close
FeaturedTajuk

Film Indonesia Masih Jadi Alat Propaganda “Perang terhadap Narkoba”

hari filem rc
Ilustrasi: @abulatbunga

Sepuluh hari lalu, kita memperingati Hari Film Nasional. Tanggal peringatan tersebut dipilih lantaran 30 Maret 71 tahun silam merupakan hari pertama pengambilan gambar atau syuting film Darah dan Doa besutan sutradara Usmar Ismail.

Sebagai bangsa Indonesia, kita wajib berbangga hati karena negeri ini memiliki banyak seniman hebat. Ada pelukis, perupa, pemusik, penari, sastrawan, atau sineas, yang performa maupun karya-karyanya diperhitungkan. Sebagian malah menyabet penghargaan bertaraf internasional.

Dalam lima tahun terakhir saja sejumlah karya anak negeri menuai berbagai penghargaan di kancah perfilman bergengsi. Sebut saja Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah (2019) yang tayang perdana di Festival Film Locarno, Swiss dan menyabet kategori penghargaan Special Mentions. Film lainnya, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Di film itu, Marsha Timothy meraih penghargaan Aktris Terbaik di Festival Film Sitges, Spanyol.

Tentu kita juga ingat Kucumbu Tubuh Indahku (2018) yang dinobatkan sebagai Film Terbaik di Festival Des 3 Continents, Prancis. Film ini mengangkat kehidupan seorang penari tradisional dengan orientasi homoseksual.

Di dalam negeri, film itu jadi kontroversi tersendiri. Tapi di Asia Pacific Screen Awards 2018, film besutan Garin Nugroho ini mendapat penghargaan Cultural Diversity Award. Garin menangkap fakta bahwa di Nusantara, orang-orang yang orientasi seksnya ke sesama jenis memang sudah ada sejak dulu, bukan pengaruh budaya Barat sebagaimana digembar-gemborkan sebagian pihak.

Apabila sebuah bangsa ingin jujur akan sejarah dan budayanya, film bisa jadi medium untuk menggambarkan kebenaran itu. Kebenaran sejarah seberapa pun pahit dan memalukannya, perlu diungkap supaya masyarakat memahami yang sebenarnya terjadi. Ini penting demi memperkaya khazanah agar anak bangsa bisa saling menghargai perbedaan, saling memaafkan, serta memupuk solidaritas untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Film Indonesia yang pascareformasi banyak digugat dan dibuat tandingannya adalah Pengkhianatan G30S/ PKI (1984). Film arahan Arifin C. Noer itu dianggap sebagai propaganda rezim Orde Baru untuk menstigma Partai Komunis Indonesia dan komunisme secara umum.

Baca juga:  Disuguhi Permainan Seru, Dubes RI Beri Sambutan di Homeless World Cup 2017

Tentu saja, sebagai propaganda pemerintah kala itu, film ini menjadikan Mayjen daripada Soeharto sebagai pahlawannya dengan membuat sakti Pancasila untuk membungkam lawan-lawannya. Bukan hanya komunisme, tapi siapapun yang berseberangan dengan The Smiling General itu.

Fakta yang baru saya ketahui dan membuat saya geleng-geleng kepala sendiri, awalnya film itu berjudul Sejarah Orde Baru. Kalau saja tidak berubah nama, tentu saja Presiden daripada Soeharto sudah jadi pahlawan sejak dalam judul!

Tidak hanya Indonesia, Amerika Serikat (AS) pun, sebagai kiblat perfilman dunia, melakukan propaganda menggunakan medium film. Salah satunya Reefer Madness (1936) yang menceritakan tentang keburukan konsumsi ganja di negara Paman Sam itu. Latar dan plotnya adalah anak-anak SMA di sana yang terpikat mencoba ganja lalu mengalami kecelakaan tabrak lari, pembunuhan, bunuh diri, percobaan pemerkosaan, dan kegilaan karena ketagihan ganja.

Antara 1936-1938, Tell Your Children (judul sebelum Reefer Madness) dibiayai dan dibuat oleh sebuah kelompok gereja yang ingin menunjukkan kepada para orang tua di AS sebuah kisah moral yang mengajari mereka tentang bahaya konsumsi ganja.

Lebih dari 30 tahun kemudian, Keith Stroup, pendiri NORML, sebuah organisasi yang memperjuangkan agar konsumsi ganja yang bertanggung jawab disahkan, menemukan salinan film itu di arsip Perpustakaan Kongres. NORML lalu menayangkan dan mendiskusikan film tersebut di kampus-kampus yang ada di California. Itu dilakukan sebagai upaya penggalangan dana mendukung California Marijuana Initiative, sebuah kelompok politik yang berupaya melegalkan ganja dalam pemilihan musim gugur 1972.

Reefer Madness dibangkitkan kembali pada 1970-an untuk menjadi bahan olok-olok para pendukung reformasi kebijakan ganja. Banyak kritikus menyebutnya sebagai salah satu film terburuk yang pernah dibuat.

Baca juga:  Kami Juga Manusia: Cerita Pengidap HIV yang Didiskriminasi

Sebagaimana Hollywood pernah menjadikan film sebagai medium agitasi dan propaganda rezim yang berkuasa di AS, Indonesia pun pernah melakukannya. Tapi sebagai sineas, alangkah pandirnya kalau karyanya sebatas menjadi alat untuk melanggengkan kebohongan alih-alih membuka mata masyarakat akan sebuah kebenaran.

Bagaimanapun, kebenaran itu akan menjadi bahan pembelajaran dan rekonsiliasi bangsa agar lebih kuat menghadapi tantangan kebudayaan di masa yang akan datang.

Saat ini, Hollywood nampaknya telah insaf dari kepandiran tersebut. Untuk tema narkoba misalnya, ada satu film yang diangkat dari buku berjudul sama, Kill the Messenger (2014). Film itu mengisahkan seorang wartawan investigasi yang mengungkap keterlibatan CIA (intelijen AS) dalam mendanai pemberontakan Contras di Nikaragua agar rezim komunis yang berkuasa di sana runtuh. Caranya, dengan mengimpor kokain secara besar-besaran ke Los Angeles, California, dan sekitarnya lalu hasil penjualannya dibelikan senjata untuk dipasok ke para pemberontak di Nikaragua.

Dengan latar yang sama, yakni pemberontakan Contras, American Made (2017) mengisahkan pilot pesawat jet komersial (dibintangi Tom Cruise) yang menyelundupkan kokain dalam jumlah besar ke AS. Di film arahan Doug Liman itu juga digambarkan persekongkolan CIA dengan sejumlah kroninya di kawasan selatan, di antaranya Jenderal Noriega di Panama dan Kartel Medellin pimpinan Pablo Escobar di Colombia, untuk melancarkan penyelundupan kokain yang hasil penjualannya digunakan untuk mendanai pemberontakan Contras di Nikaragua.

Bagaimana di tanah air?

Dengan banyaknya sineas berbakat di tanah air, sangat disayangkan jika hingga 71 tahun peringatan Hari Film Nasional, sejauh yang saya tahu, belum pernah ada film Indonesia bertema narkoba yang kisahnya berdasarkan bukti-bukti ilmiah seputar komoditas itu. Kalaupun ada, itu berupa film indie untuk pendidikan atau dokumenter.

Film-film bertema narkoba yang ada didominasi stigma terhadap konsumen, kehancuran hidup pecandu, pelajaran moral yang dipaksakan tentang bahaya konsumsinya, dan pesan-pesan lain yang sejalan dengan kampanye dunia bebas narkoba. Bingkai kebijakan yang dipakai tentu saja “perang terhadap narkoba”, sebuah kebijakan punitif cum represif yang dikumandangkan setengah abad lalu dengan anggaran yang terus ditingkatkan tiap tahunnya biarpun cita-cita dunia bebas narkoba selalu direvisi tenggatnya, mulai dari 1999, 2009, hingga yang terakhir 2019.

Baca juga:  Pentingnya Peraturan Anti-Diskriminasi bagi Kelompok Rentan

Film begitu efektif mendidik masyarakat mengenai apapun, termasuk kebohongan sejarah yang bahkan bisa menjadi keyakinan sebagian masyarakat selama puluhan tahun. Ini ditunjukkan lewat pemutaran Pengkhianatan G30S/ PKI tiap 30 September malam di televisi nasional selama bertahun-tahun. Apalagi film tersebut dibuat dengan melibatkan sutradara dan pemeran-pemeran yang memang berintegritas dalam menjiwai naskah hingga menjadi sebuah media penyampaian pesan audio-visual yang efektif.

Di Hari Film Nasional ke-71 dan peringatan 100 tahun Usmar Ismail, saya berharap mulai ada yang menggarap film bertema narkoba serta tema-tema lain yang fakta sejarahnya di Indonesia rentan diselewengkan. Tentu naskahnya berdasarkan literatur-literatur yang sudah terbukti secara ilmiah. Misalnya tentang penjualan candu yang dikelola Bung Hatta di masa revolusi kemerdekaan untuk membiayai perlengkapan tentara Indonesia sebagaimana yang dilaporkan Julianto Ibrahim dalam Opium dan Revolusi (2013).

Atau film tentang sindikat perdagangan sabu-sabu dan ekstasi yang beroperasi dari dalam penjara di Pulau Nusakambangan sana yang ternyata juga dibekingi oleh pejabat militer seperti yang diungkap Haris Azhar pascaeksekusi mati Freddy Budiman, terpidana impor 1,4 juta butir ekstasi yang divonis PN Jakarta Barat pada 2012.  

Jika ada karya macam itu, apalagi yang jenisnya biasa diputar di jaringan bioskop besar alias diproduksi dan didistribusikan oleh major label, maka dua jempol tentu kurang untuk mengapresiasinya!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.