Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 telah meningkatkan upaya-upaya Indonesia dalam pencegahan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba (P4GN) sejak 1997. Selain meningkatkan hukuman melalui pengesahan UU baru, Indonesia juga membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menerapkan P4GN secara maksimal.
Pencegahan penyalahgunaan ditujukan untuk mengatasi konsumsi atau permintaan (demand) narkoba di dalam negeri, sedangkan pemberantasan peredaran ditujukan untuk mengatasi pasokan dan produksinya (supply). Ini merupakan strategi global yang disepakati pada tahun 1988. Dengan demikian, diharapkan tidak terdapat lagi pasokan maupun permintaan narkoba di dunia.
PBB mencita-citakan “dunia bebas narkoba” pada tahun 2008 yang kemudian tenggat waktunya diundur menjadi 2019. Indonesia bersama ASEAN menetapkan cita-cita serupa terwujud pada 2015.
Dalam hal penerapan, Indonesia berkali-kali lamban dalam merespon perkembangan kebijakan narkoba global. Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika Tahun 1961 di mana Indonesia hadir pada konferensi tapi tidak turut menandatanginya, diratifikasi pada 1976, 15 tahun pascaperumusannya; Konvensi PBB tentang Psikotropika Tahun 1971 diratifikasi 25 tahun kemudian (1996); Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 diratifikasi 9 tahun kemudian (1997).
Kelambanan tersebut juga tercermin dalam pengesahan revisi UU Narkotika pada tahun 2009 yang diusulkan pada 2002. Kala itu kebijakan narkoba di banyak negara telah mengarah ke perlindungan kesehatan masyarakat hingga dekriminalisasi.
Dekriminalisasi dan Indonesia Bebas Narkoba 2015
Hingga 2009, sejumlah negara di Benua Eropa dan Amerika telah mendekriminalkan konsumsi dan kepemilikan pribadi narkoba. Bahkan, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, penggagas “perang terhadap narkoba”, telah meloloskan peraturan kepemilikan dan konsumsi pribadi ganja. Sementara, Indonesia pada tahun 2009 justru meningkatkan hukuman pidana bagi kepemilikan narkoba.
Revisi UU Narkotika dan Psikotropika 1997 sebenarnya dilandasi oleh keprihatinan akan ancaman kesehatan masyarakat khususnya penyebaran HIV di kalangan konsumen narkoba sebagaimana diamanatkan TAP MPR No. VI/MPR/2002. Panitia khusus revisi pun dibentuk di Komisi IX DPR RI yang menangani kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
Namun setelah pengesahan UU baru pada 2009, narkoba menjadi urusan Komisi III DPR RI yang menangani pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum.
Dengan jutaan konsumen dan pasokan, terutama narkoba sintetis seperti shabu dan ekstasi yang marak saat ini, cita-cita “Indonesia Bebas Narkoba 2015” dipastikan kandas. Slogan “Indonesia Darurat Narkoba” yang digembar-gemborkan pemerintah dan sejumlah media massa sejak awal 2015 tidak pula mengubah kondisi tersebut.
Pimpinan-pimpinan negeri ini seolah tidak belajar bahwa pemberantasan narkoba yang telah berlangsung puluhan tahun tidak mampu menyurutkan permintaan maupun pasokannya.
Akhir Oktober lalu 38 Ketua DPRD se-Indonesia bersama Kepala BNN mendeklarasikan “perang terhadap narkoba” demi cita-cita “Indonesia bebas narkoba” di Surabaya. Padalah selama ini pemberantasan dan perang justru menyuburkan praktik jual beli pasal, pemerasan, dan penyuapan penegak hukum sehingga sindikat niaga narkoba dapat leluasa beroperasi bahkan saat berada di balik jeruji.
“Perang terhadap narkoba” sejak awal memang ditujukan sebagai kampanye politik. Presiden AS, Richard Nixon, yang pertama kali mengumandangkan istilah tersebut pada 1971, menjadikannya sebagai alat untuk meraih simpati publik dan peningkatan anggaran militer setelah kekalahan Perang Vietnam. Pelarangan dan pemberantasan juga membuat keuntungan bisnis narkoba mampu membiayai operasi-operasi militer dengan persenjataannya.
Sebagian pembiayaan Revolusi Kemerdekaan Indonesia berasal dari penjualan candu di Daerah Republik dan Pendudukan serta penyelundupannya ke Singapura.
Di tengah semakin banyaknya negara yang mendekriminalkan, pemberantasan justru menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi produksi dan peredaran gelap narkoba. Pelarangan menjaga komoditas yang dikonsumsi oleh sekitar 4,2 juta penduduk Indonesia tetap memberikan keuntungan besar bagi para pemodalnya.
Paket-paket kebijakan dekriminalisasi ganja di sejumlah negara misalnya, telah menjatuhkan keuntungan sindikat ganja di negara-negara tersebut karena penanamannya secara perorangan atau kolektif diperbolehkan. Sindikat di sana secara logis akan mencari tempat-tempat dimana kepemilikan tanaman ganja sama sekali dilarang agar tetap menghasilkan keuntungan besar melalui peredarannya di pasar gelap. Salah satu tempat itu adalah Indonesia.
Hubungan antara sindikat narkoba dan pemimpin yang anti narkoba adalah saling menguntungkan. Pemimpin yang anti narkoba berkampanye untuk mendapat simpati publik; dan dengan kebijakan pelarangan yang diterapkannya, sindikat mendapat pasar yang dikuasainya secara penuh.
Upaya P4GN telah mengabaikan hukum ekonomi permintaan dan pasokan itu sendiri, bahwa keduanya tidak dapat dimusnahkan karena pasar akan selalu menemukan keseimbangannya pada harga tertentu. “Perang terhadap narkoba” selama hampir setengah abad telah membuktikannya.
Kesepakatan Baru PBB untuk Narkoba
Bukti-bukti bahwa “perang terhadap narkoba” justru semakin memperburuk keadaan telah membuat semakin banyak negara mendekriminalkan konsumsi dan kepemilikan pribadi narkoba. Tuntutan untuk mereformasi kebijakan narkoba global disuarakan berbagai negara yang makin menyadari bahwa pelarangan hanya memelihara status quo kartel dan kelompok-kelompok paramiliter.
Atas permintaan Meksiko, Guatemala, dan Kolombia, Sidang Umum PBB pada Desember 2012 memutuskan pengajuan jadwal sesi khusus (UNGASS) untuk narkoba yang ketiga pada April 2016. UNGASS ditujukan untuk menarik perhatian dunia terhadap isu tertentu seperti narkoba dan AIDS, mencipakan momentum politik, dan memperluas dukungan untuk sebuah perubahan cara komunitas internasional menangani sebuah persoalan global.
UNGASS untuk narkoba terakhir kali digelar pada 1998 yang merupakan kompromi antara negara-negara yang terdampak dengan yang melakukan ekspansi “perang terhadap narkoba”. Hasil UNGASS kedua itu di antaranya mewujudkan dunia bebas narkoba dalam sepuluh tahun sambil tetap memperhatikan pendekatan berimbang serta berbagi tanggung jawab di antara negara produsen dan konsumen narkoba.
Walaupun demikian, meningkatnya ketidakpuasan terhadap pendekatan pidana narkoba yang disepakati PBB telah mengakibatkan ‘penyeberangan’ negara-negara penanda tangan. Bukannya keluar dari kesepakatan, negara-negara tersebut melakukan penyimpangan norma pelarangan dan memanfaatkan ‘pasal-pasal karet’ kesepakatan atau konvensi tersebut walaupun secara teknis masih menjadi acuan hukum di negaranya masing-masing.
Dekriminalisasi kepemilikan dan konsumsi pribadi adalah pelanggaran konvensi PBB untuk narkoba golongan 1 yang dilarang selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan medis.
Pada tahun 2011 Bolivia menarik diri dari Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961 lantaran proposalnya untuk menghapus pengunyahan daun koka dari konvensi itu ditolak 18 negara anggota termasuk AS, Jerman, dan Belanda. Bolivia kembali bergabung pada 2013 setelah “pengunyahan koka” masuk dalam ranah kebudayaan yang juga menjadi urusan PBB, UNESCO.
Di tahun yang sama, 2013, Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang pemerintahannya mengendalikan pasar ganja dalam negeri. Ganja dapat dimiliki dan ditanam oleh penduduk Uruguay berusia di atas 18 tahun maksimal 40 gram per bulan per orang tanpa rekomendasi medis.
Negara-negara yang terdampak serta meragukan perang terhadap narkoba, ditambah pengalaman mendekriminalkan narkoba, akan berhadapan dengan rezim pemidanaan yang masih dianut negara-negara Asia termasuk Indonesia pada UNGASS untuk narkoba 2016 nanti. Ada yang optimis bahwa sesi khusus tersebut akan mengubah pendekatan kebijakan narkoba dunia, namun banyak juga yang pesimis bahwa sebagian besar negara akan menghindari perdebatan terbuka mengenai dampak-dampak yang lebih merugikan dari perang dan pemidanaan narkoba.
Peta Reformasi Kebijakan Narkoba Indonesia
Di kawasan Asia, pemidanaan termasuk rehabilitasi dengan ancaman masih diandalkan untuk mengatasi persoalan narkoba. Dengan P4GN-nya, Indonesia setiap tahun menjerat rata-rata 34 ribu tersangka kasus narkoba dan gagal mencegah pertambahan jumlah konsumen. Ancaman pidana terus dimanfaatkan politisi untuk citra religius, aparat korup, dan sindikat narkoba untuk mengeruk laba.
Saat ini narkoba, terutama narkoba sintetis, jauh lebih tersedia hingga ke desa-desa di Indonesia. Alih-alih mengusulkan perubahan global, aktivis pembaruan kebijakan narkoba di tanah air masih harus berjibaku dengan persoalan di negeri sendiri.
Pemidanaan atau penghapusan pidana (dekriminalisasi) adalah pilihan untuk kebijakan narkoba global saat ini. Boleh jadi, akan memakan waktu lama agar dekriminalisasi bisa diterapkan Indonesia seperti halnya penerapan konvensi-konvensi PBB sebelumnya. Selama masa tersebut, sejumlah hal dapat dilakukan untuk mendukung terjadinya perubahan terutama di dalam negeri.
Sindikat narkoba di Indonesia memang tidak sebrutal di Amerika. Meskipun demikian, pola kegagalan “perang terhadap narkoba” yang sama juga terjadi: Anggaran P4GN meningkat beriringan dengan jumlah tersangka kasus narkoba, bukan berbanding terbalik. Ini belum termasuk meningkatnya kekerasan dalam proses hukum dan rehabilitasi, suap dan pemerasan, penularan penyakit, keterlibatan anak-anak, serta dampak sosial ekonomi lainnya.
Fakta mengenai penularan penyakit terkait narkoba pernah dikemukakan ke hadapan anggota-anggota DPR RI periode 2004-2009. Hasilnya adalah peningkatan hukuman melalui pengesahan UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Eksekusi mati terpidana kasus narkoba mendapat sambutan positif dari ormas-ormas terkemuka di Indonesia. Ironisnya, pasca eksekusi tersebut sejumlah terpidana masih mengendalikan niaga narkoba dari dalam penjara.
Di detik-detik terakhir tenggat waktu “Indonesia Bebas Narkoba 2015”, sejumlah pimpinan DPRD bersama Kepala BNN mendeklarasikan “perang terhadap narkoba”.
Paradigma elite dan masyarakat pada umumnya adalah tantangan reformasi kebijakan narkoba di tanah air. Walaupun persoalannya hanya dialami oleh kurang dari dua persen penduduk, namun konsumsi narkoba dikemas hingga seolah-olah menjadi ancaman nyata bagi seluruh Warga Negara Indonesia.
Media massa masih menjadikan narkoba sebagai berita kriminal yang mampu menyedot pemasang iklan dan perhatian publik atas sensasi ancaman tersebut. Efeknya terhadap sikap masyarakat untuk menjauhi narkoba hingga saat ini tidak terbukti. Tuntutan maupun usulan perubahan kebijakan dari masyarakat belum muncul di media-media lokal dan nasional. Liputan mengenai hal tersebut justru berasal dari negara-negara yang saat ini mendekriminalkan narkoba. Itupun sangat terbatas.
Tugas-tugas mengubah paradigma memang tidak semata-mata bertumpu pada media massa. Cara-cara pendidikan yang merakyat, populer, serta menyentuh sanubari perlu dijajaki dan diterapkan dengan memanfaatkan berbagai media.
Hasil-hasil kajian merupakan potensi untuk perubahan paradigma mengenai narkoba. Sayangnya kajian-kajian tentang khasiat dan kerugian perang terhadap narkoba di Indonesia masih sangat sedikit. Hingga kini, literatur narkoba di Indonesia masih sarat dengan rekomendasi bahwa pemidanaan dan berpantang dari narkoba sebagai cara terbaik mengatasi persoalan.
Secara hukum, narkotika golongan 1 dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, namun hendaknya ranah ini tidak diisi oleh kajian-kajian farmakologis semata. Keterlibatan berbagai institusi penelitian dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu dibutuhkan untuk menghasilkan produk-produk pengetahuan alternatif mengenai narkoba yang masih dikooptasi rezim pemidanaan. Selain kajian di dalam negeri, pengalaman dekriminalisasi narkoba berbagai negara dapat dijadikan pelajaran oleh bangsa ini.
Uraian-uraian di atas setidaknya memetakan empat ranah perjuangan reformasi kebijakan narkoba nasional. Pertama adalah ranah penerapan “perang terhadap narkoba”. Kezaliman dan kerugian perang harus diungkap dan diketahui khalayak: jual beli pasal, kekerasan di panti-panti rehabilitasi, penyelewengan anggaran, penyuapan, peredaran narkoba di penjara, ketersediaan narkoba yang makin meluas, pelanggaran HAM, dll.
Kedua adalah ranah ilmu pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan baru mengenai narkoba dalam konteks Indonesia perlu dihasilkan melalui berbagai kajian. Tidak hanya farmakologis, namun juga bidang-bidang pengetahuan lain yang berkaitan dengan narkoba seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Ranah ketiga adalah media. Ranah ini termasuk media-media alternatif dan pesan yang lebih populer dan mengena untuk mengubah paradigma yang didasari hasil-hasil dari dua ranah sebelumnya.
Keempat adalah ranah internasional. Di ranah ini dapat diupayakan pembelajaran dari negara-negara yang kebijakan narkobanya lebih progresif untuk diterapkan Indonesia di kemudian hari. Selain itu, forum-forum internasional dapat dijadikan media untuk menyuarakan argumentasi dan tuntutan reformasi kebijakan narkoba nasional.
Daftar Pustaka
Bewley-Taylor, David. “The Contemporary International Drug Control System: A History of the UNGASS Decade.” In Governing the Global Drug War, LSE Special Report SR014, edited by John Collins and Nicholas Kitchen. London: LSE IDEAS, London School of Economics and Political Sciences, 2012
Felbab-Brown, Vanda dan Harold Trinkunas. UNGGASS 2016 in Comparative Perspective: Improving the Prospects for Success. Washington DC: Brookings Institution, 2015
Handoyo, Patri. War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia. Bandung: Rumah Cemara & SvaTantra, 2014
Handoyo, Patri dan Riki Febrian, Andika Wirawan, Raditya Tisnawinata, Ardhany Suryadharma. Membidik Gelombang Kedua Bencana Penularan Virus Darah dari Konsumen Narkoba di Indonesia. Bandung: Rumah Cemara & Alliance, 2015
Ibrahim, Julianto. Opium dan Revolusi: Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Jelsma, Martin. UNGASS 2016: Prospects for Treaty Reform and UN System-Wide Cohenrence on Drug Policy. Amsterdam: Transnational Institute, 2015
Rosmarin, Ari dan Niamh Eastwood. A Quiet Revolution: Drug Decriminalisation Policies in Practice Across The Globe. London: RELEASE, 2011
UN Office on Drugs and Crime Regional Centre for East Asia and the Pacific. Drug-Free ASEAN 2015: Status and Recommendations. Publication No. 01/2008
Pemberitaan:
Amaludin 31 Oktober 2015. BNN dan 38 DPRD Deklarasi Indonesia Bebas Narkoba. MetroTVNews.com, http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/10/31/186230/bnn-dan-38-dprd-deklarasi-indonesia-bebas-narkoba
Holmes, Catesby 13 Desember 2013. Marijuana Reform Advocates Make History in Uruguay. Open Society Foundations, https://www.opensocietyfoundations.org/voices/marijuana-reform-advocates-make-history-uruguay
Dimuat NAPZAIndonesia.com 8 Januari 2016