Baru-baru ini dunia K-Pop digemparkan dengan peristiwa bunuh diri Sulli F(x). Kematian Sulli diratapi fansnya, termasuk pecinta K-Pop tanah air. Sebagai artis yang tengah naik daun, Sulli dikenal sebagai sosok yang energik juga bicara blak-blakan. Dia bahkan dipercaya sebagai perempuan progresif yang berani melawan arus masyarakat Korea Selatan yang konservatif, mulai dari sikapnya yang tidak mau mengenakan bra, setuju aborsi, dan pengakuan bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa.
Artikel ini adalah opini karya Iman Herdiana, wartawan lepas
Namun ratapan takkan mengembalikan hidup sang idola. Kendati demikian, kematian Sulli menguak betapa seriusnya kesehatan mental atau kewarasan—masalah yang sering diabaikan, dianggap tabu atau aib, bahkan dipandang sebelah mata. Jika mengikuti perkembangan berita Sulli, rupanya ia sudah bergelut dengan gangguan mental sejak cukup lama seiring popularitasnya yang semakin menanjak.
Pada 2014, Sulli mendapat perawatan kesehatan mental karena mudah panik dan fobia sosial. Di saat mentalnya terganggu, ia banyak dirundung di media sosial. Pengakuannya soal gangguan mental mendapat cibiran dari para netizen yang maha benar. Padahal masalah mental tak bisa dipandang remeh, mengingat salah satu dampaknya ialah kematian atau bunuh diri, misalnya. Tidak sedikit pula masalah kejiwaan menimbulkan korban jiwa orang lain seperti pada kasus psikopat.
Hingga 2018, dalam teaser reality show Jinri Store-nya, Sulli mengaku cukup lama berjuang melawan gangguan jiwa. “Aku merasa tidak ada orang yang ada di sampingku, tidak ada yang memahamiku.”
Orang dengan gangguan mental memang butuh dipahami, bukan dicaci-maki atau malah di-bully. Itu sebabnya sejumlah situs berita di Indonesia kerap menyertakan informasi layanan konsultasi psikis di akhir berita yang mengabarkan kasus bunuh diri.
Kematian Sulli, dan pesohor lainnya yang bunuh diri, menjadi peringatan bahwa kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sayangnya selama ini istilah sehat cenderung bermakna fisik belaka. Kementerian Kesehatan mengakui bahwa kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi tantangan yang sangat berat karena memiliki perspektif yang berbeda-beda. Meski begitu, definisi kesehatan menurut UU terasa begitu mewah, “kesehatan adalah keadaan yang sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan orang untuk hidup produktif” (UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan)
Definisi tersebut sebenarnya telah dirumuskan pendiri bangsa dalam narasi yang lebih ringkas dan tegas lewat lagu Indonesia Raya, “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”, yang bisa ditafsirkan bahwa membangun jiwa dan badan harus dilakukan bersamaan, malah kata “jiwa” lebih duluan disebut daripada “badan”. WR Supratman, pencipta Indonesia Raya, tampaknya sudah lebih dulu paham akan pentingnya kesehatan jiwa.
Masalah Anak Muda
Masalah kesehatan jiwa menjadi perhatian global seiring jumlah penderitanya yang tidak sedikit. Pada 2016, WHO melaporkan orang yang hidup dengan gangguan jiwa di seluruh dunia jumlahnya lebih dari separuh penduduk Indonesia. Rinciannya kurang lebih, sekitar 35 juta mengalami depresi, 60 jutaan bipolar, 21 jutaan skizofrenia, serta 47,5 juta demensia.
Kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia pun tidak baik-baik saja, bahkan menjadi masalah serius di kalangan muda. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan ganggunan mental emosional berupa depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6,0 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Pada Riskesdas 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun naik menjadi 9,8 persen.
Tingginya angka masalah gangguan jiwa di kalangan muda seiring sejalan dengan kasus bunuh diri yang oleh WHO disebut fenomena global. Pada 2016, WHO melaporkan penelitiannya tentang kasus bunuh diri. Hasilnya, 79 persen kasus terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Bunuh diri dinyatakan sebagai penyebab kematian ke-18 di dunia. Bila lingkup usianya dipersempit antara 15-29 tahun, bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor dua di dunia (detik.com).
Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut WHO, tingkat bunuh diri di Indonesia berada pada angka 3,7 dan menduduki peringkat 159 di dunia. Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi adalah Guyana (30,2). Sementara itu, Korea Selatan, negaranya Sulli, masuk dalam 10 besar dengan angka 20,2.
Angka-angka tersebut tentunya berisi orang-orang dari beragam kalangan. Ini menunjukkan bahwa masalah mental yang berakhir bunuh diri tidak bersifat elitis yang hanya menyerang selebritas. Gangguan mental bisa menyerang siapa saja, entah dia artis, pegawai, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan beragam usia, tua, muda. Namun para ahli sepakat jika usia muda dinilai lebih rentan seperti halnya Sulli yang baru berusia 25 tahun.
Di Indonesia, kasus bunuh diri anak muda kerap diberitakan pers. Pada akhir 2018 hingga awal 2019, sedikitnya lima mahasiswa yang kuliah di Bogor, Bandung, dan Sumedang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Peristiwa ini terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan. Psikiater menyebut fenomena ini sebagai puncak gunung es di mana yang terlihat hanya permukaannya saja.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mewawancarai dokter spesialis kejiwaan kenamaan di Bandung, dr. Teddy Hidayat, SpKJ (K). Ia memprediksi jumlah mahasiswa atau anak muda yang depresi dan berniat bunuh diri diperkirakan lebih banyak lagi. Prediksi ini berdasarkan jumlah keluhan pasien yang datang ke rumah sakit bagian psikiatri. Menurut Teddy, dalam seminggu ada tiga sampai empat mahasiswa yang mengeluhkan depresi dan memiliki ide bunuh diri.
Mereka Hidup dalam Tekanan
Ada benang merah antara masalah yang dihadapi Sulli F(x) dan anak muda yang bunuh diri: mereka hidup dalam tekanan, entah tekanan kerja, tugas kuliah, maupun masalah sosial lainnya. Teddy menyebut anak muda atau mahasiswa yang bunuh diri selama hidupnya menghadapi persoalan personal, akademis, psikososial.
Khusus tekanan emosional yang dihadapi kalangan pesohor, dokter spesialis kesehatan jiwa dr. Dharmawan AP, SpKJ, menganalisis bahwa banyak idola yang belum siap untuk hidup dalam ketenaran namun harus memenuhi target-target yang dipesan agensinya. Mereka lelah di tengah jadwal yang padat. Hidupnya monoton, yakni menjadi mesin pencari uang (kompas.com).
Akan tetapi hidup lelah dan monoton tak cuma milik para idola atau selebritas. Banyak orang yang hidup dalam kelelahan dan kebosanan. Mengutip teori perkembangan psikososial Erik H. Erikson, Dharmawan menyatakan, di usia 20 hingga 30 tahun, seseorang berada dalam tahap transisi. Dia siap untuk membangun hubungan dekat dan berkomitmen dengan orang lain. Namun jika gagal melewati tahapan ini, maka akan timbul rasa keterasingan. Akibatnya, dia mengalami isolasi secara emosi, sendirian, hampa dan depresi.
Pada usia tersebut, kata Dharmawan, orang biasanya mulai bingung dengan apa yang ingin dikerjakan. Namun ketika menemukan pekerjaan, dia juga bingung tentang apa yang dilakukannya, apakah itu hal yang disukainya atau tidak. Kondisi ini akan memicu krisis eksistensi diri atau depresi. Pada tahap ini “korban” harus memiliki kepekaan diri dan berusaha mengenali dirinya sendiri. Kegagalan memahami diri sendiri akan memicu terjadinya krisis eksistensi.
Sayangnya, banyak pihak yang masih “gagal paham” dalam menyikapi depresi anak muda. Bahkan hal ini terjadi di lingkup akademik. Menurut Teddy, pihak kampus justru cenderung bersikap sama dengan masyarakat awam dalam menghadapi depresi mahasiswanya, yakni terjebak pada stigma atau aib. Padahal kesehatan jiwa bukanlah noda yang harus ditutup-tutupi, melainkan penyakit yang bisa disembuhkan seperti penyakit fisik, dengan pendekatan yang benar tentunya.
Teddy melihat, pencegahan depresi sebenarnya bisa dilakukan sejak dini. Pada konteks mahasiswa, pencegahan bisa dimulai sedari seleksi. Namun seleksi mahasiswa selama ini lebih menekankan aspek kognitif (kecerdasan) dan mengesampingkan aspek emosi atau kejiwaan. Sedangkan manusia tidak hanya memiliki aspek kognitif saja, tetapi juga punya aspek emosi atau mental, spiritual dan sosial.
Di sisi lain, masih banyak anak muda di luar kampus yang hidup dengan sejumlah persoalan yang memengaruhi jiwanya. Pemerintah harus melek dengan masalah mental ini. Mengatasi masalah mental tidak cukup sekadar mengusung jargon “revolusi mental”. Sudah saatnya anak muda didengar dan dipahami, seperti yang disampaikan Sulli dalam teaser reality show Jinri Store-nya setahun sebelum ia bunuh diri.