Salah satu kekhawatiran yang mengemuka kalau pemanfaatan ganja untuk pengobatan diizinkan pemerintah saat ini adalah, akan makin banyak orang yang menginginkannya. Istilah ekonominya, akan terjadi peningkatan permintaan (demand) terhadap komoditas ini.
Permintaan ganja untuk tujuan pengobatan tentu saja bakal meningkat bahkan mungkin melonjak. Logikanya sederhana saja. Selama ini banyak pasien yang tidak memanfaatkan ganja untuk atasi derita akibat gangguan medis mereka. Mereka dan keluarganya takut kalau nekat pakai ganja untuk pengobatan, bakal dihukum penjara dan denda seperti yang pernah dialami Fidelis pada 2017.
Selama ini, sudah banyak pasien berbagai penyakit yang tahu kalau ganja terbukti secara ilmiah efektif atasi masalah kesehatan mereka. Banyak publikasinya yang bisa ditemukan di internet. Sudah banyak pula negara yang mengubah kebijakan ganjanya. Sayangnya selama itu pula pemanfaatannya di dalam negeri dipidanakan, membuat pasien tidak berani memilih opsi pengobatan ini.
Sebagai gambaran, Pemerintah Singapura mengizinkan seorang pasien epilepsi untuk gunakan obat berbahan ganja impor pada akhir 2019. Pertengahan 2021, pasien kedua diizinkan menggunakan obat yang sama. Dengan jumlah penduduk yang sedikit, tentu jumlah kasusnya sangat minim. Tapi jelas ada kenaikan jumlah permintaan akan pengobatan berbahan baku ganja saat izin diberikan.
Di Indonesia, sejumlah praktisi pengobatan epilepsi, Alzheimer, sklerosis ganda, autoimun dan berbagai gangguan yang sudah diteliti kalau ganja efektif atasi masalah-masalah kesehatan tersebut mungkin akan merekomendasikan kepada pasiennya obat-obatan berbahan baku tanaman ini tanpa takut adanya pemidanaan.
Diperkirakan, ada 1,5 juta pengidap epilepsi di Indonesia. Untuk Alzheimer jumlahnya 1,2 juta penduduk. Coba bayangkan sepuluh persen dari pengidap epilepsi dan Alzheimer kronis memahami manfaat ganja untuk kondisi mereka dan bersedia direkomendasikan pengobatan itu oleh profesional medis yang merawat mereka selama ini!
Dari dua jenis penyakit itu saja, akan ada 270 ribu permintaan baru terhadap ganja. Dari penyakit lain misalnya kanker. Pada 2020, terdapat hampir 400 ribu kasus baru dengan lebih dari 200 ribu kematian akibat kanker di republik ini. Ganja memang tidak terbukti menyembuhkan kanker, tapi meringankan penderitaan mereka dari efek kemoterapi.
Lalu bagaimana dengan kekhawatiran akan semakin banyaknya permintaan ganja di masyarakat untuk dipakai mabuk kalau pelarangan totalnya dicabut?
Pada 2021, BNN, BRIN, dan BPS memperkirakan terdapat lebih dari 1,5 juta penduduk Indonesia yang mengonsumsi ganja dalam setahun terakhir. Angka tersebut menunjukkan, ganja adalah narkoba (drugs atau obat dengan konotasi negatif) terbanyak yang dikonsumsi penduduk Indonesia menurut survei sejenis yang dilakukan sejak 2003.
Jumlah jutaan penduduk itu tidak bisa teridentifikasi tujuan konsumsinya dengan jelas, untuk mabuk atau pengobatankah. Tapi dari pertanyaan dalam survei, kita bisa sejajarkan posisi ganja sebagai zat untuk rekreasi seperti halnya alkohol atau MDMA (ekstasi). Contoh pertanyaannya, apa narkoba yang pertama kali dikonsumsi? Atau, jenis narkoba apa yang responden sering konsumsi pada rentang usia tertentu?
Tujuan pembuatan surveinya adalah untuk mengetahui besaran penyalahgunaan obat-obatan pada periode waktu tertentu. Istilah “penyalahgunaan” yang juga dipakai sebagai judul menjadikan survei ini mampu melampaui penggolongan-penggolongan dalam UU Narkotika, bahkan bisa digunakan untuk zat yang tidak masuk ke dalam kategori narkotika sekalipun.
Saya berikan contoh dari survei periode 2017. Pada bagian Estimasi Jumlah Penyalahguna Narkoba Menurut 20 Jenis Narkoba yang Paling Banyak Dikonsumsi, kita bisa membaca kalau obat sakit kepala (lazimnya parasetamol atau asam asetilsalisilik [aspirin]) menjadi narkoba ketiga yang paling banyak dikonsumsi setelah ganja dan sabu. Konsumennya di tahun itu lebih dari 600 ribu penduduk.
Tentu ini adalah konsumsi yang tidak jelas tujuannya, untuk pengobatan ataukah mabuk. Juga dalam hal ganja, tentu yang dihitung di sini adalah ganja yang diperoleh secara tidak resmi alias ilegal.
Pengandaian kondisi pascaresminya ganja untuk pengobatan yang krusial terletak di sini. Ketika pelarangan ganja dan narkotika lain untuk layanan kesehatan yang berlaku dalam UU Narkotika RI dicabut, maka perhitungan prevalensi konsumennya akan menggunakan data pasien yang diobati dengan obat-obatan tersebut.
Karena berdasarkan UU yang berlaku saat ini narkotika golongan satu dilarang dimanfaatkan buat layanan kesehatan, maka tentu saja adanya obat-obatan tersebut yang disita diasumsikan dimanfaatkan untuk tujuan mabuk meski boleh jadi ada juga yang memanfaatkannya sebagai obat.
Bila narkotika golongan satu seperti ganja sudah resmi dapat dimanfaatkan untuk layanan kesehatan, maka negara ini akan lebih mudah menghitung jumlah pasien yang terdaftar memanfaatkan ganja untuk keperluan pengobatan. Angka 1,5 juta konsumen ganja di tanah air sebagaimana diperkirakan BNN pada 2021 akan terpecah antara yang mengonsumsinya untuk pengobatan dan rekreasi.
Dalam keadaan seperti itu, masyarakat tidak perlu lagi kucing-kucingan dengan polisi untuk memperoleh ganja. Kewajiban konsumen untuk melapor yang diatur UU Narkotika akan dipatuhi dengan sukarela. Masyarakat akan sukarela mendaftarkan diri dan terdata untuk mendapatkan ganja yang resmi.
Besar kemungkinan akan ada antrean di klinik atau apotek resmi untuk ganja, tapi tentu saja antreannya tidak semenyeramkan antrean minyak goreng. Kalaupun nantinya banyak yang menimbun ganja demi spekulasi laba, pemerintah bisa melakukan operasi pasar, bahkan rakyat bisa saja diberikan izin untuk menanamnya. Kebijakan tersebut lazim dilakukan negara yang sudah meresmikan konsumsinya. Menanam ganja toh tak seribet tanam kelapa sawit.
Pemerintah seharusnya sudah belajar banyak dari kasus minyak goreng. Cundangnya pemerintah dari mafia jelas merugikan rakyat. Kerugiannya berkisar dari harus antre, mendapat minyak goreng oplosan, hingga kehilangan pemasukan dari pajak penjualan. Inilah yang terjadi selama lima dekade terakhir untuk kebijakan pelarangan ganja. Pemerintah terus saja dipecundangi penjahat yang produksi dan edarkan ganja. Mereka kaya raya, rakyat masuk penjara.
Saat ganja sudah resmi dikonsumsi, negara tidak perlu lagi menganggarkan pemenjaraan dan pemberantasan tanaman ini. Ladang-ladang ganja yang ditemukaan tidak perlu lagi dibumihanguskan, tapi bisa dikelola warga dan pemerintah setempat sekaligus.
Budaya jamu-jamuan warisan leluhur kita sebagaimana diyakini dan diamalkan Presiden Jokowi akan berkembang pesat. Peresmian konsumsi dan budi daya ganja akan meruntuhkan hegemoni pabrik obat Barat atas kesehatan rakyat selama ini. Kajian-kajian pemanfaatan tanaman asli Indonesia akan lebih banyak dilakukan. Ganja membuka kotak pandoranya lewat kajian untuk pengobatan penyakit kronis dan perubahan kebijakannya.
Kalau peresmian ini dilakukan sebelum pergantian presiden 2024, Jokowi akan dikenal sebagai Bapak Herbal Nasional. Legasinya adalah kemajuan kebudayaan jamu yang dinikmati para petani tanaman obat, UMKM jamu, serta konsumen jamu Nusantara. Tengok saja apa yang terjadi saat kratom resmi dikelola masyarakat dan pemda setempat sekaligus. Ia menjadi primadona komoditas ekspor yang permintaannya terus naik di mancanegara dan menghidupi ratusan ribu petaninya di tengah merosotnya harga karet.
Lonjakan permintaan ganja seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah aib atau bencana melainkan tantangan, peluang, bahkan berkah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya, toh belum ada catatan kasus kematian karena overdosis ganja. Kekhawatiran itu ada lantaran stigma yang dilekatkan selama puluhan tahun pada tanaman itu. Secara ilmiah, lebih banyak manfaat tanaman itu ketimbang mudaratnya.