close
WhatsApp Image 2022-04-21 at 5.25.40 PM
gambar ilustrasi: @abulatbunga

Ganja dan alkohol mengandung zat psikoaktif atau memabukkan. Manusia mengenal efek psikoaktif alkohol dengan cara meminumnya sejak ribuan tahun lalu. Komponen utama minuman beralkohol adalah etanol dan air hasil fermentasi ragi dan gula pada biji-bijian (gandum, beras, dsb.), buah-buahan, atau sayur-sayuran (kentang, wortel, dsb.).

Jika tanaman bahan baku alkohol seperti buah atau biji-bijian dimanfaatkan manusia untuk makanan dan obat, ganja punya satu manfaat tambahan, yakni serat untuk pakaian hingga tempat berteduh.

Jarang sekali ada tanaman yang bisa memenuhi tiga manfaat tersebut sekaligus, sehingga penamaan atau taksonomi ganja didasarkan pada hubungannya yang erat dan panjang dengan manusia. Rumpun tanaman inipun dinamai “Sativa”, sebuah kata dari bahasa Latin yang berarti dibudidayakan atau bermanfaat pada 1542 oleh botanis Jerman, Leonhart Fuchs.

Dua abad kemudian (1753), Carl Linnaeus, botanis cum Bapak Taksonomi Modern menamai genus ganja, Cannabis sativa L. Ganja yang Linnaeus namai ini banyak dibudidayakan di Eropa. Selanjutnya, Jean-Baptiste de Lamarck, seorang biolog Prancis menamai jenis ganja asal India sebagai Cannabis indica Lam. pada 1785. Lamarck mencatat, serat Cannabis indica tidak sekuat Cannabis sativa, tapi punya lebih banyak khasiat obat.

Butuh waktu dua abad bagi taksonomi modern untuk sampai pada jenis ganja yang mengandung zat psikoaktif tinggi. Para ahli juga menemui kerumitan dalam menentukan kapan tepatnya manusia mulai memanfaatkannya. Analisis terbaru untuk turunan ganja awal yang dimanfaatkan manusia lima ribuan tahun lalu di Asia Tengah menyatakan rendahnya kandungan zat psikoaktif delta-9-tetrahydrocannabinol (THC).

Saya hendak berfokus pada khasiat obat, termasuk efek psikoaktif alkohol dan ganja. Kenapa? Karena gara-gara perkara inilah muncul kebijakan pelarangan untuk keduanya.

Di Nusantara, pemanfaatan efek psikoaktif alkohol setidaknya tercatat dalam Negarakertagama (1365). Di sana disebutkan bahwa minuman beralkohol menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton seusai panen raya. Keberagaman jenis minuman beralkohol Nusantara menegaskan pemanfaatan rekreasional tersebut.

Sementara, rumpun tanaman yang masih disebut ganja atau gindji tercatat dimanfaatkan sebagai obat dalam sebuah kitab dari abad 16 di Aceh. Adapun botanis Jerman-Belanda, GE Rumphius mencatat pemanfaatan rumpun tanaman tersebut oleh masyarakat Maluku sebagai obat, bumbu masakan, dan rekreasi pada 1741. 

Baca juga:  Heroin alias Putau dan Masalahnya

Tidak seperti di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa yang pernah melarang total minuman beralkohol, di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga kini selalu ada saja produsen dan importir resmi minuman beralkohol. Ya, negara ini belum pernah melarang total minuman beralkohol yang di AS meningkatkan angka pembunuhan serta menyuburkan gangsterisme sehingga kebijakan itu dicabut setelah 13 tahun penerapannya.

Pemerintah RI sadar betul kalau selain dimanfaatkan untuk rekreasi, konsumsi alkohol berlebih dalam waktu panjang juga berdampak pada kesehatan. Belum lagi, Islam sebagai agama yang paling banyak dianut orang Indonesia mengharamkan konsumsi alkohol. Mempersulit-nyaris-melarang konsumsi alkohol telah menjadi kebijakan populer di negeri ini. Atas dasar itulah pemerintah menetapkan cukai yang kelewat tinggi atas konsumsinya.

Faktanya, konsumsi alkohol per kapita di Indonesia relatif rendah yakni 0,8 liter dibandingkan negara berpenduduk mayoritas muslim lain seperti Iran (1,0 liter), Malaysia (0,9 liter), atau Turki (2,0 liter). Penerimaan cukai dari penjualan minuman beralkohol pun sebenarnya jauh lebih kecil ketimbang dari tembakau. Pada 2020, penerimaan cukai dari tembakau senilai Rp179,83 triliun dan dari minuman beralkohol Rp5,76 triliun.

Meski konsumsinya relatif sedikit dan alkoholisme sangat jarang jadi masalah, momok pelarangan alkohol di Indonesia seperti pernah terjadi di sejumlah negara Barat pada awal abad ke-20 terus membayangi. Setidaknya sejak 2015, RUU Larangan Minuman Beralkohol sudah diusulkan dan menjadi program legislasi di DPR RI hingga hari ini.

Di sisi lain, Indonesia memberantas konsumsi ganja untuk mengikuti jejak “perang terhadap narkoba” AS pada 1971. Sepuluh tahun sebelumnya, PBB menggolongkan tanaman ini sebagai narkotika dalam sebuah kesepakatan internasional yang bercita-cita memusnahkan pemanfaatannya secara tradisional pada 1989.

Setelah lebih dari setengah abad ganja terdaftar sebagai bahan berbahaya dan tidak bermanfaat pengobatan, PBB akhirnya membenahi penempatan golongan tersebut di penghujung 2020. Saat ini, lebih dari 40 negara telah mengizinkan konsumsi ganja untuk pengobatan.  

Lantas apa yang dapat dibandingkan antara alkohol dan ganja dari sisi kesehatan?

Sebuah jurnal pengobatan yang dipublikasikan di New Zealand pada 2020 mendaftar tiga belas mudarat konsumsi etanol dibanding THC bagi kesehatan. Mudarat tersebut mulai dari gejala ketergantungan, penyebab kanker, hingga risiko kematian akibat konsumsi etanol yang tidak dimiliki THC. Publikasi berjudul “Alkohol Lebih Berbahaya ketimbang Ganja” ini hanya menyebutkan satu kekurangan konsumsi ganja, yakni kecemasan.

Baca juga:  Ketakutan Negara pada Alat Kontrasepsi

Selain membandingkan dampak kesehatan konsumsi ganja dan alkohol, publikasi tersebut memperkarakan betapa irasionalnya kebijakan narkoba di New Zealand. Negara melarang pemanfaatan ganja, sementara alkohol yang lebih banyak dampak buruk terhadap kesehatannya bisa dengan mudah diperoleh di ribuan toko minuman, restoran, dan pasar.

Walau sudah banyak kajian sejenis yang menempatkan konsumsi alkohol lebih berbahaya ketimbang ganja, saya menentang bila kemudian konsumsi alkohol dan zat lain yang telah dimanfaatkan manusia akan khasiat psikoaktifnya dilarang. Penerapan peraturan daerah yang hanya mengizinkan minuman beralkohol diperoleh di tempat-tempat mewah misalnya, malah menyuburkan industri minuman oplosan. Kelak kematian akibat konsumsinya di daerah-daerah tersebut meningkat.

Pelarangan sebuah bahan untuk dimanfaatkan baik sebagai obat maupun untuk rekreasi juga telah membuat penjara-penjara kelebihan populasi. Pemborosan anggaran untuk pemberantasannya pun tak terhitung lagi bila dikaitkan dengan hasilnya. Sebagai gambaran, ladang-ladang ganja di Indonesia seakan tak pernah habis meski operasi pembumihangusannya terus menghiasi pemberitaan media.

Saya pun menentang bila pemerintah menerapkan liberalisasi ganja seperti yang diterapkan terhadap tembakau saat ini. Liberalisasi tak ubahnya pelarangan karena mengakomodasi motif mengeruk laba sehingga mengabaikan kesehatan masyarakat. Harga tinggi tidak menjamin mutu produk maupun perlindungan kesehatan. Atas kutipan cukai yang kelewat tinggi, hanya pemodal besarlah yang mampu bertahan dalam tata niaganya. 

Negara harus menetapkan dan secara istikamah memperlakukan ganja dan alkohol sebagai bahan berkhasiat obat yang memang dibutuhkan masyarakat. Karenanya, negara wajib menjamin mutu, ketersediaan, dan pemerolehan bahan-bahan tersebut.

Negara boleh saja mengutip cukai secara proporsional dari produk bahan-bahan tersebut yang memang ditujukan untuk dan dijual di tempat-tempat rekreasi. Tapi negara juga harus menjamin ketersediaannya sebagai obat yang bisa diperoleh di gerai-gerai kesehatan dengan harga terjangkau dan mutu yang prima. Hal ini akan mencegah produksi dan peredaran gelap termasuk produk oplosan bahan-bahan ini.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (2)

Salah satu contoh kegagalan pemerintah dalam menjamin ketersediaan dan pemerolehan bahan terjadi untuk obat-obatan golongan benzodiazepin yang ditetapkan sebagai tujuan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Bahan lain yang bisa dijadikan contoh adalah minyak goreng yang saat ini masyarakat rela antre untuk mendapatkan produk ini dengan harga terjangkau dan mutu yang terjamin.

Benzodiazepin sudah dikenal masyarakat memiliki efek psikoaktif dan konsumennya kerap distigma (bahkan oleh dokter). Akibatnya, obat ini seringkali tidak tersedia di apotek resmi tapi ada saja yang menjual di pasar gelap dan internet dengan harga berkali-kali lipat. Produk palsunya pun marak.

Seharusnya argumentasi yang menyebutkan bila zat-zat psikoaktif tersedia secara resmi maka akan lebih banyak orang yang mengonsumsinya, sudah tidak digunakan lagi. Itu sudah jelas tidak terbukti.

Negara ini memiliki pengalaman akan pembuktian tersebut. Salah satunya di masa bir bisa diperoleh di rak pendingin toko-toko swalayan. Saat itu, toh tidak semua orang membeli bir. Contoh serupa lainnya adalah rokok. Meski dijual bebas, toh tidak semua orang merokok.

Ini juga berlaku untuk kekhawatiran seperti, kalau terdapat penjualan minuman beralkohol maka tingkat kriminalitas meningkat di daerah itu. Buktinya ada lebih banyak bar yang buka sepanjang malam dan tidak ada kerusuhan maupun kriminalitas di sana.

Karena itu, yang harus dikedepankan saat negara menjamin ketersediaan dan pemerolehan zat-zat psikoaktif adalah pendidikan akan konsumsinya yang bertanggung jawab beserta fakta-fakta mengenai khasiat dan dampak kesehatannya.

Khusus untuk ganja, ada baiknya bila negara mengizinkan penanamannya di pekarangan rumah. Hal ini untuk membuat ketersediaannya melimpah sehingga menekan motif mengeruk laba segelintir pemodal. Dampak yang juga diharapkan adalah saking banyak yang menanamnya, ganja menjadi tanaman liar yang tidak berharga dan kerap dicabuti karena merusak pemandangan atau menghambat pertumbuhan tanaman lain.

Hal tersebut jadi cara untuk menumbangkan para bandar narkoba ilegal meski menantang diskusi lebih jauh secara ilmiah. Ya, secara ilmiah, alih-alih berdasarkan asumsi semata.

Tags : AlkoholetanolganjaOplosanTHC
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.