close
FeaturedKebijakan

Kertas Kebijakan: Memahami Drug Policy di Indonesia

kelebihan-kapasitas-riau-segera-bangun-penjara-khusus-kasus-narkoba
Ilustrasi: Sel Penjara

Oleh Empowerment and Justice Action

Drug Policy adalah suatu terminologi yang disadur dari bahasa Inggris, dan oleh organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat sering diterjemahkan sebagai Kebijakan NAPZA. Istilah NAPZA, juga merupakan singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, yang dalam pelbagai kajian dipakai secara bergantian dengan istilah narkoba dan/atau NAZA. Dalam pelbagai kesempatan, kami lebih sering menerjemahkan drug policy sebagai kebijakan penanggulangan narkoba (narkotika dan obat-obatan berbahaya). Istilah tersebut kami pergunakan setelah merujuk terjemahan terhadap istilah serupa dari bahasa Inggris seperti criminal policy dan/atau penal policy yang diterjemahkan oleh para pakar hukum pidana sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dan/atau kebijakan pemidanaan/penjatuhan saknsi dalam hukum pidana.

Selanjutnya, dengan mengutip EMCDDA, maka drug policy atau kebijakan penanggulangan narkoba dapat dimaknai sebagai seperangkat sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang dipakai oleh pembuat kebijakan (policy maker, decission maker) sebagai dasar untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan guna melaksanakan upaya penanggulangan peredaran gelap narkoba serta menetapkan prioritas dan besarnya anggaran untuk tiap-tiap tindakan yang dilakukan.

Pertanyaan pentingnya adalah “apa tujuan dari suatu drug policy? Jika jawaban terhadap pertanyaan tersebut merujuk pada alasan yang ada dalam Undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka alasan sosio-filosofis yang dikemukakan antara lain: (a) untuk meningkatan derajat kesehatan dan derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia; (b) meningkatkan derajat sumber daya manusia Indonesia melalui pengobatan dan pelayanan kesehatan dengan cara menyediakan narkotika jenis tertentu untuk pengobatan; (c) menetapkan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan sebagai tindak pidana.

Berdasarkan definisi di atas maka spektrum “kebijakan penanggulangan narkoba” dapat meliputi, kebijakan penanggulangan (supply reduction, demand reduction dan harm reduction); kebiijakan hukum pidana baik kriminalisasi maupun penalisasi dan kebijakan anggaran baik jumlah atau besarannya, prioritasnya maupun lembaga mana yang diberi wewenang untuk mengelola dan memanfatkan anggaran tersebut.

Hal menarik untuk dikaji di sini ialah bahwa apabila kebijakan penanggulangan narkoba dibiayai oleh negara maka uang negara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Jadi, jika prioritas anggaran ternyata tidak menyentuh kepentingan rakyat, maka kebijakan “anggaran” tersebut patut untuk digugat oleh masyarakat. Salah satu amanat penting dalam UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah pentingnya melaksanakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial begi penyalahguna, pecandu, dan korban penyalahguna (vide: Pasal 4, Pasal 53,Pasal 54 dan Pasal 55), bahkan dinyatakan bahwa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial adalah hak dari penyalahguna, pecandu, dan korban penyalahguna, di mana pada sisi lain berarti bahwa negara wajib memenuhi hak warga negara tersebut, melalui prioritas program dan anggaran yang dialokasikan.

Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan penanggulangan (program kegiatan dan anggaran) dalam penanggulangan narkoba telah diarahkan untuk menyentuh dan memenuhi amanat tersebut? Jika berkaca pada hasil survey BNN tahun 2014 bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia hingga sekarang ini telah mencapai kurang lebih lima juta orang, sementara pada sisi lain jumlah penyalahguna yang direhabilitasi baru mencapai kurang lebih dua ribu orang (0,04% dari total penyalahguna narkoba di Indonesia), maka dapat ditegaskan bahwa upaya memenuhi amanat UU narkotika masih jauh panggang dari api. Dengan demikian maka sudah saatnya kebijakan penanggulangan narkoba di Indonesia dievaluasi secara menyeluruh.

Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

Menurut Philipus M. Hadjon, (2007: 18-19) dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), landasan pijak kita adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum di barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep Rechstaat dan The rule of law. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep Rechsstaat dan The rule of law menciptakan sarananya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah Rechstaat dan The rule of law, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara diktator dan totaliter.

Baca juga:  Kanal Indonesia tanpa Stigma

Dengan mengunakan konsepsi barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pijak pada Pancasila, “Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila”. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Prinsip yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat adalah prinsip negara hukum.

Dikaitkan dengan prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum, sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat untuk hak-hak asasi manusia. (Philipus M, Hadjon, 2007:66). Unsur–unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum yakni sebagai berikut:

  1. Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan;
  2. Bahwa pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang- undangan;
  3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
  4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri;
  5. Adanya peranan yang nyata dari anggaota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah;
  6. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam sebuah negara hukum merupakan kemestian.

Apabila mencermati Undang-Undang Dasar 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut yaitu prinsip kedaulatan, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pengawasan peradilan, partisipasi warga negara, dan perekonomian. Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasan berdasarkan kedaulatan, agar kekuasan in tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Andaikata unsur jaminan terhadap hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi maka penyusunan, pembagian, pembatasan dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.

Terkait dengan esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan menyebabkan suatu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi yang demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak asasi manusia; dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi tidak berarti atau kehilangan makna.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan, segala tindakan dan perbuatan baik oleh penyelenggara negara maupun rakyat harus didasarkan pada hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Menurut Sjachran Basah, (dalam Zainal Muttaqin, 2004 : 145) di dalam Negara Indonesia hukum memberikan arah dan tuntutan dalam berbagai kehidupan yang berakar pada keyakinan bangsa Indonesia. Negara Hukum Indonesia bukanlah negara hukum dalam pengertian yang sempit, melainkan negara kemakmuran yang berdasarkan hukum, yang dilandasi oleh Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum, dengan menolak absolutisme dalam segala bentuknya. Dalam negara hukum seperti ini menurut Padmo Wahjono ( 1983: 9 ) akan terdapat suatu pola sebagai berikut:

  1. Menghormati dan melindungi hak- hak asasi manusia;
  2. Mekanisme kelembagaan yang demokratis;
  3. Sistem tertib hukum;
  4. Kekuasaan kehakiman yang bebas.

Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Sarigih, yang dikutip oleh Donald A. Rumokoy dalam Marbun (2004: 9) menyatakan bahwa ciri khas bagi suatu negara hukum adalah adanya:

  1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
  2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak;
  3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Baca juga:  Bobotoh: Cita-Cita dan Aksi Suporter Klub Sepak Bola

Selanjutnya menurut Philipus M. Hadjon (2007: 85), ciri-ciri negara hukum pancasila adalah sebagai berikut:

  1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasrkan asas kerukunan;
  2. Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasan-kekuasan negara;
  3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
  4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Prinsip Pengakuan Dan Perlindungan Terhadap Hak- Hak Asasi Manusia

Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam sila-sila pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia, ataupun pula dapat dikatakan bahwa pengakuan akan harkat dan martabat manusia secara intrinsik melekat pada pancasila. (Philipus M. Hadjon, 2007: 206)

Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individulitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain; ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak-hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi (Penjelasan umum Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM)Selain pancasila yang adalah landasan filosofi bangsa Indonesia, Undang- Undang Dasar 1945 yang adalah landasan konstitusional Bangsa Indonesia juga mengatur dan mengakui perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, hal ini terlihat jelas dalam pasal 28a, 28b, 28c, 28d, 28e, 28f, 28g, 28h, 28i, 28j UUD 1945. Bahkan dalam Pasal 28 i ayat (1) Amend II UUD 1945 ditetapkan mengenai non-derogable rights , yaitu hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun oleh siapapun juga, yakni:

  1. Hak untuk hidup;
  2. Hak untuk tidak disiksa;
  3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
  4. Hak beragama;
  5. Hak untuk tidak diperbudak;
  6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
  7. Non-retroaktif.

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999, disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi dihormati dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahtraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berkaitan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dari berbagai negara didesak untuk mengambil peran aktif dalam menangani kasus-kasus pelangaran HAM terhadap ODHA. Dalam pertemuan Internasional Komnas HAM dari berbagai negara di Jenewa tahun 2001, Direktur Eksekutif UNAIDS mengidentifikasi lima wilayah praktis di mana Komnas HAM dapat memperkuat kerja mereka berkenaan dengan HIV & AIDS, sebagai berikut (Abdul Hakim G Nusantara, 2005):

  1. Melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam konteks HIV & AIDS;
  2. Melakukan penyelidikan umum yang dipusatkan pada pelanggaran HAM yang berkaitan dengan HIV & AIDS;
  3. Menerima dan di mana memadai menanggapi pengaduan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan HIV & AIDS;
  4. Menyediakan nasihat dan bantuan kepada pemerintah berkenaan dengan masalah HAM dan HIV & AIDS;
  5. Melakukan pendidikan HAM dalam konteks HIV & AIDS.

Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Konsumen Narkoba di Indonesia

Dalam pasal 2 Undang- undang Nomor 39 tahun 1999, disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi dihormati dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahtraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pertanyaannya, bagaimanakah sehausnya perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang juga melekat pada konsumen, penyalahguna, pecandu, dan korban penyalahgunaan narkoba?

Baca juga:  Hukum Pidana Narkotika di Indonesia

Dalam ketentuan UU narkotika Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 1 angka 13 dinyatakan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pasal 1 angka 15 ketentuan UU narkotika menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Istilah pengguna, penyalahguna dan pecandu merupakan terjemahan dari terminologi dalam bahasa Inggris: user, abuser and addict); sedangkan ketergantungan pada narkoba adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas (Bandingkan dengan penjelasan pasal 54 UU No. 35/2009 dan hubungkan dengan ketentuan pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika).

Berbeda dengan pengguna, penyalahguna dan pecandu yang menggunakan narkoba secara sengaja, dengan tahu dan mau serta atas kehendap dan/atau kemauan sendiri maka korban penyalahgunaan narkoba adalah seseorang yang menggunakan narkoba tidak atas kehendak dan kemauan sendiri dan/atau tanpa sengaja. Penyalahgunaan dilakukan oleh karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam oleh orang lain untuk menggunakan narkoba (vide: Pasal 1 angka 5, PP 25/2011 tentang Wajib Lapor Bagi Pengguna, Penyalahguna dan Pecandu NAPZA).

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 53, 54 dan 55 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dinyatakan bahwa korban penyalahguna dan pecandu (penyalahguna yang sudah mengalami ketergantungan pada narkotika) berhak menjalani rehabilitasi medis dan rehabitasi sosial yang dilaksanakan oleh negara. Berkaitan dengan itu, maka menurut saya, negara baru dapat dikatakan memberikan perlindyngan hukum dan HAM terhadap pecandu (penyalahguna yang sudah dalam keadaan ketergantungan) dan korban penyalahguna jika:

  1. Menyediakan layanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna, pecandu dan korban penyalahguna secara accessible, available, affordable dan non-discriminative;
  2. Mengutamakan tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu dan korban penyalahguna;
  3. Masih terkait dengan huruf a di atas, negara perlu mengesampingkan ketentuan pemidanaan bagi korban penyalahguna, penyalahguna dan pecandu;
  4. Melakukan sosialisasi dan pendidikan terkait dampak buruk narkoba;
  5. Melakukan pendidikan dan pelatihan HAM dalam penyalahgunaan dan kecanduan akibat narkoba.

[AdSense-A]

Hak Atas Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi

Sebelum lebih jauh membahas tentang esensi dari hak atas kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi, kami ingin menyitir tiga kata kunci yang terkait judul ini, yaitu: seks; seksual dan seksualitas.

Seks adalah sebutan lain untuk jenis kelamin, sedangkan seksual adalah hal-hal yang berkaitan dengan kelamin. Seksualitas adalah keseluruhan kompleksitas permasalahan seks dan seksual, yang terkait erat dengan aspek biologis, aspek psikologis, dan aspek sosial.

Pertanyaannya, apa itu kesehatan. Apa tanda-tanda untuk menyatakan bahwa seseorang itu sehat. Memiliki kesehatan yang baik adalah lebih dari sekadar tidak sedang sakit, tetapi ada perlu juga merasa bahagia (spiritual), cukup makan, punya rumah, punya pakaian, punya pekerjaan dan penghasilan (materi), memiliki kasih, memiliki dan membangun keluarga, memiliki perasaan cinta (seks, anak, dan keturunan), mempunyai teman (sosial), mempunyai kebebasan (HAM) dan dapat berperan dalam masyarakat.

Merujuk pada uraian di atas, maka kesehatan seksual mestinya didekati melalui suatu model yang sekarang ini sangat dianjurkan oleh para pakar kesehatan seksual, yaitu Model BioPsikoSosial, yaitu model pendekatan yang didasarkan pada perspektif Biologis, Psikologis, dan Sosial.

Model BioPsikoSosial, dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Biologis: Organ tubuh & proses-proses dalam tubuh;
(2) Psikologis: Emosi, perasaan, nilai-nilai dan keyakinan;
(3) Sosial: hubungannya dengan yang lain di dalam masyarakat, peran di dalam masyarakat, aspek budaya dan gender.

Ditegaskan bahwa kesehatan reproduksi sebenarnya hanya sebagian kecil dari kesehatan seksual, karena kesehatan reproduksi hanya membahas aspek biologis saja, yaitu tentang fungsi-fungsi alat reproduksi dan penyakit terkait organ reproduksi.

 

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.