Bahwa sesungguhnya olahraga itu adalah milik semua orang, bukan segelintir elite profesional. Nilai-nilai sportivitas yang terkandung di dalamnya seharusnya menjadi inspirasi untuk mengembalikan olahraga sebagai sebuah kekuatan bersama melakukan perubahan sosial.
Persiapan perhelatan Asian Games 2018 akhir-akhir ini menjadi sorotan. Wajar saja, kegiatan olahraga terbesar se-Asia empat tahunan ini akan dimulai dalam waktu kurang dari dua minggu. Indonesia selaku tuan rumah memiliki harapan besar dalam dilaksanakannya perayaan olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade ini.
Diadakan pertama kali di Delhi, India pada 1951, Asian Games pernah dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada 1962 yang melibatkan 17 negara dan 13 cabang olahraga.
45 negara memperebutkan medali kemenangan dari 40 cabang olahraga yang dipertandingkan di Pesta Olahraga Asia ke-18 yang akan diadakan di Palembang dan Jakarta, 18 Agustus hingga 2 September 2018.
Sabtu, 4 Agustus 2018, INASGOC, panitia resmi persiapan dan pelaksanaan Asian Games 2018, mengundang tokoh-tokoh atlet, artis, selebritas, netizens, serta masyarakat sipil dalam peluncuran kampanye #JalanTerusIndonesia di Istana Bogor, Jawa Barat.
Presiden RI, Joko Widodo meresmikan kampanye #JalanTerusIndonesia yang didasari temuan riset Universitas Stanford, Amerika Serikat (AS), 2017 lalu. Riset itu memperlihatkan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat termalas untuk berjalan kaki. Rata-rata orang Indonesia berjalan 3.513 langkah per hari. Sementara Hongkong yang berada di peringkat pertama, warganya berjalan rata-rata 6.880 langkah per hari.
Kampanye #JalanTerusIndonesia mengajak masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam menciptakan Indonesia yang sehat seiring momentum pelaksanaan Asian Games 2018.
Olahraga dan Gerakan Sosial Masyarakat Sipil
Olahraga sejak lama telah digunakan sebagai media gerakan sosial untuk menyuarakan permasalahan-permasalahan sosial. Ruang-ruang masyarakat sipil yang semakin menyempit serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap otoritas yang dapat menciptakan (enabling) ruang-ruang bagi perubahan sosial, membuat banyaknya seruan kampanye yang diinisiasi masyarakat sipil.
Aktivisme sosial itu menjadi perhatian pada helatan Olimpiade Musim Panas 1968 di Mexico City, Meksiko. Masyarakat dunia ketika itu dikejutkan dengan aksi protes dua atlet AS peraih medali emas dan perunggu cabang lari 200 meter. Tommie Smith dan John Carlos mengacungkan kepalan tangan saat upacara penyerahan medali sebagai protes atas kekerasan dan ketidakadilan yang bsnyak dialami warga Afro-Amerika di AS.
Smith, dalam autobiografinya, Silent Gesture, menyatakan sikapnya sebagai bentuk human rights salute. Namun, Panitia Internasional Olimpiade 1968 beranggapan lain. Smith dan Carlos dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar dan semangat Olimpiade. Gestur mereka dilihat sebagai sebuah demonstrasi dan pernyataan politik.
Panitia mencabut medali yang telah diberikan dan mencoret kedua atlet tersebut dari daftar kontingen AS. Namun yang perlu dicatat, pada 1936, Panitia Internasional Olimpiade tidak melarang salut Nazi dalam helatan yang diadakan di Berlin, Jerman.
Setahun sebelumnya, Cassius Marcellus Clay, Jr. atau yang lebih kita kenal sebagai Muhammad Ali, menolak wajib militer negaranya, AS pada masa Perang Vietnam. Penolakan itu berujung hukuman penjara lima tahun dan dicabutnya gelar Juara Dunia Kelas Berat dari Ali.
Dalam sepak bola, kita semua mengenal kampanye RESPECT yang menyuarakan kesetaraan gender, ras, agama, dan kemampuan. Kampanye ini tergerak oleh isu-isu rasisme dalam sepak bola yang bukan merupakan sebuah cerita baru.
Banyak pemain sepak bola yang mengalami pelecehan ras yang dilakukan baik oleh sesama pemain, ofisial, maupun penonton. Salah satu insiden yang cukup dikenal adalah saat pertandingan persahabatan antara Spanyol dan Inggris yang diadakan di Stadion Bernabeu, Madrid, Spanyol, 2004. Telegraph.co.uk menyebutnya sebagai “Malam yang Memalukan Mengalahkan Inggris” (Night of Shame Stuns England).
Sepanjang malam, Shaun Wright-Phillips dan Ashley Cole mendapatkan perlakuan rasial dari penonton. Mereka menirukan suara binatang saat Philips dan Cole membawa bola.
Gerakan aktivisme yang dilakukan oleh atlet telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap gerakan sosial dalam olahraga, terutama untuk melawan hal-hal yang berkaitan dengan ketidakadilan sosial. Walaupun banyak mendapatkan perlawanan secara terstruktur, pesan perubahan sosial ini tidak pernah berhenti dilakukan.
Rumah Cemara, Olahraga dan #IndonesiaTanpaStigma
Sejak didirikan, Rumah Cemara telah menggunakan media olahraga sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Mulai dari sepak bola dan sekarang tinju. Kami menyediakan ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam sebuah ajang olahraga tanpa harus menjadi atlet elite atau profesional.
Kampanye #IndonesiaTanpaStigma menyuarakan kesetaraan dan solidaritas. Dalam olahraga, semua orang dan setiap tim adalah pemenang. Kemenangan tidak hanya ditandai dengan acara seremonial dan piala, namun kemenangan itu tercermin dari kesadaran sosial yang tumbuh dalam diri setiap individu yang terlibat. Mulai dari berlatih sampai keikutsertaan dalam perlombaan atau pencapaian prestasi. Semua mewakili nilai-nilai kemenangan.
Sejak 2011, Rumah Cemara mewakili Indonesia di ajang tahunan Homeless World Cup, sebuah kompetisi internasional tahunan sepak bola jalanan bagi tunawisma dan kelompok marginal. Selama keikutsertaannya di Homeless World Cup, Indonesia menyabet gelar di antaranya, Pendatang Baru Terbaik (2011), Pemain Terbaik atas nama Ginan Koesmayadi (2011), Juara Amsterdam Cup (2015). Namun yang lebih penting, inisiasi ini dapat mematahkan stigma terhadap kelompok marginal untuk dapat mewakili wajah Indonesia di ajang internasional.
Melalui Rumah Cemara Boxing Camp, kami menciptakan ruang-ruang solidaritas tanpa memandang latar belakang. Rumah Cemara membangun sebuah kesadaran dan keterlibatan yang bermakna dari setiap individu untuk mencapai mimpi besar #IndonesiaTanpaStigma.
Indonesia dan Olahraga untuk Perubahan Sosial
Gerakan sosial lewat olahraga ini menyebar dan berlaku di berbagai cabang. Para pemain American Football di NFL, mengusung kampanye #TakeAKnee, pemain liga basket wanita AS (WNBA) dengan #BlackLivesMatter, mengampanyekan antirasialisme. Sementara, jaringan global Streetfootballworld Network, dengan #CommonGoal, mengajak pemain profesional memberikan satu persen gajinya untuk disalurkan kepada komunitas yang menggunakan sepak bola untuk perubahan sosial.
Asian Games 2018 diharapkan dapat dijadikan sebuah momentum bagi masyarakat Indonesia untuk terus menumbuhkan kesadaran sosial dan menggunakan olahraga untuk kebaikan dan perubahan sosial.
Tulisan ini adalah opini dari Aditia Taslim, Direktur Eksekutif dan salah satu inisiator Program Sports for Development Rumah Cemara.