close
Kebijakan

“Buaya Buwas” untuk Mental Korup Aparat Pemberantasan Narkotika Kita

buwas-siapkan-buaya-buas2

Setelah mengusulkan hukuman memakan barang bukti terpidana bandar narkotika sampai habis, Komjen Pol. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), berencana membangun penjara narkotika yang dijaga buaya. Boleh jadi pria yang karib dipanggil Buwas ini bercanda. Namun nyatanya, segera setelah menyatakan rencana tersebut, 11 November lalu Buwas mendatangi penangkaran buaya di Medan, Sumatera Utara.

Sejumlah pihak menilai rencana “Buaya Buwas” akan mengancam kemajuan upaya rehabilitasi konsumen narkotika yang gencar dilakukan Kepala BNN sebelumnya. Sebelum dipimpin Buwas, BNN mencanangkan rehabilitasi bagi 100.000 pecandu yang disebut-sebut lebih manusiawi bagi korban narkotika (sebuah istilah absurd: Mana bisa manusia jadi korban benda?) ketimbang penjara. Namun saya menilai pernyataan Buwas itu sama absurdnya dengan cita-cita “Indonesia Bebas Narkoba 2015”.

Di Mabes Polri, urusan narkotika hanyalah satu dari lima direktorat di Badan Reserse Kriminal yang ditangani seorang jenderal bintang satu. Harusnya bagi seorang jenderal bintang tiga, urusan ini bisa dikerjakan dengan mudah. Namun setelah dua bulan mengepalai BNN dan menyaksikan sendiri keadaan lapangannya, Buwas seperti kehabisan akal. Bagaimana tidak, badan yang anggarannya menembus 1 triliun rupiah sejak 2013 ini belum juga bisa mewujudkan “Indonesia Bebas Narkoba 2015” yang masa waktunya tinggal hitungan hari.

BNN memiliki kewenangan penuh dalam pencegahan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika di Indonesia sejak 2009. Tidak hanya merumuskan kebijakan, BNN juga melaksanakan pendidikan, razia, penggerebekan, hingga rehabilitasi pecandu. Di sisi lain tradisi BNN yang selalu dipimpin seorang perwira polisi membuat pendekatan hukum pidana dalam menangani narkotika terasa sangat melekat. Walaupun sebagiannya masih dilaksanakan oleh kementerian kesehatan dan sosial, namun adanya ancaman penjara bagi penyalahguna narkotika yang tidak melaksanakannya turut menjadikan rehabilitasi sebagai urusan pidana.
Baca juga:  RKUHP Ancam Program Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia

Sebelum dilantik sebagai Kepala BNN, Buwas pernah menyatakan akan menghapus ketentuan tentang rehabilitasi dalam UU Narkotika RI. Menurutnya rehabilitasi merugikan negara dua kali (CNN Indonesia 4/9/2015). Saya bisa membayangkan betapa geregetannya Pak Buwas saat mengecek kondisi lapangan di lingkup pekerjaan BNN, terutama rehabilitasi.

Sejak Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi pada 2009, ketentuan mengenai rehabilitasi dalam UU Narkotika menjadi lahan baru bagi praktik kolusi juga pemerasan oleh aparat pemberantasan narkotika di Indonesia. Melalui praktik suap dan pemerasan, seorang bandar narkotika bisa saja ditetapkan sebagai target 100.000 pecandu yang harus direhabilitasi BNN.

Ide buaya Buwas memang absurd. Boleh jadi itu cerminan kegusaran seorang petinggi reserse kriminal dalam menghadapi urusan yang di tempat sebelumnya (Mabes Polri) ditangani oleh jenderal bintang satu. Ternyata persoalan BNN lebih kompleks. Suap-menyuap dalam perkara narkotika sudah lengkap berada di tiap ranah penegakkan hukum mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga penjara. Kini ditambah rehabilitasi yang seyogyanya menjadi urusan sektor kesehatan atau sosial.

Saking kompleksnya persoalan suap-pemerasan untuk perkara narkotika, sampai-sampai seorang jenderal bintang tiga tidak mau mempercayai aparat-aparatnya dan memilih buaya serta binatang-binatang buas lain sebagai gantinya.

Dimuat Empowerment Justice Action pada 16 November 2015

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.