Pada 6 Desember 2021 disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022. Salah satu yang ada di daftar tersebut adalah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas. DPR RI menindaklanjutinya dengan mengelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut Kamis, 31 Maret 2022.
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) di mana Rumah Cemara berada di dalamnya mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam rapat kerja kemarin. Terdapat sejumlah catatan, yaitu:
Pertama. Pendekatan dalam reformasi kebijakan narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik, dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (sains), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif).
Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overpopulasi di rutan dan lapas, tapi malah memberi solusi dengan mengganti hukuman penjara dengan rehabilitasi. Pada dasarnya rehabilitasi tersebut adalah hukuman karena bersifat wajib.
JRKN mengingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overpopulasi rutan dan lapas ke panti-panti rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat, dan pendekatan pengurangan dampak buruk.
Kedua. Konsumsi zat harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak mewajibkan rehabilitasi karena mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, dan ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat.
World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13 persen pengguna yang konsumsi zatnya bermasalah, sehingga tidak semua butuh rehabilitasi apalagi diwajibkan sebagaimana dikonsepkan Pemerintah.
Skema dekriminaliasi yang JRKN ajukan, mengatur rentang ambang batas untuk menentukan kepemilikan narkotikanya untuk konsumsi pribadi atau diperdagangkan. Dalam rentang tersebut, pengguna narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen yang berada di layanan kesehatan termasuk hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk intervensi yang tepat, tanpa ada anggota tim dari aparat penegak hukum.
Panel ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajek hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya tim asesmen terpadu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempatkan dalam sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini.
Ke depannya, BNN dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika menjadi murni menjadi domain Kementerian Kesehatan.
Ketiga. Ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang penguasaan narkotika golongan satu jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang penguasaan, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang pembelian, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan.
Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.
Keempat, aturan tentang penggolongan narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan koreksi tentang perlunya revisi aturan tentang larangan narkotika golongan satu untuk kesehatan, yang seharusnya direvisi menjadi diperbolehkan.
Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah, mengeluarkan, atau memasukkan suatu zat menjadi narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.
Kelima, pengaturan zat psikoaktif baru. Dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, pemerintah memperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan zat psikoaktif baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dengan mudah dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai narkotika. Artinya, orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.
Pengaturan tentang zat psikoaktif baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek zat-zat tersebut ditentukan sebagai narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan narkotika.
Memang masalah utama kebijakan narkotika membawa dampak overpopulasi penjara, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola narkotika yang tepat yang berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesehatan masyarakat, dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).