“Loners reject the world because the world rejects them” – Kevin Parker, Tame Impala
Pernahkah Anda melihat pelangi? Pemandangan warna-warni indah setelah turun hujan yang terkenal dengan sebutan mejikuhibinu (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu)? Setiap orang menyukai warna-warni hingga memfavoritkannya.
Terkadang pembiasan cahaya membuat takjub dan terlena. Seseorang bisa memilih dan mengalami perubahan warna baru dalam kehidupan seperti halnya Dani yang memilih hitam di antara sekian banyak pilihan warna.
Saat seseorang mengalami ketegangan hidup (stres) karena pekerjaan, tugas kuliah, deadline, lingkungan, kerugian usaha, dll., pelampiasannya bisa dengan cara apa saja. Stres merupakan suatu kondisi atau keadaan di mana seseorang mengalami beban pikiran dan juga mental yang dapat memengaruhi kondisi tubuh seseorang.
Pada 2005, Dani kuliah di jurusan hukum sebuah universitas swasta di Bandung. Pada awalnya dia melakukan kegiatan sehari-hari seperti mahasiswa umumnya, nongkrong, ikut kuliah, mengerjakan tugas-tugasnya, menyusun tesis, diskusi, dll. Keseharian itu turut dibumbui warna-warni baru, hal baru, dan sesuatu yang belum pernah ia coba.
Pada kurun 2005-2009, Dani mencoba mengisap ganja, sabu-sabu, serta minum obat-obat anti cemas (nitrazepam, alprazolam, dll.). Ia menyukai efek dari konsumsi NAPZA tersebut. “Saat saya sedang high segalanya jadi menyenangkan bersama teman-teman dan beban dalam keadaan apa pun terasa ringan,” ungkapnya.
Dari sekian banyak NAPZA yang dicoba Dani, ganja menjadi pilihan utamanya. Tidak seperti orang yang mabuk karena minuman beralkohol, efek yang dirasa lebih menyenangkan, santai, dan cahaya lampu menjadi lebih bersinar namun pudar.
Ketagihan ganja tidak membuat Dani menjauh dari orang-orang sekitarnya. Dia tetap berinteraksi dengan orang tua, teman, dan lingkungan sekitar.
Pada 2011, Dani lulus kuliah dan bekerja di salah satu kantor pengacara di Bandung. Kebiasaan mengisap ganja masih dilakukannya hingga orang tuanya tahu. Mereka berharap, Dani berhenti mengonsumsi tanaman yang bernama Latin Cannabis sativa itu. Mereka menyarankan agar Dani menyibukkan diri sehingga dapat melupakan ganja dengan cara melanjutkan sekolahnya ke jenjang S2.
Alih-alih melupakan ganja, segala kesibukan tugas kuliah, menulis tesis, dan urusan keseharian lainnya malah membuat Dani stres. Untuk menghilangkan ketegangan, Dani mengisap ganja karena itulah cara yang ada di ingatannya. Sesekali sambil bermain Xbox (video game) bersama teman-temannya.
Suatu ketika seorang teman menawarinya ganja sintetis, dijual sebagai tembakau dengan berbagai merek. Dani mengaku, ganja sintetis ini memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan ganja asli. Dua kali isap sudah bisa membuat halusinasi, efek psychedelic, dengan cepat meskipun ‘turunnya’ (efeknya hilang) juga cepat. Cepat ‘naik’, cepat ‘turun’.
Produk yang disebut ganja sintetis ini sengaja dibuat untuk memberikan efek menyerupai ganja (halusinogenik) pada konsumennya. Dipasarkan di Indonesia sebagai tembakau dengan merek lokal, di antaranya Hanoman, Gorila, Good Shit, Ganesha, dan entah apa lagi. Produk ini adalah versi ‘legal’ ganja karena tidak mengandung Delta 9 tetrahydrocannabinol, zat psikoaktif ganja yang di Indonesia hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan IPTEK. Di luar itu, ilegal.
Selain bukan obyek hukum pidana, produk ini relatif lebih murah. Hal ini memperhitungkan kuantitas yang lebih sedikit ketimbang kuantitas ganja yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek psychedelic yang sama bagi konsumennya.
Hingga Juli 2015, American Association of Poison Control Centers, sebuah ornop (organisasi nonpemerintah) yang melayani kasus keracunan di AS, telah menerima 4.377 pengaduan kasus ganja sintetis.
Barbara Carreno, juru bicara Drug Enforcement Administration (badan penegakan hukum narkoba AS), menyebutkan terdapat ratusan senyawa ganja, dan hingga kini terus dikembangkan perusahaan pembuat obat yang memesan zat-zat tersebut dari Tiongkok sebelum mengemasnya di AS.
Membuat produk ini mudah, yaitu hanya dengan menyemprotkan aseton (CH3COCH3), pelarut cat kuku yang dicampur bubuk sintetis ke dedaunan kering (biasanya tembakau). Atas kemudahan tersebut, berbagai pihak harus menaruh perhatian serius karena senyawa-senyawa kimia tersebut belum pernah diteliti dampak konsumsinya baik pada hewan maupun manusia.
Mengapa ganja sintetis diciptakan? Jawabannya adalah, untuk mengeruk laba dari penjualan produk yang efeknya menyerupai ganja tanpa terancam hukum pidana. Terdapat jutaan orang seperti Dani di seluruh dunia yang mengetahui cara melepas ketegangan hidup akibat rutinitas melalui konsumsi ganja, atau zat yang memiliki efek serupa. Tentu mereka tidak ingin terjerat hukum pidana. Jutaan orang yang ingin ‘legal high’ inilah yang menjadi pasar ganja sintetis.
Berbeda dengan ganja, produk-produk yang disebut ganja sintetis ini menyebabkan agitasi, muntah-muntah, takikardia (detak jantung di atas normal), halusinasi, paranoia, tremor, kejang, hipokalemia (rendahnya kalium dalam darah), nyeri dada, masalah jantung, stroke, kerusakan ginjal, psikosis akut, kerusakan otak, hingga kematian karena keracunan.
Karena dianggap lebih irit dan aman dari ancaman pidana, banyak juga konsumen ganja yang beralih ke produk sinstetis ini. Termasuk Dani. Karena cepat ‘naik dan cepat ‘turun’, Dani justru lebih banyak menghabiskan uang untuk terus bisa menikmati efeknya. Konsumsi ganja sintetis yang tidak terkendali lagi membuatnya harus menjalani program rehabilitasi.
Pondok Pesantren Inabah di Tasikmalaya, Jawa Barat merupakan tempatnya pertama kali menjalani program rehabilitasi ketergantungan NAPZA. Di sana, Dani sempat ‘mondok’ selama tiga bulan. Sejak awal, Dani tidak merasa betah berada di sana karena sejumlah alasan. Ia pun mencari informasi tentang tempat-tempat rehab lainnya dan menemukan Rumah Cemara.
Dani memutuskan pindah tempat rehab.
Selama direhab di Rumah Cemara, Dani merasakan hal-hal yang membuatnya lebih merasa nyaman dan kerasan. “Nah ini yang saya cari. Edukasi, support teman-teman sesama rehab resident, dan program Sport for Development yang menunjang kesehatan,” ujarnya.
Salah satu program olahraga untuk pengembangan diri yang dikembangkan Rumah Cemara adalah tinju. Rumah Cemara Boxing Camp (RCBC) nama sasana tinjunya. Dani mengikuti RCBC bukan karena paksaan, tetapi lebih dari inisiatifnya.
“Badan dan pikiran saya merasa lebih segar setelah mengikuti boxing,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Ginan Koesmayadi salah satu pendiri Rumah Cemara mengatakan, “Kami ingin sesuai esensi sport, dalam konteks ini olahraga tinju, yaitu memberdayakan manusia. Olahraga itu menjunjung nilai sportivitas dan mengembangkan diri.”
Ia menambahkan, “Kenapa tinju menjadi pilihan? Saya baca literatur dan penelitian di Amerika, olahraga beritme tinggi akan mampu mengurangi kekambuhan pengguna narkotik.”
Dani mengakui, dahulu ketergantungannya akan ganja sintetis sempat membuatnya depresi hingga ingin bunuh diri. Dani bisa menghabiskan lima gram ganja sintesis dalam sehari. “Untuk efek jangka pendek saat tidak pakai, kecanduan tidak akan langsung terasa. Namun untuk selanjutnya, rasa nyeri di kepala dan gelisah mungkin baru terjadi,” tuturnya menjelaskan.
Gary Artha, Staf Perawatan Ketergantungan Obat Rumah Cemara mengatakan, selama proses rehab, Dani memiliki motivasi tinggi, kognitif yang dewasa, sehingga perkembangannya cepat. “Saya tidak pernah memaksakan kehendak pada Dani, tetapi edukasi, saran, dan nasihat sudah kami berikan. Keputusan akhir ada pada dirinya sendiri, karena segala hal yang dia lakukan memiliki konsekuensinya juga,” ucap Gary.
Terkadang, warna-warni psychedelic dengan semua campuran cahayanya tidak seindah kelihatannya. Kenyataannya, warna hitam bisa jauh lebih indah. Menurut teori Brewster, warna hitam adalah warna netral yang merupakan hasil campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1:1:1. Warna ini sering muncul sebagai penyeimbang warna-warna kontras di alam.
Biasanya, hasil campuran yang tepat akan menuju hitam – warna yang akan memberi kesan suram, gelap, dan menakutkan namun juga elegan. Karena itu, elemen apapun jika dikombinasikan dengan warna hitam akan terlihat menarik. Tanpa hitam apalah arti putih dan warna-warni pelangi lainnya.
Kang Rizky, kenapa orang seperti Dani lebih suka make ganja untuk menghilangkan stres? Dia kan sarjana, malah juga kuliah S2, harusnya dia tau obat yang ampuh untuk segala persoalan hidup adalah agama. Kembali ke syariah bisa menyembuhkan segalanya, termasuk narkoba yes
tingkat pendidikan tidak mempengaruhi seseorang mengkonsumsi ganja dan napza , setiap manusia memiliki beban (tekanan) hidupnya masing-masing. Ada bukti kuat yang menyatakan bahwa ganja dapat mengurangi kelenturan otot pada manusia dengan gangguan neurologis.. CBN (Cannabinoid) salah satu senyawa dalam ganja adalah komponen non-psikoaktif ganja, yang berarti tidak memabukkan, memiliki sifat anti-inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, penenang. maka dari itu narkobalah sesuai aturan ^_^. jika ditanya kenapa agama bukan pilihan Dani, karena menurut beliau bukan rohaniah dan ‘paksaan’ yang dicari tapi support secara langsung oleh resident, teman, dan penyaluran olahraga (boxing) di Rumah Cemara yang membuatnya nyaman dan terdorong untuk sembuh dari kecanduan.
Palak eli
Boleh di coba ga ini ?
Sebaiknya jangan, karena bahan yg digunakan adalah bahan2 berbahaya utk tubuh manusia maka efek yg ditimbulkan pun tidak bisa diprediksi
Itu bubuknya pake zat 5 fluoro adb ya?
Boleh Lu Coba 5R Sehari Coba Wkwkwk
Itu bubuk sintetis warna hitam apa putih?
Apa kah ganja sintetis menggunakan bahan pewarna kimia??