Tulisan ini ditujukan sebagai bahan refleksi individu maupun organisasi atas kerja-kerja yang telah dilakukan dalam upaya penanggulangan AIDS, dan juga atas situasi yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Karena upaya-upaya yang sudah dilaksanakan ‘secara komprehensif’ dalam rangka menanggulangi AIDS ternyata belum mampu membendung laju epidemi itu sendiri. Data yang dilaporkan dari sumber-sumber resmi selalu saja menunjukkan kenaikan kasus dari tahun ke tahun.
Masyarakat dituding tidak dapat menerima upaya-upaya penanggulangan AIDS dengan menstigma pengidap HIV sebagai orang yang tidak bermoral, menolak penyediaan suntikan steril karena dianggap melegalkan narkoba, dll. Padahal, benar tidaknya tudingan tersebut boleh jadi karena sejumlah praktisi di bidang ini tidak pernah melibatkan masyarakat. Praktisi lokal pun malah mengeksklusifkan diri dengan jargon-jargon asing yang ditelan bulat-bulat tanpa melalui proses pemahaman terhadap dinamika masyarakat Indonesia.
Penggunaan istilah-istilah ini menjadi prestise bagi yang menyebutkannya dan meninggalkan si penerima pesan dengan pemahaman yang tidak mengakar pada kondisi lokalnya. Apalagi jika kemudian si penerima pesan menjadi latah dengan istilah-istilah asing tersebut.
Masyarakat di luar kelompok sasaran (konsumen narkoba suntik, pekerja seks, atau orang yang terinfeksi HIV) tidak diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan mengenai bagaimana menanggulangi permasalahan yang dihadapi di lingkungan mereka ataupun pendidikan mengenai bagaimana lebih jauh berinteraksi dengan orang-orang terdampak ataupun beresiko tertular HIV.
Tak heran misalnya, bila para pengidap HIV atau konsumen narkoba terus merasa didiskriminasi, berada dalam kelompok yang tersembunyi, dan terpinggirkan secara sosial.
Kondisi ini pun bertambah buruk seiring dengan berlalunya waktu. Ornop (organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat) semakin berada dalam “comfort zone-nya” dan melupakan peran pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga seperti ini lebih memilih untuk sibuk memberikan sedekah berupa pelayanan gratis kepada kelompok sasaran, sebanyak-banyaknya sesuai target yang ditetapkan penyandang dana.
Agar layanan-layanan ini menjadi lebih banyak, lebih luas, lebih terakses, dan disediakan oleh negara nampaknya luput dari prinsip kerja yang entah dengan cara bagaimana terdistorsi oleh privatisasi dan industrialisasi sektor kesehatan. Lembaga swadaya masyarakat tidak membangun mekanisme penanggulangan AIDS masyarakat di mana pemerintah (aparat negara) memiliki kewajiban menyediakan layanan.
Penguasaan teknologi dan pengetahuan oleh segelintir pihak membuat penanggulangan AIDS hingga kini tidak menjadi pengetahuan umum dan didialogkan secara terbuka kepada masyarakat. Belum lagi, istilah pemberdayaan masyarakat hanya menjadi sebuah hafalan yang secara fasih diucapkan tanpa benar-benar menekankan pada proses pemindahan kuasa untuk pemecahan masalah termasuk kuasa informasi dan teknologi kepada masyarakat itu sendiri.
Di titik ini, masyarakat, termasuk mereka yang terimbas, menjadi tidak memandatkan pemerintah sebagai pihak yang wajib menunaikan hak-hak warga negara (termasuk hak kesehatan – dalam hal ini pencegahan dan pengobatan HIV) untuk menanggulangi masalah tersebut. Tidak terjadi penggalangan kesadaran dan kesepakatan di masyarakat atas masalah ini sebagai bahan perubahan kebijakan serta mekanisme penanggulangan AIDS yang lebih baik di suatu wilayah hukum.
Yang terjadi kemudian, ornop berada di barisan depan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat di mana masyarakat yang diwakilinya belum tentu menyadari apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah mereka. Ornop juga berada di barisan depan dalam penyediaan layanan bagi masyarakat yang terimbas, padahal penyediaan layanan jelas-jelas merupakan kewajiban negara untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Masyarakat terlena oleh pelayanan lembaga swadayanya (padahal kebanyakan lembaga ini tidak dibentuk oleh masyarakat setempat) melalui pendekatan individual. Pemerintah terlena juga karena apa yang menjadi kewajibannya sudah ditunaikan masyarakatnya yang mampu memberikan layanan secara swadaya.
Hasilnya, layanan yang seharusnya disediakan melalui infrastruktur layanan kesehatan negara yang telah tersedia di hampir seluruh pelosok negeri, hanya dilakukan segelintir orang yang menguasai pengetahuan dan teknologi penanggulangan HIV. Bagaimana kita bisa menangani persoalan HIV yang demikian seriusnya dengan hanya mengandalkan segelintir pihak yang berusaha terus menguasai teknologi dan pengetahuan tanpa mengalihkan kuasa kepada masyarakat untuk turut menangani masalah di lingkungannya, utamanya dengan menagih tanggung jawab negara?
Tak heran jika selama dua dekade sejak kasus pertama di temukan, penyebaran HIV tidak dapat terbendung walaupun puskesmas sebagai ujung tombak sistem kesehatan masyarakat tersedia di hampir seluruh pelosok negeri.