Pada 2015, RS Omni Pulomas, Jakarta melakukan pemindaian computed tomography (CT scan) terhadap Reyndhart Siahaan, seorang warga Ciracas, Jakarta Timur. CT scan bernomor registrasi RJ-1508100084 menunjukkan, pria berusia 37 tahun itu menderita penyakit kelainan saraf yang menimbulkan rasa nyeri di sekujur tubuhnya.
Keterangan ini disusun berdasarkan informasi kronologis yang disampaikan Harie Nugraha Christen Lay dan Bandri Jerry Jacob, penasihat hukum Reyndhart Siahaan yang saat ini menjadi terdakwa pelanggaran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Harie N.C. Lay dapat dihubungi di harrylay118@gmail.com
Penyakit itu diduga kuat karena pemilik nama lengkap Reyndhart Rossy N. Siahaan ini terlalu sering memanggul beban berat. Pekerjaannya ketika itu memang porter alias kuli panggul.
Akibat penyakitnya itu, Rossy, panggilan akrabnya, berhenti menjadi porter. Ia lantas memutuskan merantau ke Labuan Bajo yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk bekerja di sektor pariwisata pada 2016. Tapi sekitar dua tahun di perantauan, penyakitnya kambuh. Nyeri di sekujur tubuhnya terus ia rasakan meski telah mencoba berbagai macam pengobatan .
Karena tak kunjung sembuh padahal tiada henti-hentinya minum obat dan mengikuti arahan dokter, Rossy pun mencari informasi mengenai bentuk pengobatan lain untuk penyakit yang sudah bertahun-tahun ia derita. Saat benar-benar lelah merasakan nyeri meski terus meminum obat, pada 2019, ia menemukan informasi tentang khasiat air rebusan ganja untuk mengatasi kelainan saraf persis seperti yang ia alami.
Rossy akhirnya mencari tahu cara memperoleh ganja untuk direbus lalu meminum air rebusannya. Ia tidak pernah mengisap ganja walaupun punya cukup banyak persediaan tanaman itu. Pria berdarah Batak ini hanya butuh air rebusannya untuk diminum demi mengatasi derita nyeri di sekujur badannya.
Sejak rutin meminum air rebusan ganja, Rossy merasakan adanya kesembuhan. Kondisi tubuhnya jadi lebih baik. Memesan ganja dan merebusnya untuk diminum airnya pun jadi rutinitas barunya.
Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pada 17 November 2019, ia ditangkap polisi. Pria nahas itu ditangkap bersama 428,26 gram ganja pesanannya yang baru sampai di tempat indekosnya.
Semua ganja pesanan yang baru saja diterima Rossy hari itu, belum sempat diolah seperti biasanya. Saat penggerebekan di tempat indekosnya, polisi juga menemukan 2,52 gram ganja di saku celana perantau asal Jakarta ini.
Penggerebekan oleh aparat Kepolisian Daerah NTT itupun berlanjut ke proses penyidikan. Sayangnya, tidak ada seorangpun penasihat hukum yang mendampingi Rossy menjalani proses tersebut. Dakwaan alternatif kepadanya yakni:
Pasal 114 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I;
Selanjutnya, Pasal 111 ayat (1) UU yang sama, yakni tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman;
Lalu, Pasal 127 ayat (1) UU yang sama pula, mengenai penyalahgunaan narkotika.
Ketiga pasal tersebut memuat ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda hingga 8 miliar rupiah. Celakanya, penasihat hukum baru hadir pada proses pemeriksaan saksi di pengadilan.
Banyak syarat dan ketentuan yang tidak terpenuhi sehingga, proses untuk kasus ini terbilang janggal. Sebagai contoh, Rossy didakwa atas perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, tapi pihak-pihak terkait dengan sejumlah perbuatan yang didakwakan itu tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan hanyalah penyidik yang menggerebek tempat indekos Rossy pada 17 November 2019. Kehadiran satu-satunya saksi itu lantaran ia tidak mampu membiayai saksi meringankan untuk hadir dalam persidangannya.
Sidang yang digelar 28 Mei 2020, akhirnya menuntut Rossy penjara selama 1 tahun atas pelanggaran Pasal 127 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni penyalahgunaan narkotika.
Saat keterangan ini ditulis, Rossy sedang menunggu putusan pengadilan atas kasus yang dihadapinya. Ia sangat berharap, hakim yang menangani perkaranya mampu melihat secara utuh dan bijaksana upaya pengobatan penyakit mantan kuli panggul itu yang dipenuhi penderitaan merasakan nyeri akibat kelainan saraf selama bertahun-tahun.
Penderitaan Rossy tidak hanya dalam bentuk fisik tapi juga kelelahan mental karena, walaupun terus melakoni pengobatan, penyakitnya tak kunjung sembuh.
Pada suatu titik, Rossy merasakan kesembuhan riil dengan pengobatan menggunakan ganja yang sangat mungkin ia ketahui memiliki konsekuensi hukum, yaitu pemenjaraan dirinya. Kesediaannya menanggung konsekuensi itupun ia putuskan atas kebutuhan akan kesembuhan nyata dari nyeri yang ia rasakan sejak 2015 silam.
Atas kebutuhan itulah, sampai dengan saat ini, Rossy masih meminum obat pereda nyeri yang telah dikenalnya sejak hasil CT scan-nya di Jakarta ia ketahui. Obat yang harus diminum tiap hari ini, ia dapatkan atas bantuan teman karena dirinya tidak memiliki keluarga di Kupang, kota tempat ia ditahan selama proses persidangan.