Bandung, Media & Data RC – Dua juta pengidap hepatitis C di Indonesia (estimasi Kemkes RI, 2012) kini memiliki harapan yang lebih realistis untuk bisa sembuh dari virus yang menyerang fungsi hati ini. Pasalnya, 1 Juli lalu, BPOM RI telah menerbitkan izin edar Sofosbuvir, nama generik obat hepatitis C yang tingkat keberhasilan terapinya mencapai 99%. Selain itu, efek samping Sofosbuvir juga jauh lebih kecil dibanding pengobatan generasi sebelumnya.
Hal tersebut dipaparkan Indra Simorangkir, ketua panitia diskusi mengenai pengobatan mutakhir hepatitis C di Sekretariat Kabarkampus.com, Bandung (21/7).
Harapan pasien menjadi lebih realistis karena tahun lalu Sofosbuvir telah diproduksi secara generik sehingga harganya jauh lebih murah. Sebelumnya, versi paten obat ini dijual 1.000 dolar per butir setelah mendapat izin edar dari FDA pada 2013. Versi generik yang diproduksi India membuat pasien yang tadinya harus membayar 84.000 dolar untuk 12 minggu terapi, menjadi hanya 840 dolar. Jika dikonversi, dari sekitar Rp1,09 miliar menjadi Rp10,92 juta.
Biaya 840 dolar itu karena Sofosbuvir dibeli di India. Pembelian obat tersebut di Indonesia dikoordinir oleh sebuah kelompok yang menamakan diri “Buyer’s Club”. Harga jual di India adalah 5 dolar per butir atau sekitar Rp5,46 juta untuk 12 minggu pengobatan.
Menanggapi keberadaan kelompok “Buyer’s Club” ini, dr. Ronald Jonathan, narasumber diskusi dari RSU Bungsu menilainya sebagai hal yang positif. “Ini sebuah batu loncatan dalam pengadaan obat di dalam negeri. Biasanya yang mengimpor itu pemerintah bukan civil society,” jelasnya.
Sementara itu Hartanto (40), pasien terapi Sofosbuvir yang juga menjadi narasumber diskusi mengungkapkan, dalam memperoleh obat tersebut, ia berhubungan langsung dengan “Buyer’s Club” bukan tenaga farmasi di apotek. “Setelah mendapat resep dokter, saya memesan Sofosbuvir ke Buyer’s Club ini,” terang Hartanto.
Mekanisme pembelian obat yang tidak melalui institusi kesehatan ini tentu membuat Sofosbuvir tidak dapat ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, terdapat jutaan pengidap hepatitis C di Indonesia yang nyawanya bisa diselamatkan jika terapi berbiaya belasan juta rupiah tersebut dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Diskusi yang dihadiri sejumlah wartawan ini juga menghadirkan narasumber lain, yaitu Neneng Tuti S, S.Si., M.MRS (laboratorium klinik Pramita), dan Indra Simorangkir (Rumah Cemara). Diskusi ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menjelang Hari Hepatitis Sedunia yang diperingati pada 28 Juli setiap tahunnya.