Sebagai penghalau hama kopi, cabai, serta komoditas perkebunan lainnya, ganja tentu banyak ditanam. Belanda bahkan sengaja mendatangkan ganja dari India untuk ditanam oleh petani kopi di Aceh. Artinya, penanaman dilakukan secara sistematis. Sampai sekarang pun ganja seakan tak habis ditumpas dari Tanah Rencong. Ganja Aceh juga terkenal hingga ke mancanegara.
Untuk memerangi konsumsinya, pemerintah secara massal melakukan pendidikan tentang bahaya ganja. Cap buruk disematkan ke tanaman penghalau hama itu. Media massa diikutsertakan. Alhasil, ganja yang tadinya sebatas dikenal oleh tabib, pemuka agama, dan para petani itu jadi dikenal masyarakat luas.
Budaya
Mirip di Amerika dengan film Reefer Madness-nya, sejumlah lagu pop, film, dan sinetron tanah air dibuat untuk menyebarluaskan stigma tentang ganja. Isu ganja dimasukkan ke dalam budaya populer supaya orang-orang tidak mengonsumsinya. Sederet penyanyi bahkan secara eksplisit menyebut “ganja” dalam lagu-lagu yang dibuat pada era 1970-1980-an.
Sejak itu, tentu saja konsumen ganja harus berada di “bawah tanah”. Para penikmat ganja menciptakan subkultur agar tidak diketahui terlibat dengan tanaman yang dicap buruk itu. Salah satu manifestasi subkultur tersebut adalah sandi atau bahasa slang.
Sebagaimana dengan jumlah konsumennya, jumlah istilah sandi yang merujuk ke ganja lebih variatif ketimbang untuk jenis narkoba lainnya. Istilah-istilah ini tidak hanya berbeda-beda berdasarkan kota atau daerah, tiap tongkrongan hampir memiliki istilahnya sendiri. Yang populer tentu saja “gele” dan “cimeng”.
Kontranarasi ganja dalam budaya pop pada masa itu melekat pada musik reggae yang diusung Bob Marley dan Peter Tosh. Meski tidak semua penikmat ganja di Indonesia mendengar reggae, narasi yang diusung Marley dkk. ini mampu menumbuhkan wacana tandingan tentang ganja di tanah air.
Pascatsunami Aceh (2004) yang turut menyudahi gerakan separatis di sana, narasi-narasi tandingan soal ganja di dalam negeri menjadi lebih terbuka.
Di masa sebelum itu, banyak orang yang saya kenal punya pandangan yang dipengaruhi Peter Tosh untuk melegalisasi ganja, tapi tidak ada yang berani terang-terangan. Bisa-bisa diasosiasikan dengan Gerakan Aceh Merdeka!
Tapi setidaknya saat saya remaja pada 1990-an, gambar daun ganja menjadi ikon perlawanan. Jiwa pemberontakan remaja juga diakomodasi oleh budaya pop. Selain daun ganja, kita juga mungkin sering melihat gambar Che Guevara, tokoh revolusi Kuba, di poster atau kaus. Tokoh yang berkaitan dengan ganja tentu saja Bob Marley. Kaus-kaus bergambar Marley banyak dipakai orang hingga kini dan kerap bersanding dengan gambar daun ganja.
Pasca-2004, ide legalisasi ganja yang diusung Peter Tosh dkk. sudah tidak lagi sekadar melawan narasi arus utama antiganja. Di Indonesia, kontranarasi ini sudah dilengkapi argumentasi terutama medis. Orang-orang yang mengusungnya pun sudah mulai memublikasikan gagasannya. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari fenomena ganja medis di California, AS sejak 1996 selain pupusnya separatisme di Aceh.
Hollywood pun menyambut fenomena akhir 1990-an tersebut. Narasi ganja medis diusung melengkapi film-film dokumenter yang sudah ada. Hal ini tentunya memperluas wacana legalisasi ganja di Indonesia. Namun terlepas dari budaya pop, diresmikannya pemanfaatan ganja untuk keperluan medis di berbagai negara memperkaya argumentasi ilmiahnya.
Pada 2007, ide legalisasi ganja sempat dilontarkan BNN. Tapi saking kontroversialnya wacana tersebut, penolakan terjadi di mana-mana termasuk dari internal BNN sendiri. Tiga belas tahun berselang, ide serupa masih mendapat penolakan keras. Seorang anggota DPR RI yang mengusulkan ekspor ganja bahkan sampai harus meminta maaf dan menarik ucapannya saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Perdagangan RI.
Meski sikap resmi pemerintah soal ganja tak berubah selama lebih dari setengah abad, tapi saat ini kita bisa menemukan sejumlah artikel ilmiah soal ganja di situs-situs pemerintah.
Keberpihakan
Dari yang telah terjadi pada alkohol dan candu, kita bisa menarik pola umum. Saat pemanfaatan suatu komoditas dilakukan secara luas, terdapat kasus-kasus yang mengundang keprihatinan diamplifikasi oleh pemuka masyarakat.
Sikap para pemuka masyarakat terhadap komoditas ini kemudian ditunggangi oleh kepentingan modal untuk meraup lebih banyak laba. Ini terjadi pada candu. Adanya keprihatinan elite bumiputra maupun londo dimanfaatkan untuk meningkatkan pajak penjualannya yang dimonopoli kumpeni. Belanda sampai membuat badan khusus untuk mengakomodasi wacana pelarangan.
Saat ini kita bisa melihat fenomena itu dalam penetapan kenaikan cukai rokok oleh pemerintah.
Kenaikan cukai rokok ditetapkan untuk pembatasan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang menuai dampak buruk merokok. Untuk melegitimasi kebijakan itu, cap buruk merokok disematkan dan tentu saja dilengkapi argumentasi ilmiah.
Dalam kasus ini kita bisa melihat kebijakan negara mengakomodasi wacana arus utama elite tentang bahaya merokok sekaligus kepentingan pendapatan pemerintah. Negara tidak berpihak pada rakyat karena faktanya yang membeli rokok bukan hanya kalangan kaya.
Dalam kasus minuman beralkohol, sejak zaman penjajahan, kebijakan negara juga mengakomodasi kepentingan importir karena yang diberantas waktu itu hanyalah produsen minuman lokal.
Perlindungan terhadap rakyat menjadi selubung untuk mengakomodasi baik wacana elite maupun kebijakan pelarangan dan/ atau kenaikan pajak. Negara justru berpihak pada kepentingan pemodal besar.
Dalam industri rokok, hal ini dirasakan oleh produsen-produsen kecil. Dengan penetapan cukai yang tinggi, mereka dipaksa bangkrut karena cukai ditalangi dulu oleh produsen sebelum ditebus konsumen dari gerai-gerai penjualan. Akhirnya yang mampu bertahan hanyalah produsen raksasa multinasional.
Untuk ganja, kalau ngotot untuk mengakomodasi wacana arus utama pelarangan di kalangan elite, itu berarti negara berpihak pada keuntungan bandar di pasar gelap. Tidak ada jaminan bahwa rakyat akan terlindung dari konsumsi ganja. Dalam ketiadaan jaminan perlindungan tersebut, orang yang nyimeng malah dihukum.
Untuk secara istikamah melindungi rakyat, yang harus dilakukan negara adalah melakukan pengawasan bahan baku serta mutu komoditas yang dikonsumsi. Ini artinya seluruh aspek ekonomi ganja harus berada di pasar yang terang benderang. Izin harus diberikan kepada pihak yang membudidayakannya.
Karena membudidayakan ganja tidak serumit budi daya kelapa sawit atau tembakau, sangat mungkin akan ada banyak pekarangan rumah yang ditanami ganja. Pada tahap tanaman ganja berada di banyak tempat, maka harganya pun akan otomatis turun. Fenomena serupa terjadi pada tanaman gelombang cinta atau janda bolong. Saat yang menanam masih sedikit, harganya gila-gilaan. Saat ini, berapa harga tanaman-tanaman tersebut?
Visi kebijakan untuk tanaman yang mengandung zat psikoaktif harus sampai pada ketiadaan nilai ekonominya, sehingga mengeruk laba tidak lagi menjadi motif untuk penanamannya. Saat pohon ganja sudah terlalu banyak dan mengganggu pertumbuhan tanaman lain, para petani pun akan mencabutinya tanpa perintah UU.