close
Jeff Smith
Ilustrasi: @abulatbunga

Jeff Smith, aktor di film 4 Mantan (2020), Zeta (2019), Alas Pati: Hutan Mati (2018) dan sejumlah sinetron tanah air, ditangkap polisi atas kepemilikan ganja Kamis, 15 April lalu di rumahnya. Barang bukti yang disita, 0,52 gram ganja dalam bungkus plastik berklip. Ganja seberat itu kira-kira kalau dilinting jadi satu batang menggunakan papir berukuran panjang 100 hingga 110 mm serta lebar 55 hingga 60 mm.

Ditanya saat konferensi pers (19/4), kenapa barang buktinya sangat sedikit, Kapolres Jakarta Barat, Kombes Pol. Ady Wibowo menjawab, “(Karena) kita mendapatkannya di dalam mobil yang (ganjanya) sudah tersebar (sisa dikonsumsi), jadi sedikit kita dapatkannya. Tapi kita pastikan bahwa barang bukti tersebut positif ganja.”

Publikasi kasus Jeff Smith ini mendapat sorotan karena saat konferensi pers kasusnya digelar, ia menyatakan bahwa ganja tak layak dikategorikan sebagai narkotika golongan satu. Saat itu juga mikrofon yang tadinya disodorkan oleh polisi, karena kedua tangan Jeff diborgol, dijauhkan dari mulut si pesakitan. Meskipun canggung, keriuhan serta tawa terdengar di ruangan tempat konferensi pers diadakan.

Sepertinya sejak 2019, mulai dari kasus Nunung, para pesohor yang terjerat kasus narkoba diminta bicara kepada wartawan selepas paparan kronologi kasusnya melalui konferensi pers kepolisian. Tujuannya, agar tersangka segera menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada para penggemar serta masyarakat. Saat berhadapan dengan kamera mengenakan baju tahanan dan tangan diborgol, tangisan penuh sesal adalah pemandangan yang paling sering terlihat.

Agak berbeda dengan Jeff Smith. Setelah menyatakan penyesalan di hadapan wartawan, di luar dugaan, ia menambah pernyataan tadi dengan cukup lantang. Sontak momen itu jadi canggung di luar dugaan. Petugas menjauhkan mikrofon, merangkulnya, dan membisikkan sesuatu. Si pesakitan pun mengangguk-angguk.

Sejurus kemudian, polisi itu menyodorkan lagi mikrofon ke Jeff tanpa melepas rangkulannya. Jeff pun kembali bicara, “…dan secepatnya…,” ia melanjutkan kalimatnya, “Indonesia harus melakukan penelitian…” Pernyataan Jeff tentu bisa lebih panjang lagi, tapi si polisi memutuskan meletakkan mikrofon itu di atas meja dan menggiring Jeff ke luar ruangan diiringi tawa hadirin di sana.

Drama Minta Maaf, Jadi Ajang Advokasi Ganja

Saat Lucinta Luna ditangkap atas kepemilikan lima butir benzo, tujuh butir tramadol, dan tiga butir inex pertengahan Februari tahun lalu, saya tidak lagi berminat mengikuti berita kasus narkoba para pesohor. Saya terlalu muak dengan drama yang dipertontonkan di kantor polisi, yakni saat si tersangka minta maaf di hadapan media.

Kalau mau, semua tersangka tindak pidana diperlakukan seperti itu terutama kasus korupsi, sebab mereka disangka mencuri uang negara, uang rakyat se-Indonesia Raya. Tapi menurut saya, itupun tak jua benar kalau memang di-setting buat pertunjukan televisi saja. Ini penegakan hukum atau reality show? Terlebih, status mereka masih tersangka. Masih ada asas (praduga tak bersalah) yang patut kita hormati bersama kalau memang ingin hukum jadi panglima di negeri ini. Terdengar basi, tapi itulah syarat negara demokrasi.

Drama konferensi pers kasus Jeff Smith memang beda. Saya jadi semangat mengikuti perkembangannya. Menurut saya pernyataan Jeff benar dan berani sehingga harus didukung. Selain itu, saya perlu menanggapi setidaknya dua pendapat yang dinyatakan aparat pemerintah atas pernyataan Jeff yang disampaikan sehari sebelum peringatan Hari Ganja Internasional 20 April 2021.

Baca juga:  Rapor Kebijakan Narkoba Indonesia

Pendapat pertama, BNN mengakui pencabutan status ganja sebagai narkoba golongan satu yang berbahaya oleh PBB. Meski demikian, kepala badan negara yang mengurus narkotika itu, Irjen Pol. Petrus R. Golose menilai perlu ada dasar hukum baru untuk bisa meneliti tanaman ini. Hal itu disampaikannya saat rapat bersama Komisi III DPR RI, 18 Maret lalu.

Pendapat kedua berasal dari anggota Komisi III DPR RI, Supriansa. Menurutnya, pernyataan Jeff saat konferensi pers di Polres Metro Jakarta Barat itu tidak bisa direalisasikan. Indonesia akan jadi perhatian dunia atas pernyataan Jeff soal ganja tak layak masuk daftar narkotika golongan satu karena penggolongan ganja sudah ditetapkan oleh Komisi Narkotika PBB.

Supriansa bertutur, “Memang ganja ada dalam kategori narkotika golongan empat narkotika. Namun itu tak berlangsung lama, sebab ganja kemudian dikategorikan lagi sebagai golongan satu, lantaran adanya hasil voting dari PBB.” Ia melanjutkan, “Jika ditinjau dari bahaya penyalahgunaan jenis ganja maka tidak ada alasan untuk mengeluarkan dari kategori narkoba golongan satu.”

“BNN bahkan sudah menegaskan bahwa ganja dilarang dan berbahaya. Jadi sebaiknya hindari saja karena bisa berhadapan masalah hukum,” imbuh Supriansa.

Penggolongan Narkotika dalam UU dan Konvensi

Petrus maupun Supriansa sebagai penegak dan pembuat hukum nampaknya perlu lebih tekun dan saksama dalam mengikuti perkembangan regulasi global soal ganja ini. Pasalnya, Konvensi Tunggal PBB tentang Obat-Obatan Narkotika, 1961 (Konvensi [1961]) selalu dijadikan acuan oleh aparat hukum kita padahal rumusan keduanya tidak sama.

Karena subjeknya sama, narkotika, banyak yang menganggap baik Konvensi PBB maupun UU Narkotika mengategorikan golongan satu sebagai zat berbahaya. Apalagi, UU Narkotika disahkan setelah Pemerintah RI meratifikasi Konvensi itu di tahun yang sama, tepatnya 1976. Bila deskripsi untuk golongan satu sudah sama, maka begitu pula dengan golongan dua, tiga, dan seterusnya. 

Boleh jadi, inilah dasar kenapa Kepala BNN, Petrus R. Golose menilai perlu ada dasar hukum baru untuk bisa meneliti tanaman ini. Karena saat PBB mencabut ganja dari narkotika golongan satu, narkoba ini masih dikonsumsi 1,7 jutaan orang di Indonesia (Puslitdatin BNN, 2017).

Konsumsi ganja oleh jutaan orang ini perlu dibuatkan aturan hukumnya meski untuk skema penelitian, karena biar bagaimanapun BNN masih meyakini kalau ganja adalah zat berbahaya. Sejak akhir Juni 2020, Pemerintah RI memang sudah berencana menolak pembenahan penggolongan ganja dalam Konvensi 1961. Salah satu alasannya, ganja yang tumbuh di wilayah Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika.

Faktanya, PBB tidak pernah melakukan pencabutan ganja dari narkotika golongan satu hingga detik ini. Yang sesungguhnya terjadi adalah, Komisi Obat-Obatan Narkotika PBB (CND) resmi mengeluarkan ganja dari Narkotika Golongan IV Konvensi 1961. Penghapusan itu mendapat 27 suara dari 53 negara anggota CND yang hadir pada pemungutan suara 2 Desember 2020. Jadi, ganja belum pernah dikeluarkan dari golongan satu narkotika.

Baca juga:  KlirCet - Ganja Medis

Walaupun dibuat dan diterbitkan atas ratifikasi Konvensi 1961, rumusan UU Narkotika tidak sama dengan Konvensi 1961. Dua dokumen peraturan ini memiliki rumusan masing-masing mengenai subjek penggolongan narkotika.

Lampiran Penjelasan atas UU Narkotika untuk Pasal 6 Ayat (1) Huruf a menerangkan, narkotika golongan satu adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahun dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pasal 8 Ayat (1) UU Narkotika berbunyi, Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Sementara rumusan Ayat (2)-nya, Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Dalam rumusan-rumusan tersebut, tidak terdapat kemungkinan narkotika golongan satu digunakan untuk obat-obatan. Ini berbeda dengan rumusannya dalam Konvensi.

Dalam Konvensi, narkotika golongan satu masuk ke Pasal 2, Zat yang Dikendalikan (Substance under Control) dan secara spesifik berada di Ayat (1) yang bunyinya “Kecuali untuk tindakan pengendalian yang terbatas pada obat-obatan tertentu, obat-obatan dalam golongan satu tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan berdasarkan Konvensi ini dan khususnya yang ditentukan pasal 4c, 19, 20, 21, 29 , 30, 31, 32, 33, 34 dan 37”.

Jika narkotika golongan satu tidak dimungkinkan untuk keperluan obat-obatan dalam UU Narkotika, maka golongan ini tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan di Konvensi.

Dari sebelas pasal yang menentukan narkotika golongan satu tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan berdasarkan Konvensi, ambil contoh Pasal 19 tentang Perkiraan Kebutuhan Obat, atau Pasal 30 tentang Perdagangan dan Distribusi. Kedua pasal tersebut berkaitan erat dengan kebutuhan obat yang diperdagangkan dan didistribusikan.  

Zat Berbahaya Tetap Harus Diatur Negara untuk Pengobatan

UU Narkotika hanya mengenal hingga narkotika golongan tiga yang dirumuskan Pasal 6 Ayat (1), tidak sampai golongan empat.

Bila UU Narkotika melarang pemanfaatan suatu zat untuk pengobatan dengan mengategorikannya sebagai narkotika golongan satu, maka zat berbahaya dalam Konvensi dirumuskan sebagai narkotika golongan empat dan itupun tetap bisa digunakan untuk obat.

Dalam Konvensi, narkotika golongan empat dirumuskan pada Pasal 2 Ayat (5). Bunyinya, Obat-obatan dalam Golongan IV juga harus dimasukkan dalam Golongan I dan tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan dalam Golongan terakhir, dan sebagai tambahannya:

Suatu Pihak (negara anggota) harus mengambil langkah-langkah pengendalian khusus yang menurut pendapatnya diperlukan dengan memperhatikan sifat-sifat berbahaya dari obat yang termasuk di dalamnya. Selain itu, disebutkan juga bahwa suatu Pihak wajib, jika menurut pendapatnya kondisi yang berlaku di negaranya menjadikannya cara yang paling tepat untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, melarang produksi, pembuatan, ekspor dan impor, perdagangan, kepemilikan atau penggunaan obat-obatan semacam itu kecuali untuk jumlah yang mungkin diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah saja, termasuk uji klinis yang akan dilakukan di bawah atau di bawah pengawasan langsung dan kendali Pihak.

Baca juga:  Revision of The Book of Penal Code, the Beginning of Dark Age in the AIDS Response in Indonesia

Supriansa, anggota Komisi III DPR RI, mengatakan ganja memang ada dalam kategori narkotika golongan empat. Tapi, lanjutnya, itu tak berlangsung lama, sebab ganja kemudian dikategorikan lagi sebagai golongan satu lantaran adanya hasil voting dari PBB. Lalu ia menambahkan, “Jika ditinjau dari bahaya penyalahgunaan jenis ganja maka tidak ada alasan untuk mengeluarkan dari kategori golongan satu.”

Nah, masalahnya, justru pada 2 Desember tahun lalu, Komisi Obat-Obatan Narkotika PBB melakukan pemungutan suara yang hasilnya mengeluarkan ganja dan getahnya dari Narkotika Golongan IV dalam Konvensi 1961.

Dasar penghapusannya, temuan kajian bahwa zat-zat yang terkandung dalam tanaman ganja memiliki properti pengobatan nyeri, peradangan, ayan atau seizures, hingga multiple sclerosis. Kontras dengan berbagai properti obat tadi, kajian tidak menemukan indikasi kalau pemanfaatan ganja dan getahnya merugikan kesehatan seperti pada zat lain yang terdaftar pada Golongan IV Konvensi 1961.

Pemungutan suara tersebut memang tidak mengeluarkan ganja dari narkotika golongan satu, karena zat-zat dalam golongan ini dalam Konvensi bukanlah sesuatu yang terlarang untuk dimanfaatkan sebagai obat. 

Etimologi Narkotika

Sebenarnya memasukkan ganja, kokain, sabu-sabu, yang efeknya tidak menidurkan ke dalam istilah narkotika tidak tepat. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani “narkotikos” yang berarti mengebalkan atau mematirasakan. Penyebutan ini pada awalnya mengacu pada sejumlah zat yang menyebabkan tidur (keadaan seperti ini disebut narcosis). Baru kemudian istilah ini mengacu pada opioid (dihasilkan dari opium) yang disebut analgesik narkotika (Menggugat Perang terhadap Narkoba hal. 48)

Narkotika adalah agen kimia yang menyebabkan pingsan, koma, atau tidak peka terhadap nyeri. Istilah ini biasanya mengacu pada opiat atau opioid, yang disebut analgesik narkotik.

Dalam bahasa umum dan penggunaan legal, istilah ini sering digunakan secara tidak tepat untuk mengartikan obat-obatan terlarang yang memasukkan zat seperti kokain atau sabu-sabu, terlepas dari farmakologinya. UU pengendalian narkotika di AS dan Indonesia adalah contohnya. Karena variasi penggunaan ini, istilah ini paling baik diganti dengan istilah yang memiliki arti yang lebih spesifik, misalnya “opioid” – Lexicon of alcohol and drug terms published by the World Health Organization

Opium tersedia di Amerika belahan utara pada 1775. Opioid digunakan untuk mengobati tentara pada 1860-an selama Perang Saudara (Civil War) dan banyak tentara menjadi kecanduan. Pada 1914, Undang-Undang Amerika Serikat tentang Narkotika Harrison mengatur opioid untuk membatasi penggunaan rekreasi mereka – History of Opioid Epidemic.

Pendapat Ganja Tak Layak Ada di Golongan I UU Narkotika

Kembali ke soal pernyataan Jeff Smith. Pendapatnya yang menyatakan ganja tak layak dikategorikan sebagai narkotika golongan satu di UU Narkotika saya kira benar adanya. Di banyak negara, tanaman ini sudah digunakan untuk berbagai pengobatan.

Menurut saya karena masih banyak orang yang mengira bahwa ganja merupakan tanaman berbahaya yang sangat membuat ketagihan, maka yang kemudian terjadi adalah pendapat dari para pejabat yang sudah diurai di atas – kebanyakan kurang tekun dalam membaca laporan mengenai dikeluarkannya tanaman itu dari Narkotika Golongan IV dalam Konvensi 1961.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.