close
38624-perempuan-dan-kondom
Ilustrasi: Shutterstock

Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko menggelar rapat bersama Tim Perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari pemerintah di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta Pusat, Kamis (15/8). Dalam rapat tersebut, KSP memberi waktu tenggat hingga akhir Agustus 2019 untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP. KSP menyatakan bahwa permasalahan RKUHP hanya tinggal tiga, yaitu penghinaan presiden, tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana khusus.

ICJR, Rumah Cemara, PKBI, dan IPPI mengkritik keras pernyataan tersebut yang lagi-lagi seolah menetapkan deadline bagi pengesahan RKUHP. Pemerintah begitu saja mengamini bahwa hanya terdapat tiga permasalahan dan sepakat mengesahkan RKUHP dengan terburu-buru. Padahal, jika Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) benar-benar serius membahas RKUHP, terdapat banyak rumusan RKUHP yang nantinya memengaruhi upaya pemerintah, terutama dalam penanggulangan HIV-AIDS.

RKUHP hanya mengedepankan “sama sekali tidak berhubungan seks di luar pernikahan” dalam penanggulangan HIV-AIDS dan mempropagandakan “perang terhadap narkotika” melalui:

1. Memidanakan semua bentuk hubungan seksual konsensual di luar perkawinan (Pasal 446 ayat (1) huruf e pada draf 9 Juli 2018/ Pasal 433 ayat (1) huruf e draf 25 Juni 2019 memidanakan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan;

2. Wacana pemidanaan prostitusi (Pasal 489 draf 2015 dan wacana lainnya tentang kriminalisasi pekerja seks dan prostitusi);

3. Mewacanakan hukuman pidana untuk kelompok dengan orientasi seksual berbeda (Pasal 469 dalam draf 2 Februari 2018 tentang kriminalisasi perbuatan cabul sesama jenis);

Baca juga:  Kami Juga Berdaya: Cerita Pengidap HIV yang Didiskriminasi di Tempat Kerja

4. Memidanakan pengguna dan pecandu narkotika dengan diakomodasinya pasal karet tindak pidana narkotika (Pasal 630-635 RKUHP draf 25 Juni 2019);

5. Memidanakan kegiatan mempromosikan/ mempertunjukkan tanpa diminta alat pencegahan kehamilan/ kontrasepsi, pada Pasal 443 jo Pasal 445 RKUHP draf 9 Juli 2018/ Pasal 430 jo Pasal 432 RKUHP draf 25 Juni 2019.

Padahal, banyak negara di dunia termasuk UNAIDS yang telah menyerukan bahwa pendekatan abstinence-only  atau propaganda “tidak sama sekali berhubungan seks di luar pernikahan” dan propaganda “perang terhadap narkotika” justru membawa dampak yang lebih buruk pada kesehatan masyarakat.

Dalam Criminal Law, Public Health and HIV Transmission: A Policy Options Paper oleh UNAIDS pada 2002 dinyatakan bahwa,

“Pembuat kebijakan harus mengakui pelajaran sejarah, yang menunjukkan larangan – misalnya larangan alkohol dan obat-obatan lain, hubungan suka sama suka, atau prostitusi tidak pernah berhasil mencegah perilaku-perilaku berisiko, dan bahwa kerusakan yang terjadi setelah menstigmatisasi mereka dan mendorong mereka ke bawah tanah telah lebih besar daripada kerusakan apa pun (atau yang dianggap merugikan) dari kegiatan itu sendiri.”

Orang-orang yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV, seperti hubungan seksual tanpa pengamanan dan pemakaian secara bergiliran alat suntik narkotika, tentu tidak akan melaporkannya pada petugas kesehatan karena dibayangi ancaman pidana. Padahal kelompok ini merupakan kunci dalam program penanggulangan HIV-AIDS. Hal yang paling dasar sekalipun, yaitu promosi penggunaan kondom yang seharusnya bisa dilakukan semua lapisan masyarakat akan dipidana.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (2)

Hal ini menyuburkan stigma terhadap kelompok-kelompok sasaran penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia seperti pekerja seks, pelanggan pekerja seks yang oleh Kementerian Kesehatan RI diperkirakan berjumlah 5.254.065 laki-laki, kelompok dengan orientasi seksual berbeda yang sering jadi korban tindak kekerasan, termasuk orang-orang yang ketergantungan narkotika yang seharusnya hak kesehatannya dilindungi negara.

Ketakutan terhadap stigma dan ancaman pidana akan membuat kelompok-kelompok tersebut tidak mengakses layanan, termasuk kelompok perempuan yang rentan tertular HIV dari pasangannya. Padahal hal penting dari penanggulangan HIV-AIDS adalah cakupan layanan kesehatan pada kelompok-kelompok itu.

Sampai Desember 2018, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa hanya 51,1 persen infeksi HIV yang berhasil didata. Pemerintah perlu bekerja lebih keras agar kelompok populasi ini tercakup, tapi RKUHP justru akan menghambat kerja keras tersebut. Jika Pemerintahan Jokowi serius berkomitmen untuk menjamin kesehatan semua orang seperti yang diserukan dalam pidato visi presidennya, maka seharusnya presiden tidak begitu saja mengamini bahwa pembahasan RKUHP telah rampung dan segera disahkan. Ada banyak hal yang akan berdampak pada upaya pemerintah terutama dalam penanggulangan HIV-AIDS.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.