Badan Narkotika Nasional (BNN) mengumpulkan sejumlah stakeholders penanggulangan peredaran gelap dan konsumsi buprenorfin (buprenorphine) dengan alat suntik secara bergiliran di Bandung, Rabu (2/9). Para pemangku kepentingan tersebut antara lain organisasi-organisasi pemerintah maupun nonpemerintah, sejumlah konsumen bukson, praktisi kesehatan umum dan kedokteran jiwa, serta beberapa aktivis.
Pertemuan berjudul “Coffee Morning Penanggulangan Penyuntikan Buprenorfin” ini mendiskusikan persoalan konsumen bukson di wilayah Bandung. Salah satu masalahnya, tablet berselaput yang dirancang untuk penyerapan bawah lidah (sublingual) ini hanya bisa diresepkan dan ditebus di RS Ketergantungan Obat Jakarta. Tidak dijelaskan kenapa bukson hanya bisa diperoleh di sana yang tentu saja menyusahkan pasien yang berdomisili di Tasikmalaya, misalnya.
Padahal, Peraturan Menkes (2016) mengenai penyelenggaraan terapi buprenorfin pun tidak membatasi jumlah layanan. Bahkan, pasal 4 peraturan tersebut mendorong terapi ini dapat diselenggarakan di rumah sakit, puskesmas, dan klinik yang merupakan fasilitas rehabilitasi medis sesuai ketentuan peraturan serta perundang-undangan, sehingga tidak bisa lagi diselenggarakan di tempat-tempat praktik dokter swasta.
Sebelum menkes menerbitkan peraturan itu, buprenorfin diatur oleh Keputusan Badan POM RI No. PO.01.01.31.03660 tentang Pengaturan Khusus Penyaluran dan Penyerahan Buprenorfin yang ditetapkan pada Desember 2002. Saat itu buprenorfin masih digolongkan sebagai psikotropika golongan III, yakni psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan menurut UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Saat UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disahkan, buprenorfin masuk dalam daftar narkotika golongan III. Golongan ini merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan iptek serta memiliki potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Pada pertengahan 2010, sebenarnya kelangkaan obat ini pernah terjadi juga di Bandung. Kala itu yang jadi pangkal persoalan adalah dihentikannya impor karena lewat UU yang dilansir setahun sebelumnya, buprenorfin digolongkan sebagai narkotika. Sesuai UU, impor narkotika hanya bisa dilakukan oleh perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah mendapat izin menteri kesehatan. Importir buprenorfin berarti harus dialihkan dari perusahaan swasta ke BUMN.
Empat tahun lalu Kementerian Kesehatan RI sudah menerbitkan peraturan tentang Penyelenggaraan Terapi Buprenorfin. Importirnya saat inipun BUMN. Meski demikian, pemerintah masih setengah hati mengelola obat yang bersama metadon ditetapkan WHO sebagai perawatan yang sesuai bagi konsumen narkoba suntik untuk terapi substitusi opioid pada 2004. Buktinya, walaupun hak patennya sudah kedaluwarsa sejak 2009, pemerintah masih mengimpor obat ini alih-alih memproduksi versi generiknya.
Celakanya lagi, keputusan itu makin membuka peluang tumbuh suburnya pasar gelap bukson dengan keuntungan berlipat. Tentu saja ini berkaitan dengan maraknya penyuntikan bukson di Bandung oleh mereka yang awalnya tidak memanfaatkan obat ini untuk mengatasi ketegantungan putau alias heroin.
Fenomena yang terjadi dua-tiga tahun terakhir, buprenorfin menjadi opioid jalanan seperti halnya heroin di Bandung dan mungkin juga kota-kota lainnya. Bukson menjadi narkoba yang pertama kali dicoba karena diperoleh di jalanan sampai beberapa di antaranya menjadi ketergantungan. Padahal, obat ini memiliki izin edar resmi. Fenomena seperti ini lazim terjadi untuk obat-obatan yang ditujukan untuk mengeruk laba besar alih-alih mengatasi kesehatan masyarakat. Berbagai obat jenis benzodiazepine masuk dalam kategori ini.
Harga eceran tertinggi (HET) Suboxone® saat ini ditetapkan Rp639.194 per strip yang berisi tujuh tablet 8 mg/ 2 mg. Ini berarti, tiap tablet mengandung 8 mg buprenorfin (agonis opioid) dan 2 mg nalokson (naloxone, antagonis atau penawar opioid).
Bila mengikuti HET-nya itu, maka harga jual per butirnya Rp91.313 (Rp639.194 dibagi 7 butir). Isi tablet dalam kemasan strip itu sesuai jumlah hari dalam sepekan. Tujuh butir adalah jumlah dosis yang dapat diresepkan untuk terapi rumatan sesuai peraturan menkes. Bahkan diatur pula bagi pasien dalam kondisi khusus seperti bencana atau bepergian, peresepan buprenorfin dapat dilakukan paling banyak untuk kebutuhan satu bulan.
Dalam rapat Rabu pagi kemarin, BNN melaporkan, dua hari lalu menangkap jaringan perdagangan gelap bukson di wilayah Bandung. Informasi menunjukkan para anggota jaringan ini memanfaatkan statusnya yang sebagian merupakan pasien terapi rumatan buprenorfin di RSKO Jakarta. Dengan status itu, mereka bisa membeli bukson dengan harga normal lalu menjualnya dengan selisih sampai berkali-kali lipat.
Di Bandung, tablet ini dijual oleh sindikat perdagangan gelap hingga Rp500 ribuan per butir. Bayangkan keuntungan yang mereka dapat, hampir lima setengah kali lipat per butir!
Seperti diakui seorang konsumen bukson yang hadir dalam pertemuan, kebanyakan temannya yang juga berprofesi sebagai pengamen lebih memilih membeli tablet yang masih utuh (8 mg/ 2 mg) daripada yang sudah dipecah-pecah.
“Seringnya tablet itu dipecah sampai jadi enam belas terus dijual gocapan (Rp50.000-an),” terang lelaki berambut gimbal itu.
Dengan harga beli sampai Rp500 ribuan, banyak yang merasa sayang kalau sebutir tablet itu dikonsumsi secara sublingual atau oral. Disuntik tentu akan lebih terasa karena langsung masuk ke darah, jadi akan lebih hemat. Padahal, selain dirancang untuk penyerapan di pembuluh bawah lidah, bukson juga mengandung zat penawar opioid, yakni nalokson yang kalau disuntikkan malah bekerja maksimal mencegah opioid mengikat reseptornya di otak.
Sejumlah situs yang menyebarluaskan informasi soal dampak penyuntikan bukson menyatakan, efek penawar nalokson akan nonaktif kalau diserap secara oral. Maka, produsen obat ini menambahkan penawar atau antagonis opioid tadi supaya pasien terapi tidak menyuntikkannya yang menyebabkan efek buprenorfinnya tidak akan bekerja maksimal karena ditawar oleh nalokson tadi. Sebelumnya, importir obat ini mengedarkan tablet yang seluruh kandungannya buprenorfin, dijual dengan jenama Subutex®.
Di acara ini, para peserta diminta usulannya untuk turut menanggulangi masalah penyuntikan bukson. Meski demikian, pemerintah setempat, dalam hal ini BNN Kota Bandung, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) baik tingkat kota maupun provinsi yang juga hadir, tidak tahu berapa jumlah konsumen pasar gelap maupun angka perkiraan atau estimasi konsumen bukson di wilayah kerjanya saat ini.
Seorang peserta yang juga petugas penjangkauan sebuah ornop penanggulangan HIV-AIDS menyatakan, prevalensi HIV di kalangan konsumen bukson suntik di Bandung mencapai lima persen. Tapi saat dikonfirmasi oleh pakar kesehatan jiwa, dr. Teddy Hidayat, petugas penjangkauan itu tidak bisa menjelaskan dari mana data tersebut.
Mendekati penghujung acara, perwakilan KPA Kota Bandung menyampaikan, prevalensi HIV di kalangan konsumen bukson suntik di Kota Bandung adalah nol persen. Angka ini diperoleh dari Survei Terpadu Biologi dan Perilaku 2019 dengan jumlah responden 480 konsumen bukson.
Meski demikian, prevalensi hepatitis-C di kelompok ini mencapai 75 persen. Tingginya penularan hepatitis-C tersebut diakibatkan banyaknya konsumsi bukson menggunakan alat suntik secara bergilir. Bila kebiasaan menyuntik secara bergilir terus dibiarkan, “ledakan” penularan HIV di kalangan konsumen narkoba seperti yang terjadi pada awal 2000-an hanya tinggal menunggu waktu.
Sejumlah masukan disampaikan peserta untuk mengatasi persoalan bukson di Kota Bandung, di antaranya dengan memanfaatkan instalasi militer untuk program rehabilitasi. Usul ini disampaikan Komandan Kodim 0618 Kota Bandung yang hadir sejak awal acara.
Usulan lain adalah pembuatan taman-taman tematik untuk memberikan ruang kreatif bagi konsumen bukson. Usulan ini terinspirasi dari lomba kreativitas yang diselenggarakan Kelompok Pengamen Jalanan Bandung, 25 Agustus lalu di Taman Fitnes Kota Bandung.
Pasi Intel Kodim 0618 Kota Bandung mengusulkan kerja sama dengan dinas pendidikan untuk pencegahan konsumsi narkoba secara gelap, khususnya untuk para pelajar.
Seperti yang sudah saya sampaikan, sejak awal dipasarkan di Indonesia, buprenorfin ditujukan untuk mengeruk laba alih-alih mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Akibatnya, walaupun Menkes RI telah menerbitkan aturan penyelenggaraannya sejak 2016, otoritas kesehatan dari tingkat kementerian hingga puskesmas tidak pernah mengelola obat tersebut.
Ini kontras dengan metadon yang dikelola melalui sistem kesehatan masyarakat. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta pengawasannya melibatkan otoritas kesehatan pusat maupun daerah. Sementara sejak mendapat izin edar pada 2002, pemerolehan buprenorfin banyak berada di tempat-tempat praktik dokter swasta tanpa adanya HET dan pedoman distribusi obat yang baik.
Banyak dokter yang menjadi agen pengeruk laba penjualan narkotika yang berkhasiat untuk terapi substitusi opioid ini. Banyak di antara mereka yang menutup mata saat mengetahui pasien-pasiennya menyuntikkan buprenorfin, tablet sublingual yang mereka resepkan.
Saat UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disahkan, buprenorfin digolongkan sebagai narkotika dari yang tadinya psikotropika. Importir serta distributornya diserahkan ke Kimia Farma, sebuah BUMN. Meski demikian, motif menangguk laba tidak hilang dari penyaluran obat ini.
Kasus seorang dokter di Sidoarjo, Jatim yang punya izin resmi menyalurkan bukson bisa jadi gambaran bagaimana skema bisnis terapi substitusi opioid ini bekerja. Sejak 2012 ia sudah mengutip keuntungan Rp122.000 dari penjualan tiap butir bukson 8 mg/ 2 mg yang dijualnya Rp180.000. Pasien-pasiennya juga bisa membeli setengah maupun seperempat tablet dengan harga yang tinggal disesuaikan.
Kasusnya baru terbongkar setelah “karier” pemasaran obatnya berlangsung selama hampir empat tahun karena diadukan oleh pasiennya sendiri ke BNN Kota Surabaya. Oknum dokter ini dilatih, tersertifikasi, serta berizin menyalurkan narkotika golongan tiga itu. Tapi karena awalnya bukson di Indonesia tidak masuk ke dalam sistem kesehatan kita yang dijamin UUD 1945, melainkan masuk ke skema bisnis obat, maka yang dikedepankan adalah mengeruk laba sebesar-besarnya. Seorang dokter berizin saja bisa melakukan itu apalagi sindikat perdagangan gelap, terlepas narkotika itu resmi atau tidak.
Dalam Tata Cara Pelayanan Terapi Buprenorfin sebagai Lampiran Permenkes RI No. 47 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Terapi Buprenorfina, dijabarkan bahwa program ini disediakan mengingat tidak semua konsumen yang ketergantungan opioid mampu menghentikan konsumsi zatnya. Tujuan terapi yang bersifat abstinensia seringkali menjadi tujuan yang tidak realistis pada sebagian besar orang, bila mengingat ketergantungan narkoba adalah penyakit kronis kambuhan.
Perpindahan golongan dari psikotropika ke narkotika menuntut penyelenggaraan yang lebih ketat. Ketika masih digolongkan sebagai psikotropika, terapi buprenorfin dikelola oleh organisasi profesi. Kini setelah digolongkan sebagai narkotika, pemerintah diharuskan mengaturnya secara lebih ketat. Ini sejalan dengan usulan yang disampaikan dalam rapat Rabu lalu untuk mendorong regulasi tentang distribusi dan pengawasan bukson di Bandung.
Tapi hanya mengandalkan pengawasan yang diperketat di segala lini tanpa menghapus motif profitnya, tetap akan menyuburkan pengedar-pengedar jalanan maupun resmi yang memanfaatkan terapi rumatan buprenorfin sebagai mesin pengeruk laba. Kajian Kementerian Kesehatan RI dan WHO pada 2011 menunjukkan, karena harganya yang mahal, dosis yang diterima menjadi kurang adekuat untuk mencapai dosis terapi.
Hal tersebut membuat pasien lebih memilih menyuntikkan buprenorfin dengan alasan penghematan.
Buprenorfin yang sejatinya menjadi obat terapi rumatan secara sublingual, telah banyak disuntikkan dalam lima tahun terakhir. Sebuah survei perilaku terhadap 3.321 orang yang mengakses layanan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba di wilayah Jawa dan Bali (2010) menyatakan, zat yang paling banyak disuntikkan justru buprenorfin, diikuti putau terutama karena ketersediaannya yang kian langka.
Untuk menghindari adanya pihak yang memanfaatkan selisih harga, juga supaya harga jual menjadi lebih murah sehingga penghematan tidak lagi jadi alasan menyuntik bukson, maka BNN sudah seharusnya menyediakan program terapi rumatan bukson.
Program ini diyakini akan menghapus perdagangan gelapnya karena konsumen tentu akan memilih layanan pengobatan yang disediakan pemerintah karena harga dan kualitasnya yang terjamin, ketimbang memperolehnya di jalanan.
Terlebih, baik BNN maupun KPA bisa mendorong pemerintah pusat agar Indonesia memproduksi tablet buprenorfin dan nalokson generik. Hak paten obat ini yang dipegang perusahaan farmasi Inggris, Reckitt Benckiser sudah kedaluwarsa sejak 2009. Sejumlah negara termasuk Amerika Serikat (AS) pun mendorong produsen obat generik di negaranya untuk memproduksi buprenorfin-nalokson versi generik yang selama ini dimonopoli oleh Suboxone untuk menghasilkan sekitar 1,5 miliar dolar per tahun bagi Reckitt.
Selain bentuk tablet yang versi generiknya sudah diproduksi oleh perusahaan-perusahaan farmasi multinasional yang beroperasi di AS, India, sejumlah negara Eropa, Timur Tengah, Afrika, Australia, dan tentu saja Asia sejak 2013, buprenorfin-nalokson bentuk film versi generik juga telah diproduksi sejak 2018.
Saat bukson generik sudah diproduksi oleh BUMN kita, pasien dapat menerima dosis yang adekuat untuk terapi dengan harga terjangkau sehingga tidak perlu menyuntik untuk alasan penghematan.
Memberantas peredaran gelap bukson saat ini terlihat masuk akal karena, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, baik BNN maupun KPA belum mengetahui berapa jumlah konsumen bukson gelap di Bandung Raya. Kemudian, tidaklah sulit bagi kepolisian untuk melacak siapa saja yang terlibat perdagangan gelap bukson di Bandung berdasarkan informasi yang ditelusuri dari penangkapan jaringan dua hari lalu sebelum Rabu (2/9).
BNN beserta KPA juga harus memperhitungkan seberapa banyak konsumen yang selama ini menggunakan suntikan secara bergiliran saat mengonsumsi bukson. Prevalensi hepatitis-C yang mencapai 75 persen menunjukkan betapa rentannya mereka terhadap penularan HIV.
Karena itu, realisasi klinik terapi rumatan buprenorfin saat ini menjadi hal yang lebih urgen ketimbang pembuatan taman tematik dengan memperhitungkan perkiraan 13 ribuan konsumen narkoba suntik di Jawa Barat, yang sebagian besarnya berada di Bandung Raya. Berbagai survei pun menyatakan, saat ini buprenorfin adalah narkoba yang paling banyak disuntikkan.
Jangan pula dilupakan, peredaran putau sudah mulai marak lagi di Bandung dan sekitarnya sehingga klinik ini tentu akan banyak dibutuhkan. Mereka yang ketagihan putau sudah tidak lagi mampu beli di pasar gelap, kecuali melakukan perbuatan kriminal. Jadi selain mencegah penularan HIV dan penyuntikan bukson, klinik ini juga akan menumbangkan peredaran gelap bukson serta mencegah terjadinya lebih banyak perbuatan kriminal untuk memenuhi konsumsi narkoba ilegal.℗
3 Comments