Konsumsi ganja prakemerdekaan Republik Indonesia tidak pernah seluas candu, tembakau, atau bahkan alkohol. Meski demikian, bukan berarti orang-orang di kepulauan ini tidak mengenalnya. Bukti-bukti pemanfaatan ganja terekam dalam kitab-kitab yang ditulis pada zaman penjajahan, masa kerajaan Islam, sampai relief candi buatan kerajaan Hindu-Buddha.
Dalam Kitab Jejamuan Ambon atau Herbarium Amboinense karya botanis Jerman-Belanda, GE Rumphius yang diterbitkan pada 1741 tertulis, ganja dimanfaatkan masyarakat Maluku untuk pengobatan mulai dari asma hingga kencing nanah.
Di periode kerajaan Islam, bersama opium, jinten, dan lada hitam, ganja juga dimuat sebagai bahan obat dalam Kitab Tajul Muluk karya ulama Aceh.
Lebih kuno lagi, relief ganja terpahat pada candi Hindu di pulau Jawa. Hal ini selaras dengan pemakaian ganja untuk menghormati Dewa Siwa dalam ritual keagamaan di India sebagaimana tertulis dalam naskah-naskah Weda kuno.
Lantaran konsumsinya yang terbatas sebagai bahan obat serta ritual keagamaan, saya belum menemukan adanya kekhawatiran terhadap ganja sebagaimana kekhawatiran atas konsumsi candu atau alkohol di masyarakat kala itu.
Sebagai contoh Raja Mataram Islam, Pakubuwono IV melarang konsumsi candu bagi abdi kerajaan serta keturunannya yang ditulis dalam Serat Wulangreh saat ia bertakhta pada 1788-1820. Kekhawatiran serupa juga ditulis RA Kartini dalam surat-surat yang ditujukan kepada teman-temannya di Eropa sejak 1899.
Larangan konsumsi alkohol dalam Islam tentu saja diterapkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tempo itu meskipun hingga saat ini belum pernah diterapkan secara nasional.
Konsumsi alkohol oleh masyarakat pribumi juga menjadi kekhawatiran orang-orang Belanda seiring maraknya tuntutan penerapan politik etis. Sikap antiminuman beralkohol ditunjukkan oleh organisasi macam Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, meskipun sikap tersebut pada praktiknya dimanfaatkan importir minuman beralkohol untuk mengganyang industri minuman lokal semacam tuak, ciu, dsb.
Demikian pula dengan sikap terhadap candu buat warga lokal. Faktanya, pemerintah kolonial yang memonopoli perdagangannya malah menaikkan pajak penjualan candu. Hal ini turut meningkatkan pendapatan mereka sepanjang 1905-1920.
Baik untuk alkohol maupun candu, Belanda mendirikan badan khusus sejenis BNN saat ini, yakni Alcoholbes Trijdings Commissie pada 1918 dan Amphioen Societeit pada 1745. Dua lembaga tersebut menegaskan bahwa konsumsi kedua komoditas tersebut memang dilakukan secara luas di masyarakat dan mengundang keprihatinan.
Narasi
Meskipun jejak keberadaan ganja di Nusantara bisa ditelusuri hingga zaman kerajaan Hindu-Buddha, pemanfaatannya sebatas pada bahan obat dan ritual keagamaan. Yang justru meluas adalah penanamannya sebagai penghalau hama kopi di Aceh sejak abad ke-19. Untuk tujuan pengobatan pun, pemanfaatan ganja tidak selazim candu. Pengetahuannya kala itu hanya dikuasai tabib.
Merokok ganja baru marak justru di era pemberantasannya sejak 1971. Waktu itu, Presiden daripada Soeharto menginstruksikan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menanggulangi konsumsi narkotika yang disinyalir mengancam pembangunan nasional. Sesuai konvensi PBB yang turut ditandatangani Indonesia sepuluh tahun sebelumnya, ganja dikategorikan sebagai narkotika bersama candu dan koka.
Tiga bulan sebelum terbitnya instruksi tersebut, Presiden AS, Richard Nixon menggelorakan “perang terhadap narkoba” dengan menjadikan narkoba sebagai musuh masyarakat Amerika nomor wahid.
Di AS sendiri, propaganda besar-besaran untuk melarang konsumsi ganja mulai dilakukan sejak 1930. Demi dimusuhi warga kulit putih di sana, Kepala BNN AS saat itu menyatakan kebanyakan konsumen ganja adalah Hispanik, Negro, Filipinos, dan pekerja hiburan. Konsumsinya membuat perempuan kulit putih mau berhubungan seks dengan mereka.
Kata marijuana dipakai untuk membedakan antara ganja yang ditanam di dalam negeri dengan ganja yang dibawa oleh imigran Meksiko.
Sebuah film yang ingin menunjukkan kepada para orang tua tentang bahaya ganja dirilis pada 1936. Latar dan plot film berjudul Reefer Madness itu adalah siswa-siswa SMA yang mengalami kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, bunuh diri, perkosaan, dan kegilaan akibat konsumsi ganja. Judul awalnya adalah Tell Your Children yang produksinya dibiayai sebuah kelompok gereja di AS.
Ganja kian dijauhkan dari kehidupan masyarakat AS saat DuPont, perusahaan petrokimia raksasa di sana menemukan polyester pada 1930-an. Serat polyester kemudian banyak menggantikan serat ganja dan menjadi standar pengemasan hingga kini yang kita kenal sebagai polyethylene terephthalate (PET). Para cendekiawan pun masih berdebat soal peranan DuPont di balik disahkannya UU Pajak Ganja pada 1937 sebagai upaya mematikan industri serat ganja.
Tidak hanya serat berbahan ganja yang tergulung, UU tersebut turut menghapus ganja dari ikhtisar farmasi di AS lima tahun kemudian. Pada 1970, barulah AS menerbitkan UU Pengendalian Zat yang melarang pemanfaatan ganja kecuali untuk keperluan penelitian.
Propaganda dan penerapan kebijakan nasional di AS memengaruhi apa yang terjadi di tanah air soal ganja sampai sekarang.
Kalau sebelumnya hanya menjadi tanaman sekunder tak bernilai sebagai penghalau hama kopi, ganja menjadi tanaman primer dengan harga yang jauh melampaui kopi saat dilarang. Laba penjualan ganja yang tinggi dimanfaatkan untuk pembelian senjata baik oleh kelompok separatis di Aceh maupun tentara yang ditugaskan untuk menumpasnya.
Para pelanggar UU Narkotika dengan barang bukti ganja pun kerap diasosiasikan dengan Gerakan Aceh Merdeka. Hal ini dapat turut memengaruhi keputusan hakim saat menjatuhkan vonis.
Di lain pihak, propaganda pelarangan ganja malah memopulerkan konsumsinya untuk tujuan rekreasi. Sejak kebijakan tersebut diterapkan, bermunculanlah istilah-istilah sandi untuk ganja. “Gele” adalah sandi terpopuler yang diperkirakan muncul pada 1970-an.