konsumen narkoba, anak jalanan, masyarakat miskin kota, dan kelompok marginal lainnya. Mereka bermain bola dengan tekad mengubah sesuatu, terhapusnya stigma dan diskriminasi dari diri mereka.
Tahun ini adalah ketiga kalinya LoC dihelat setelah ‘mati suri’ sejak 2013. Diadakan di Surabaya oleh Yayasan Our Right to Be Independent (ORBIT) dan Pemerintah Kota Surabaya, LoC diikuti peserta dari 6 provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Semboyan kompetisi ini masih sama, yaitu “keadilan bersepak bola bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sesuai semboyannya itu, siapa pun berhak bermain sepak bola, tak terkecuali seorang petani asal Sragen, Jawa Tengah bernama Wakidi (39). Ia mengikuti LoC tahun ini dengan tekad dan gairah bermain bola untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap kelompok marginal seperti dirinya. Ia adalah seorang ODHA.
“Kesalahan dan hal buruk yang dilakukan di masa lalu kerap menjadi penyesalan bagi semua orang. Tetapi selalu ada pilihan bagi mereka yang mau berubah untuk menjadi lebih baik. Namun, seperti halnya sebuah proses, ini tidak akan semudah yang dibicarakan,” ucapnya.
Wakidi mengakui, ia berbuat kesalahan di masa lalu. Saat muda, ia sering bergonta-ganti pasangan seks hingga membuatnya terinfeksi HIV. Kenyataan itu harus ia hadapi di tahun 2011. Pada awalnya, ia tidak mengetahui virus yang diidapnya. Keluarga merujuknya untuk diperiksa ke RSUD Solo karena kondisi fisik yang semakin memburuk.
“Pada awalnya, saya pikir yang penting sembuh dan dapat bekerja kembali. Namun saat dokter menyarankan tes HIV dan hasilnya reaktif (positif), saya setengah tidak percaya,” ujar pria yang akrab disapa Sipon ini.
Menurutnya, menjadi ODHA di daerah pedesaan tidak mudah. Diskriminasi dari tetangga dan teman pada awalnya kerap terjadi. Dia mencontohkan saat hendak pergi membeli rokok ke warung dekat rumah yang selalu ramai, tidak ada satu orangpun yang menyapa. Bahkan bisa dikatakan jijik dan menjauh.
Sipon tidak mempermasalahkannya. Marah tidak akan menyelesaikan masalah, pikirnya.
Ia lalu bergabung ke dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Sukowati, Sragen, menjadi salah satu penjangkau ODHA. Ia ingin agar masyarakat di desa dapat mengetahui cara menghindari HIV, bukan orang yang mengidapnya. Selain itu, ia ingin menghilangkan perlakuan diskriminatif, seperti yang pernah dialaminya.
Menjadi ODHA bukan berarti seluruh hidup menjadi hancur. ODHA dapat juga berprestasi. Sipon membuktikannya melalui interaksi dan kegiatan bersama masyarakat di daerahnya. Stigma dan diskriminasi dia lawan, salah satunya dengan berolahraga.
“Membaur dengan masyarakat, bersosialisasi, dan berdiskusi agar cap buruk ODHA dapat berkurang. Contohnya, saya sering ikut bermain sepak bola dengan masyarakat sekitar. Hal tersebut benar-benar efektif dan buktinya sekarang tetangga maupun saudara menerima saya,” tutur pria kelahiran 1978 ini.
Menjadi perwakilan provinsi Jawa Tengah di LoC 2017 membuatnya senang dan bangga. Selain dapat saling mengenal komunitas dari daerah lain, sepak bola merupakan salah satu hobinya untuk membuktikan ODHA pun dapat berprestasi.
Di acara ini, Sipon mengaku tidak menargetkan juara dan mendapatkan piala. Baginya, sepak bola adalah media perubahan dan pembuktian dirinya terhadap masyarakat.
[AdSense-A]
“Saya berharap Indonesia tanpa stigma ini dapat teralisasi. Acara ini menunjukkan, di mata Tuhan kita semua sama. ODHA, pengguna narkoba, dan lainnya bisa berprestasi dan bekerja. Hal seperti ini perlu ditingkatkan. Juara dan piala itu bukanlah hal yang utama,” ujar pria satu anak ini dengan berapi-api.
Piala memang selalu menjadi obsesi setiap kompetisi. Hampir selalu kita temukan dalam sejarah peradaban bahwa semua orang begitu menginginkan piala. Orang kaya zaman Romawi terobsesi dengan pedang para gladiator, bangsawan Inggris dengan pacuan kuda, pengusaha Jawa masa akhir kolonial – seperti ditulis Rudolf Mrazek – dengan mobil dan kereta kencana, dan zaman sekarang para miliarder terobsesi dengan klub dan piala sepak bola.
Biasanya obsesi bisa menciptakan tragedi. Piala dapat mengubah seseorang menghalalkan berbagai cara. Jika kita menelusuri sejarah, Piala Dunia (FIFA) tidak ubahnya sebuah benda kosong yang dibuat manusia, namun dengan filosofi melalui sepak bola dapat mendamaikan dunia.
Kemenangan itu diraih oleh diri sendiri, karena di LoC tidak ada yang namanya juara. Perubahan individu dan kelompoklah yang menjadi takarannya. Acara ini bukan memilih siapa yang terbaik, namun semangat perubahanlah yang perlu dijaga dan dibagikan kepada orang lain.
Leo Tolstoy, pengarang asal Rusia pernah berkata, banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini, hanya sedikit orang yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri.