close
PHOTO-2018-11-27-12-34-53
Maruli Togatorop di Bedah Buku "Dokter Kena HIV". FK Unpad, 27/11 (Foto: Dwi Surya)

Di Indonesia, kasus tenaga medis tertular HIV sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Tempo.co, misalnya, pernah melaporkan tiga dokter gigi di Surabaya baru tahu mengidap HIV ketika terdiagnosis AIDS stadium empat, Maret 2013. Prof. Nasronudin yang menangani kasus ini menyatakan, kondisi mereka sudah sangat parah. Diperkirakan sudah lebih dari lima tahun mereka terinfeksi HIV.

Lebih lanjut, pimpinan Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga itu menyatakan, profesi dokter memang berisiko tertular HIV khususnya dokter gigi, obgyn, bedah, THT, dan penyakit dalam, serta infeksi. Tertutupnya pasien mengenai penyakitnya jadi faktor seorang dokter bisa terpapar HIV.

Sebagai awam, saya percaya tenaga medis seperti dokter dan perawat memang rentan tertular penyakit karena kerap berada satu ruangan dan bekerja dengan orang sakit. Ini juga berlaku untuk penularan virus darah seperti HIV.

Dalam sebuah artikel, Prof. Zubairi Djoerban mengutarakan, penularan bisa terjadi melalui kulit yang terluka oleh jarum, pisau, dan benda tajam lain atau paparan selaput lendir dengan cairan tubuh. Risiko penularan tertinggi adalah untuk hepatitis B dan C. Risiko tertular HIV adalah yang terkecil menurut Ketua Persatuan Dokter Peduli AIDS Indonesia itu.

Artikel yang dimuat Juni 2010 tersebut malah menyebutkan, belum pernah ada tenaga medis yang tertular HIV dari pekerjaannya.

Maruli Togatorop adalah seorang dokter gigi yang kini tinggal di Merauke, Papua. Ia tahu tubuhnya mengidap HIV pada 2014 saat bekerja di sebuah RS swasta di Jakarta. Setelah mengetahui hal itu, pria berusia 49 tahun ini mulai menulis.

Baca juga:  KlirCet - Ganja Medis

“Biarlah orang tahu informasi HIV/AIDS dari saya. Stop virus sampai di saya sehingga tidak ada lagi yang terinfeksi HIV,” tulis Maruli di Bagian Tentang Penulis Dokter Kena HIV – Perjuangan Penerimaan Diri Hingga Membuka Diri (Aseni, 2018).

Sejak menjalani pengobatan HIV dan percaya dirinya bangkit kembali, Dokter Maruli berhasil menyelesaikan sebuah buku. Karya itu dibedah di Aula Eijkman FK Unpad, Bandung (27/11). Ia turut hadir di acara itu untuk memberikan kesaksian.

Berbeda dengan saya yang percaya kalau tenaga medis rawan tertular penyakit dari pasien-pasiennya, Maruli berpendapat, “Bagi sebagian orang awam memang hal ini janggal. Bagaimana mungkin seorang tenaga medis bisa terinfeksi HIV? Terjangkit virus HIV dari manakah dia dapat penyakit ini?” sebagaimana tertulis di halaman 36 bukunya.

Lebih lanjut Maruli menulis, “Ini deretan pertanyaan yang memancing persepsi yang beragam. Dokter terkena virus? Wow!”

Sesuai judul, buku ini memang berisi perjuangan seorang dokter gigi dalam menerima dirinya yang tertular HIV hingga ia membuka diri.

Dokter Maruli mengawali karyanya dengan penggalan perjalanan hidupnya di Merauke, tempatnya menetap kini. Suara Rita Effendi menyanyikan Selamat Jalan Kekasih yang tak sengaja didengarnya suatu sore saat berkendara di kota itu, membuat pria kelahiran Medan ini kembali mengingat siapa dirinya sekarang. Lalu kisah-kisah perjuangannya menerima berbagai kenyataan dan membuka diri tentang virus yang diidapnya mengalir hingga halaman terakhir.

Baca juga:  Yang Perlu Diketahui Soal Adiksi

Dalam acara bedah buku kemarin, Maruli juga menyatakan kalau pesan utama di buku pertamanya itu adalah pergulatan batin. Ia menegaskan kalau dirinya tidak perlu dispesialkan dan dianggap lain.

Lalu, apakah deretan pertanyaan yang memancing beragam persepsi soal dokter tertular HIV sebagai awalan karya ini terjawab?

Berbagai literatur mengemukakan soal kewaspadaan universal (universal precaution) yang wajib dipatuhi tenaga kesehatan. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI pada 2005 menerbitkan pedoman tersebut untuk pelayanan kesehatan. Latar belakangnya, kajian-kajian ulang soal kewaspadaan universal atas berjangkitnya berbagai penyakit yang ditularkan lewat darah seperti AIDS atau hepatitis B dan C.

Pada 2017, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan diterbitkan Kementerian Kesehatan RI sebagai peraturan menteri (No. 2 Tahun 2017).

Secara praktis, kewaspadaan ini berupa penggunaan pelindung berupa sarung tangan, masker, kacamata pelindung, dan lainnya saat kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien. Menurut Prof. Zubairi, bila tenaga kesehatan tertusuk jarum atau terluka saat kontak dengan pasien maka segera cuci tangan, melaporkan insiden dalam catatan medis, mencari tahu data mengenai pasien, dan melakukan manajemen spesifik seperti konseling dan tes.

Jika terjadi paparan dengan darah atau cairan tubuh yang berisiko tinggi menularkan HIV maka segera diberikan obat antiretroviral (ARV) dalam 36 jam pertama.

Bagi saya, apa yang terjadi pada Dokter Maruli merupakan sebuah risiko pekerjaan. Biasa saja. Tapi, boleh jadi dokter gigi itu sulit untuk menerima karena gagal menerapkan kewaspadaan universal yang wajib diembannya sebagai profesional medis sehingga perlu menceritakannya lewat buku setebal 156 halaman.

Baca juga:  Kratom lebih "nutup" buat putus heroin ketimbang tramadol

Terlepas dari soal kewaspadaan universal, dokter juga manusia. Mereka bisa saja melakukan perilaku yang berisiko terinfeksi HIV. Ini manusiawi. Dan risikonya harus ditanggung sebagai manusia dewasa. Dalam acara bedah bukunya, Dokter Maruli mengakui bahwa dia terinfeksi HIV karena hubungan kelamin saat ditanya hadirin asal-muasal virus dalam tubuhnya.

Saat menangani tiga dokter gigi yang mengidap HIV di Surabaya lima tahun lalu, Prof. Nasronudin pun kesulitan mencari kepastian sumber penularan. Menurutnya ada dua kemungkinan mereka terinfeksi, yaitu karena profesi dan pribadi.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.