Jika Anda seorang pengusaha dan ingin produk yang Anda pasarkan tidak hanya diketahui tapi juga dikonsumsi masyarakat luas, maka kuasailah jaringan waralaba gerai swalayan. Di Indonesia, jaringan ini mengoperasikan gerai-gerainya (lazim disebut minimarket) secara masif.
Persaingan membuat kedekatan letak dinilai sebagai peluang padahal, produk yang dijual kebanyakan sama. Kita bisa menemukan dua minimarket berbeda jaringan terletak bersebelahan. Bahkan di beberapa tempat, dua minimarket dari jaringan yang sama letaknya hanya terpaut beberapa bangunan.
Disperindag Kota Depok, Jawa Barat, misalnya, telah menetapkan kuota minimarket, yaitu 1 untuk 6.000 penduduk. Dalam praktiknya, jumlah yang beroperasi melebihi kuotanya pada 2015. Sukmajaya yang berpenduduk 271.735 (BPS, 2014) tercatat sebagai kecamatan dengan minimarket terpadat di Depok, yaitu 62 gerai. Contoh lainnya di Sleman, DI Yogyakarta. Pada Mei 2016, di kabupaten tersebut lebih dari 300 minimarket terdata beroperasi, kuotanya 130.
Kepadatan minimarket di suatu daerah tidak hanya membuat masyarakat lebih banyak memiliki pilihan, tapi juga kemudahan memperoleh sebuah produk. Celakanya, karena swalayan, pelanggan anak-anak bisa begitu saja mengambil produk yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa. Pramuniaga pun kerap tidak mengecek usia pelanggan yang sudah siap membayar belanjaannya di kasir.
Di Indonesia, pemeriksaan identitas pelanggan sangat jarang kita temui. Ini tidak hanya dilakukan pramuniaga di minimarket, tapi juga di tempat-tempat yang mensyaratkan usia seperti bioskop atau bar.
Sebelum April 2015, kita bisa membeli minuman beralkohol golongan A secara swalayan di minimarket. Bir dan minuman berkadar alkohol sampai 5% diletakkan di lemari pendingin bersama produk minuman lain. Padahal, kala itu terdapat aturan bagi minimarket (pengecer), di antaranya mengenai penempatan produk dan batas usia. Sanksi hingga pencabutan izin usaha atas pelanggarannya pun berlaku (Permendag RI No. 20/M-DAG/PER/4/2014).
Beberapa daerah membatasi dengan ketat penjualan minuman beralkohol melalui sebuah peraturan daerah (perda) yang sering dipropagandakan sebagai ‘perda antimiras (antiminuman keras)’. Isinya kebanyakan menyatakan, penjualan minuman beralkohol hanya dapat dilakukan di hotel berbintang, restoran bertanda, dan bar termasuk pub dan kelab malam untuk diminum di tempat. Sanksi pidana atas pelanggarannya dicantumkan.
Walaupun ditujukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya konsumsi minuman beralkohol, namun kasus kematian akibat meminum oplosan tetap terjadi di daerah-daerah dimana ‘perda antimiras’ diterapkan.
Di Kota Bandung, Jawa Barat, setidaknya terdapat 4 kematian akibat konsumsi oplosan yang diliput media sejak Februari 2016. Kota ini menerapkan ‘perda anti miras’ sejak 2010. Sleman pun, yang mengesahkan perda sejenis pada 2007, tidak mampu mencegah kematian warganya akibat miras. Polres Sleman melaporkan 26 korban tewas akibat keracunan miras oplosan awal Februari lalu.
Fenomena miras oplosan mengemuka di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Korban tewas akibat konsumsinya kerap menjadi judul pemberitaan. Istilah oplosan untuk minuman beralkohol sendiri sudah ada jauh sebelum itu, istilah lainnya “koktail”. Long Island dan Margarita adalah oplosan yang sangat populer dan banyak dipesan di seluruh dunia. Long Island, misalnya, merupakan campuran vodka, rum, gin, tequila, perasan jeruk nipis, serta soda.
Perbedaannya dengan yang menjadi fenomena sepuluh tahun terakhir adalah bahan-bahan koktail tersebut diperoleh secara terpisah dan diracik di hadapan atau oleh konsumennya. Sedangkan, oplosan yang kerap diberitakan merenggut nyawa, dijual sudah jadi, terkemas, produsennya tidak jelas siapa, dan harganya relatif terjangkau.
Oplosan menjadi alternatif masyarakat yang butuh minum minuman beralkohol karena peraturan daerahnya membatasi penjualan dan konsumsinya hanya di tempat-tempat kalangan berduit. Kelab malam, restoran, apalagi hotel berbintang tidaklah akrab bagi rakyat jelata. Melalui kebijakan tersebut, tanpa disadari pemerintah justru menyuguhi kalangan ini dengan metanol (bahan bakar, bukan untuk konsumsi tubuh) dan kadang racun serangga yang dioplos untuk diminum.
Isu minuman beralkohol sangat diperhitungkan di kancah politik Indonesia karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Agama Islam tegas mengharamkan konsumsi alkohol. Pembuatan ‘perda antimiras’ yang dibiayai APBN merupakan cara murah ‘merawat’ konstituen partai politik. Saat ini, lebih dari 150 daerah memiliki peraturan tentang minuman beralkohol.
Di tingkat nasional, sejak 2014, DPR RI membahas RUU tentang minuman beralkohol. Dampak kesehatan konsumsi alkohol serta kaitannya dengan perilaku tidak terpuji masyarakat menjadi alasan utama diperlukannya UU khusus. Kasus pemerkosaan anak oleh belasan orang di Bengkulu awal April lalu pun dimanfaatkan politisi pengusung RUU tersebut sebagai panggung penggalangan dukungan.
Sejak awal, Pemerintahan Jokowi tidak bisa tegas dalam urusan minuman beralkohol ini. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyangkal pernah menyatakan akan mencabut ‘perda miras’ bersama 3.000-an perda bermasalah lainnya beberapa hari lalu. Niat tersebut menuai banyak kecaman terutama dari lawan politik Tjahjo.
Seperti kita ketahui, Pemerintah RI sedang menggenjot pendapatan negara. Potensi pendapatan negara terus diburu, mulai dari cukai, kemudahan izin berinvestasi, hingga pengampunan pajak. Pemerintah meyakini bahwa salah satu penghambat penerimaan negara adalah penerapan berbagai peraturan di tingkat pusat maupun daerah.
Sebagai informasi, pendapatan cukai minuman beralkohol pada 2013 sebesar Rp4,09 triliun kemudian naik menjadi Rp5,9 triliun pada 2014. Namun pada 2015, target Rp6 triliun pendapatan cukai komoditas ini tidak tercapai. Indonesia kehilangan potensi pendapatan cukai minuman beralkohol sebesar Rp2 triliun pada 2015 (Ditjen Bea dan Cukai, 2016).
Larangan Menteri Perdagangan RI terhadap penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket yang diterbitkan Januari 2015 dituding sebagai penyebab hilangnya potensi pendapatan negara tersebut. Maka bersama 32 aturan lain di sektor perdagangan, pelarangan tersebut dideregulasi pada September 2015. Tapi karena menuai protes, Menteri Perdagangan, Thomas Lembong menyatakan rencana deregulasi tersebut batal.
Penerbitan Peraturan Mendagri pada Januari 2015 itu tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Pemerintahan yang baru terpilih tidak didukung mayoritas suara di parlemen. Saat itu, desakan masyarakat agar orang-orang partai politik tidak menduduki posisi penting di Indonesia masih sangat kuat, termasuk soal calon Kapolri. Penulis beranggapan, upaya menarik simpati masyarakat melalui kebijakan-kebijakan represif telah kebablasan.
Penolakan grasi 64 terpidana mati kasus narkotik oleh Presiden Jokowi pada akhir 2014 memperoleh banyak tanggapan positif dari masyarakat. Tak kurang dua ormas Islam terbesar di Indonesia menyatakan secara terbuka dukungannya atas keputusan itu. Tanggapan positif atas kebijakan represif inilah yang diharapkan juga terjadi untuk isu minuman beralkohol yang setali tiga uang dengan narkotik, sama-sama dianggap bisa merusak moral masyarakat.
Jika saja pemerintah mampu menindak tegas penjualan kepada anak berusia di bawah 21 tahun, penjualan secara swalayan, dan pelanggaran Permendag RI No. 20/M-DAG/PER/4/2014 lainnya, maka menteri perdagangan tidak perlu melarang minimarket untuk menjual minuman beralkohol tahun lalu. Tjahjo Kumolo atau Thomas Lembong pun tidak perlu menuai protes atas upayanya mengembalikan Rp2 triliun potensi cukai yang hilang akibat peraturan tersebut.
Dimuat di Qureta 9 Juni 2016