close
FeaturedKomunitas

Citra Seniman Tukang Mabuk: Hasil Setengah Abad Lebih “Perang terhadap Narkoba”

20221113_104659
Gambar Ilustrasi: @wopwopwoy

Saat saya ditanya, album Red Hot Chili Peppers (RHCP) apa yang paling saya suka, dengan pasti saya jawab, Blood Sugar Sex Magik (1991) ketimbang misalnya Californication (1999). Susunan pemainnya sama. Bedanya, John Frusciante, sang gitaris pada 1999 baru keluar program rehab akibat ketagihan heroin. Membandingkan kedua album itu akan terasa permainan gitar John saat berada dalam pengaruh dan yang tanpa pengaruh zat psikoaktif.

Ditulis untuk Road to Intimate Workshop, Breathwork and Sound Journey, 11 November 2022

Redaksi

Meski demikian, dengan direhabnya John, RHCP tetap eksis sampai saat ini dengan formasi sama saat mereka merilis Blood Sugar Sex Magik tiga dekade lalu. Saya pun selalu menikmati penampilan-penampilan langsungnya, termasuk penampilan John. Tapi tetap, ada sesuatu dalam permainan gitar John pascarehab yang hilang.

Dari dalam negeri dengan kisah yang cukup berbeda saya akan ambil contoh Slank. Menurut saya musik Slank pasca-album Generasi Biru (1994) sudah kehilangan musikalitas yang mewakili jiwa anak-anak muda perkampungan kota.

Seperti banyak diketahui, setelah album itu, mereka semua sudah terlibat sangat dalam dengan konsumsi putau alias heroin, lalu memaksakan diri merilis album yang bisa dibilang berantakan, Minoritas (1996). Akhirnya Bongky, Indra, dan Pay meninggalkan Bimbim dan Kaka yang terus mengibarkan bendera Slank dan merekrut personel baru.

Album-album Slank dengan formasi yang sekarang, secara musikalitas menurut saya tidak bisa menandingi setidaknya tiga album awal mereka. Secara subjektif saya berpendapat, ini lantaran pra-1994, anggota grup ini bebas mengonsumsi narkoba. Sedangkan pasca-1997 mereka berusaha bermusik tanpa konsumsi narkoba.

Ada yang hilang dalam musikalitas tanpa konsumsi zat psikokatif atau narkoba bukan berarti saya bilang karya musik yang dihasilkan dan dimainkan buruk. Buktinya saya suka beberapa lagu RHCP pasca-Blood Sugar Sex Magik atau beberapa lagu Slank pasca-Generasi Biru dan tetap menyukai penampilan live keduanya.

RHCP dan Slank adalah contoh kelompok musik yang anggotanya bermasalah dengan konsumsi narkoba, sementara ada lebih banyak lagi seniman musik, baik kelompok maupun solo, yang tidak mengonsumsi narkoba dan menghasilkan karya-karya apik bahkan hingga akhir hayatnya.

Statistik dan Definisi

Menurut data kependudukan dunia, salah satunya disediakan oleh World Bank, pada 2019 terdapat 7,68 miliar manusia di bumi. Sementara, Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memperkirakan di tahun yang sama terdapat 275 juta konsumen narkoba ilegal sejagat. Ini artinya, proporsi konsumen narkoba adalan 3,58 persen dari seluruh penduduk bumi.

Baca juga:  Hukum Adat dalam RKUHP

Dari 275 juta konsumen narkoba ilegal itu, hanya sekitar 36,3 juta orang atau 13,2 persen di antaranya yang bermasalah dengan konsumsi narkobanya. UNODC mencatat, angka-angka tersebut stabil dari tahun ke tahun yang tentu saja menyesuaikan dengan pertumbuhan penduduk secara global. Mereka mencatat, prevalensi konsumsi narkoba bermasalah sebesar 0,7 persen dari seluruh penduduk berusia 15-64 tahun.

Definisi konsumsi narkoba bermasalah yang cukup awam adalah saat konsumsi narkoba seseorang, termasuk alkohol, membawanya pada isu-isu kesehatan atau persoalan di tempat kerja, sekolah, atau rumah (National Library of Medicine).

Konsumsi narkoba bermasalah juga didefinisikan, terdapat konsekuensi negatif baik secara individual maupun terhadap teman, keluarga, maupun masyarakat saat konsumsi narkoba. Contohnya, berkendara ugal-ugalan, terus minum meski sudah mabuk, menyuntik dengan peralatan bekas orang lain, atau berurusan dengan hukum termasuk mencari pertolongan ke panti rehab. 

Definisi konsumsi narkoba bermasalah atau gangguan konsumsi zat yang lebih punya pakem saintifik misalnya tercantum dalam The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-V) yang secara resmi dilansir pada 2013. Kitab ini adalah panduan diagnosis dan statistik gangguan mental, yaitu sistem klasifikasi gangguan mental yang paling luas diterima di bidang kesehatan.

DSM-V tidak lagi memakai istilah “penyalahgunaan” dan “ketergantungan” zat, melainkan mengacu pada gangguan konsumsi zat yang dikategorikan ringan, sedang, atau berat untuk mengindikasikan tingkat keparahan yang ditentukan oleh jumlah kriteria diagnosis seseorang. Gangguan konsumsi zat terjadi saat konsumsi berulang narkoba menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis dan fungsional seperti masalah kesehatan, kecacatan, dan kegagalan memenuhi tanggung jawabnya di tempat kerja, sekolah, atau rumah.

Sementara sejak 2010, Kementerian Kesehatan RI telah memakai definisi gangguan konsumsi narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagai suatu pola konsumsi yang menimbulkan komplikasi berarti secara klinis dan/ atau fungsi sosial seperti kesulitan untuk menunaikan kewajiban utama dalam pekerjaan, rumah tangga, atau sekolah, berada dalam keadaan intoksikasi (mabuk) yang dapat membahayakan fisik saat mengoperasikan mesin atau berkendara, melanggar aturan atau cekcok dengan pasangan. 

Benang merah untuk definisi konsumsi narkoba bermasalah atau orang yang mengalami gangguan konsumsi narkoba dari yang awam sampai yang saintifik baik internasional maupun nasional, yaitu mereka yang mengalami masalah kesehatan dan sosial akibat konsumsi narkobanya.

Baca juga:  Konferensi Pers : Pentingnya dukungan program Cityzens Giving terhadap anak jalanan Bandung

Kembali ke statistik. Dari 7,68 miliar populasi manusia sejagat, 275 juta atau 3,58 persen di antaranya mengonsumsi narkoba pada 2019. Di dalam negeri, persentasenya pun tak jauh berbeda. Prevalensi penduduk Indonesia yang pernah konsumsi narkoba dalam seumur hidupnya yaitu 2,40 persen, sementara yang mengonsumsinya dalam setahun terakhir, 1,80 persen pada 2019.

Ini artinya 2,40 persen orang di Indonesia pernah konsumsi narkoba dan 1,80 persen mengonsumsinya dalam setahun terakhir atau bisa dibilang rutin. Mereka bisa termasuk seniman di dalamnya, bisa juga pelajar, pekerja kantoran, dan kelompok populasi lainnya.

Untuk mempermudah, saya akan menggunakan angka nominal saja, itupun angkanya berdasarkan kira-kira. Misalnya di Indonesia terdapat 10 juta seniman. Merujuk pada prevalensi nasional 2019, berarti ada 180 ribu seniman yang mengonsumsi narkoba. Tapi meskipun 180 ribu seniman ini sebutlah rutin mengonsumsinya, mereka masih tetap produktif berkarya, tidak dimusuhi teman-temannya lantaran kerap datang latihan terlambat, atau bahkan berurusan dengan hukum dan terganggu kesehatannya.

Dari 180 ribu seniman yang mengonsumsi narkoba, lagi-lagi berdasarkan statistik global yang telah saya uraikan, hanya 13,2 persen atau 23.760 yang mengalami gangguan konsumsi narkoba seperti diimusuhi teman-temannya karena terlalu egois dan selalu datang latihan terlambat, tidak perform sebagaimana mestinya, mengalami masalah kesehatan atau keluarga, hingga berurusan dengan hukum.

Seniman yang jumlahnya 23 ribuan dibanding 10 juta inilah yang sebagian di antaranya terkespos ke publik gara-gara tertangkap polisi. Lalu lantaran saat penangkapan kasus narkoba polisi keranjingan menggelar konferensi pers, maka muncullah judul-judul berita dengan embel-embel seniman, entah aktor, musisi, dan lainnya.

Stigma Hasil “Perang terhadap Narkoba”

Bagaimanapun, karena bersifat psikoaktif, narkoba memengaruhi persepsi. Sehingga, dari 1,80 persen seniman yang rutin konsumsi narkoba, daya imajinasi sebagian di antaranya lebih terdongkrak atas konsumsi tersebut dan menghasilkan karya yang bagus. Harus diakui, ada seniman-seniman macam ini.

Fariz RM misalnya. Meski saya yakin tidak seluruh karyanya dibuatnya dalam pengaruh narkoba, tapi ada berapa ratus lagu yang ia ciptakan? Dan tentu sebagian di antaranya ia ciptakan saat dalam pengaruh narkoba.

Angky Purbandono, seniman visual yang kebetulan saya kenal, dalam Atas Nama Daun (2022) mengakui kalau konsumsi zat-zat psikoaktif membantunya menyusun konsep, proposal, dan presentasi. Tapi saat ia dipenjara gegara kepemilikan ganja pada 2013, ia berusaha membuktikan diri bisa berkarya bukan karena efek konsumsi ganja dengan membuat proyek bertajuk “Prison Art”.

Baca juga:  Semangat Membantu Sesama di Tengah Wabah Korona

Saya yakin orang-orang macam Angky, Fariz, Kaka Slank, Indra Qadarsih, atau John Frusciante tetaplah seniman yang bisa menghasilkan karya dan tampil dengan atau tanpa konsumsi narkoba. Pertanyaannya kemudian, memangnya kenapa kalau mereka konsumsi narkoba? Toh dari data statistik, hanya 13,2 persen yang bermasalah dengan konsumsi narkobanya, dan permasalahan itu cepat atau lambat akan terjadi pada kelompok ini?

Sayangnya, kelimanya masuk dalam kelompok 13,2 persen yang mengalami gangguan konsumsi narkoba. Buktinya mereka berurusan dengan hukum, masuk panti rehab, dan berusaha menghentikan konsumsi narkobanya. Kalau tidak ada masalah sosial atas konsumsi narkobanya, mereka pun tidak akan berusaha menghentikannya.

Apa yang terjadi dengan 86,8 persen konsumen narkoba yang kebetulan seniman yang, lagi-lagi berdasarkan data, tidak bermasalah dengan konsumsi zat-zat psikoaktifnya seperti alkohol, ganja, sabu, LSD, dll.? Mereka bisa tetap bekerja produktif, berinteraksi sosial dan bekerja sama, menghasilkan karya-karya monumental, bahkan akur dengan kerabat mereka sehingga tidak merasa penting untuk menghentikan konsumsi zatnya.

Keraguan, bahkan hingga pada taraf keyakinan kalau semua orang yang mengonsumsi narkoba akan bermasalah secara sosial dan kesehatan merupakan hasil dari propaganda “perang terhadap narkoba” yang telah berlangsung lebih dari setengah abad. Keyakinan itu menciptakan cap buruk alias stigma, kalau ada orang termasuk seniman yang konsumsi narkoba hidupnya bakal blangsak.

Padahal banyak tuh seniman kawakan (sayangnya dari Indonesia banyak yang masih belum mau buka suara) yang bersaksi kalau sepanjang karir berkeseniannya mereka pakai narkoba. Sebutlah Snoop Dogg, rapper yang selalu nyimeng terang-terangan, atau Mick Jagger dan Keith Richards yang sampai detik ini masih manggung bersama The Rolling Stones.

Nah, seniman-seniman yang nasibnya tak mujur lantaran tertangkap polisi bahkan mati overdosis adalah kelompok 13,2 persen yang mengalami gangguan konsumsi narkoba. Meski persentasenya kecil, tapi dipublikasi secara besar-besaran lantaran stigma dan sensasi yang diciptakan oleh propaganda “perang terhadap narkoba”. FYI, selama setengah abad terakhir, perang ini belum pernah dimenangkan.

Perang tersebut justru menyuburkan peredaran gelapnya di jalanan, menguntungkan segelintir penjahat, membuat penjara kelebihan populasi, membuat narkoba makin berbahaya karena tak ada otoritas yang awasi mutunya, dan merusak mental aparat dengan ikut-ikutan cari cuan dari kebijakan ini, mulai memeras tersangka sampai jualan narkoba.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.