Joko Widodo dan pihak berwenang pemerintah lainnya membenarkan eksekusi mati dengan alasan Indonesia berada dalam "keadaan darurat" berkaitan dengan insiden penyalahgunaan narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya) dan bahwa 50 anak muda meninggal tiap harinya karena kecanduan narkoba. Presiden juga menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah akan menolak permohonan grasi apapun dari terpidana mati kejahatan narkoba, Presiden mengatakan bahwa "tiada ampun untuk kejahatan ini".
Meskipun sangat sedikit kelompok yang percaya bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo akan menghapuskan hukuman mati, eksekusi mati ini masih mengejutkan komunitas hak asasi manusia (HAM) baik di Indonesia maupun di luar negeri. Joko Widodo mulai menjabat pada Oktober 2014, saat masa kampanye dia berjanji untuk meningkatkan penghormatan terhadap HAM.
Sebaliknya, dalam beberapa minggu dia membuktikan dirinya sebagai pendukung setia hukuman mati dan mengijinkan penerapannya meski melanggar hukum dan standar internasional. Meskipun ada protes nasional dan internasional terhadap eksekusi mati di bulan Januari itu, tiga bulan kemudian, pada tanggal 29 April, delapan orang lainnya yang dipidana kejahatan narkoba juga dieksekusi.