close
Komunitas

Yoyo, Media Massa, dan ‘Scare Tactics’ Narkoba

Yoyo-padi-MI-Panca-Syurkani-re

Minggu, 27 Februari 2011 penabuh drum kelompok musik Padi, Yoyo, digrebek polisi atas kepemilikan zat psikoaktif (lebih dikenal sebagai NAPZA atau narkoba) yang dilarang melalui UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Peristiwa ini tentu menjadi liputan menarik dan menghiasi banyak media massa sebagaimana kasus-kasus serupa sebelumnya. Saat ini setidaknya terdapat 126.000 hasil di Mesin Pencari Google dengan mengetik kata “Yoyo Narkoba”, merujuk pada peristiwa tersebut.

Penghukuman terhadap si pelaku sekaligus korban, yang menjadi semangat kebijakan narkoba di banyak negara, dan untuk meningkatkan oplah atau tiras, merupakan dua motif yang saling melengkapi dalam liputan-liputan itu. Maka menjadi logis ketika terdapat ratusan ribu hasil pencarian kata “Yoyo Narkoba”. Sementara, untuk kata “Yoyo Cerai”, misalnya, hasilnya 100 ribuan. Apalagi “Yoyo Prestasi”, hasilnya kurang dari 40 ribu.

Sejak 1976, hukuman untuk kepemilikan narkoba di Indonesia terus ditingkatkan dari maksimum pidana penjara 10 tahun dan denda Rp15 juta; menjadi penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta (1997); lalu menjadi penjara 12 tahun dan denda Rp8 miliar untuk kepemilikan kurang dari 5 gram narkotika golongan satu (2009).

Ancaman hukuman yang berlebih ini (istilah sekarangnya “lebay”, karena mana mungkin kebanyakan pemakai narkoba di Indonesia mampu membayar denda hingga 8 miliar rupiah) dicantumkan oleh para pembuat UU untuk satu maksud, agar orang Indonesia takut berhubungan dengan narkoba. Untuk menyukseskannya, banyak yang dilibatkan serta melibatkan diri dalam menyebarluaskan informasi tentang ancaman tersebut. Taktik ini dikenal sebagai Scare Tactics, yakni menakut-nakuti publik untuk tujuan tertentu. Niatnya mulia, namun propaganda antinarkoba ini justru mendatangkan lebih banyak keuntungan bagi sindikat kejahatan.

Baca juga:  Cerita Soal Pangan Kelompok Waria Pasundan di Masa Pandemi Covid-19

Zat-zat psikoaktif, termasuk tembakau, telah dikonsumsi manusia berabad-abad lamanya. Ketika secara internasional dilarang, praktis jalur-jalur resmi dari produksi hingga konsumsinya tertutup, namun tidak otomatis menghilangkan permintaan terhadap komoditas ini. Tertutupnya jalur-jalur resmi pasokan (supply) mengalihkan pemenuhan permintaan (demand) sejumlah zat ini secara gelap yang dikuasai oleh sindikat atau kelompok-kelompok kejahatan terorganisir.

Struktur pasar gelap memungkinkan satu komoditas dapat dikonsumsi siapapun dan berada di manapun. Melalui struktur ini, jangankan Yoyo yang adalah seorang berusia dewasa dan mapan secara keuangan, anak-anak yang tidak kaya pun saat ini bisa memperoleh narkoba yang tersedia di jalanan-jalanan pemukiman kita.  

Konsumsi NAPZA dikatakan bermasalah jika membuat konsumennya tidak bahagia sehingga mencari perawatan untuk berhenti mengonsumsinya, atau terjerat hukum seperti Yoyo. Konsumsi bermasalah merupakan hal yang menjadi perhatian profesional dan orang-orang yang peduli. Namun, jika membandingkan jumlah konsumsi NAPZA bermasalah dengan seluruh jumlah konsumsinya, apa yang dipublikasikan adalah berlebihan. Kualitas informasinya setara dengan sinetron dan reality show religius-mistik yang banyak tayang di TV akhir-akhir ini, menakut-nakuti bahkan mengada-ada.

Pada 2004, sekitar 3,2 juta orang Indonesia menyalahgunakan NAPZA[1]; 3.873 orang mencari perawatan ketergantungan NAPZA[2]; dan 8.409 orang tercatat sebagai kasus tindak pidana[3]. Jumlah dua angka yang disebut terakhir, dibandingkan 3.200.000 penyalah guna NAPZA adalah 0,38%. Ini berarti 99,62% konsumsi NAPZA di Indonesia pada 2004 tidak bermasalah. Rendahnya proporsi ini konsisten dengan laporan UNODC 2006, yaitu 1,86% dari jumlah konsumsi NAPZA di seluruh dunia bermasalah[4].

Baca juga:  Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN)

Bagaimana proporsi yang kecil ini bisa memunculkan begitu banyak cap buruk tentang NAPZA, sementara informasi untuk hal yang persentasenya jauh lebih besar tidak dimasyarakatkan? Apakah NAPZA memang begitu buruk? Mana yang lebih buruk, NAPZA atau kebijakan yang membuatnya beredar di pasar gelap? Lalu, apakah layak niat mulia mencegah orang berhubungan dengan narkoba dimanifestasikan banyak pihak, termasuk media massa, melalui scare tactics?

Masifnya liputan kasus narkoba seorang pesohor seharusnya bisa menyukseskan scare tactics sekaligus membuatnya jera. Namun formulasi antara pesohor (yang adalah panutan banyak orang), apa yang dilakukannya (dalam hal ini konsumsi NAPZA ilegal), dan liputan media yang sangat masif justru menjadi iklan gratisan bagi NAPZA ilegal itu sendiri. Sumber daya pemasaran tersebut melengkapi struktur ekonomi pasar gelap NAPZA.

Alhasil, peningkatan realisasi anggaran Badan Narkotika Nasional sejak 2004 yang juga berarti peningkatan anggaran scare tactics, justru berbanding lurus dengan peningkatan jumlah WNI tersangka kasus narkoba[5]. Lalu, apa kabarnya Indonesia Bebas Narkoba tahun 2015 yang tinggal beberapa tahun lagi?

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.