ICJR dan Rumah Cemara menolak keras wacana Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh untuk menghukum cambuk konsumen narkotika yang didakwa melanggar UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Ardhany Suryadarma, Manajer Program Rumah Cemara menegaskan hukuman cambuk melanggar HAM serta UU Narkotika itu sendiri.
Seperti diketahui baru-baru ini, Kepala BNNP Aceh, Brigjen Pol. Faisal Abdul Naser mengusulkan hukuman cambuk bagi terdakwa konsumen narkoba pemula. Usulan ini didasarkan pada banyaknya pecandu yang berada pada kategori usia produktif.
Hukum cambuk bagi konsumen bertentangan dengan salah satu tujuan UU Narkotika, yakni menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi orang-orang yang ketergantungan pada konsumsi narkotika alias pecandu.
“Berbeda dengan UU sebelumnya (1976 dan 1997), jaminan pengaturan rehabilitasi menjadi tujuan UU Narkotika saat ini,” terang Ardhany.
Selain menjamin pengaturan upaya rehabilitasi, UU Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan serta iptek; mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; serta memberantas peredaran gelap narkotika. Keempatnya tercantum pada Pasal 4 UU Narkotika.
Sementara itu, Erasmus Napitupulu, Direktur Program ICJR menjelaskan, Pasal 54 UU Narkotika mewajibkan pecandu menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi bagi pecandu juga dijamin Pasal 103 ayat (1) huruf a, yakni hakim yang memeriksa perkara dapat memerintahkan terdakwa menjalani pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi kendati ia terbukti melakukan tindak pidana narkotika. Masa menjalani rehabiitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman terpidana.
Saat tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika, hakim pun dapat menetapkan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi sesuai Pasal 103 ayat (1) huruf b.
Lebih jauh Erasmus menuturkan, Pasal 127 mewajibkan hakim untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai rehabilitasi di UU Narkotika ini dalam memutus perkara.
“Banyak peraturan pelaksanaan di bawah UU Narkotika termasuk aturan internal institusi penegak hukum yang secara konkret menjamin agar pecandu menjalani rehabilitasi, bukan dicambukin!” imbuhnya.
Peraturan pelaksanaan itu di antaranya Surat Edaran Bareskrim Polri yang berlaku di tingkat penyidikan lansiran 2018 mengenai petunjuk rehabilitasi bagi konsumen narkotika dan Peraturan Jaksa Agung yang berlaku di tingkat penuntutan terbitan 2015 tentang petunjuk teknis penanganan konsumen narkotika untuk masuk ke dalam lembaga rehab.
Mahkamah Agung juga merilis surat edaran pada 2010 dan 2011 mengenai penempatan konsumen narkotika di dalam lembagai rehabilitasi medis maupun sosial yang berlaku di tingkat persidangan.
Selain untuk internal institusi-institusi penegak hukum tadi, ada juga peraturan bersama yang ditandatangani Ketua MA, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Kepala BNN, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI pada 2014. Peraturan bersama ini berisi tentang penanganan konsumen narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Peraturan ini menjelaskan secara keseluruhan pelaksanaan pemberian rehabilitasi ketergantungan narkotika.
Kementerian Dalam Negeri RI pernah menyurati Gubernur Aceh perihal qanun (peraturan daerah) yang mencantumkan hukum cambuk. Beberapa substansi qanun tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi, di antaranya KUHAP, UU HAM, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, serta UU Mahkamah Agung. Cambuk bertentangan pula dengan UU Pengesahan Konvensi Anti-Penyiksaan serta UU Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Surat yang dikirimkan pada 2014 itu juga dengan tegas menyatakan, hukum cambuk bertentangan dengan perlindungan HAM yang dimuat dalam qanun itu sendiri.
Terlebih naskah perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM yang dikenal sebagai Perjanjian Helsinki mengatur, Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Provinsi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal HAM sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik serta mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
“Ada lagi yang dilanggar bila hukum cambuk diterapkan. Hak atas kesehatan yang dijamin Pasal 28H UUD 1945 juga melekat pada warga negara walaupun ia mengonsumsi narkotika,” pungkas Erasmus.
Ardhany menambahkan, Pemerintah RI tak terkecuali BNNP Aceh sepatutnya mengevaluasi kebijakan yang hampir setengah abad terakhir ini mengedepankan upaya-upaya represif dalam menegakkan hukum pidana narkotika di Indonesia. Pendekatan yang sering disebut sebagai “perang terhadap narkotika” itu telah terbukti berdampak lebih buruk bagi Indonesia, salah satunya adalah meningkatnya kematian akibat konsumsi narkotika ilegal.
Pada 2018, jaringan 174 organisasi nonpemerintah di berbagai negara melaporkan bahwa kebijakan pelarangan lewat slogan “perang terhadap narkoba” telah gagal mencapai tujuan menghapuskan peredaran gelap narkotika. Malah dalam sepuluh tahun terakhir, kematian yang berkaitan dengan narkotika meningkat 145 persen. Pemenjaraan massal pun terjadi. Secara global, 1 dari 5 narapidana dipenjara karena perkara narkotika dan kebanyakan atas kepemilikan narkotika untuk konsumsi pribadi.
“Solusi untuk masalah narkotika di Indonesia adalah reformasi kebijakan, dari yang menggunakan pendekatan hukum pidana termasuk pengenaan hukum cambuk, ke pendekatan kesehatan masyarakat,” ujar Ardhany.