close
FeaturedKebijakan

Kesaksian Freddy Budiman dan Pemberantasan Narkoba yang Lebih Banyak Mudaratnya

haris-azhar-freddy-budiman

Walau kau terus saja coba membungkamnya/ Namun suaraku tak pernah bisa kau redam/ Karena kebenaran akan terus hidup/ Sekalipun kau lenyapkan kebenaran takkan mati.

Barangkali penggalan puisi “Kebenaran Akan Terus Hidup” karya Wiji Thukul di atas menginspirasi Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), untuk menulis kesaksian Freddy Budiman di akun media sosialnya. Haris mengunggah kesaksian Freddy beberapa jam sebelum eksekusi mati terpidana kasus narkoba itu pada 28 Juli 2016.

Freddy Budiman divonis mati oleh PN Jakarta Barat pada 2012 karena mengimpor 1,4 juta butir ekstasi dari Tiongkok. Pengajuan peninjauan kembali atas vonis PN Jakarta Barat tersebut ke Mahkamah Agung ditolak pada 20 Juli 2016. Freddy pun dieksekusi pada 29 Juli 2016 dini hari di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Bukan tanpa alasan Haris mengunggah tulisan kesaksian itu. Haris yakin bahwa eksekusi mati Freddy Budiman akan sekaligus membawa keterangan yang dimilikinya tentang keterlibatan sejumlah pejabat negara dalam sindikat perdagangan narkoba di Indonesia ke dalam kuburnya.

Dalam kesaksian yang diunggah Haris, Freddy mengaku bahwa penyelundupan narkoba ke Indonesia turut dibantu aparat, tentunya dengan imbalan. Rp450 miliar diberikan ke oknum BNN dan Rp90 miliar ke pejabat di Mabes Polri. Freddy juga mengaku pernah bersama seorang jenderal TNI bintang dua membawa narkoba dari Medan ke Jakarta mengendarai mobil dinas sang jenderal.

Atas tulisan yang diunggah di media sosial tersebut, Haris dilaporkan ke pihak kepolisian atas tindakan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik oleh tiga institusi negara sekaligus, yaitu BNN, Polri, dan TNI.

Penyebutan jenderal TNI bintang dua membuat Kapuspen TNI, Mayjen Tatang Sulaiman khawatir citra TNI menjadi buruk. “Kalau memang terbukti, kami akan lakukan pemeriksaan internal. Namun informasinya harus jelas identitasnya,” ungkapnya.

Baca juga:  Ganja, Dulu dan Nanti

Boleh jadi Koordinator KontraS itu telah memperhitungkan risiko yang akan dialaminya saat memutuskan mengunggah curhatan Freddy Budiman kepadanya pada 2014 saat mengunjungi LP di Nusakambangan untuk memberikan pendidikan HAM.

Beberapa film berdasarkan kisah nyata tentang pengungkapan sindikat narkoba oleh warga sipil pernah dirilis. Kebanyakan tidak happy ending. Salah satunya adalah Kill the Messenger yang dirilis 2014.

Kill the Messenger mengisahkan Gary Webb, wartawan investigatif AS yang mengungkap bahwa CIA mengetahui penuh pengapalan kokain dalam jumlah besar ke wilayah AS untuk membiayai perlawanan terhadap Pemerintahan Sandinista di Nikaragua. Perlawanan tersebut direstui Presiden Ronald Reagen untuk membendung menguatnya komunisme di Amerika Latin ketika itu.

Walaupun mendapat Pulitzer Prize, atas dimuatnya tulisan hasil investigasinya di harian tempatnya bekerja, San Jose Mercury News, Gary mendapat banyak tekanan, teror, hingga kematiannya dinyatakan sebagai kasus bunuh diri.

Semenjak pelarangannya secara internasional pada 1961, narkoba ilegal menjadi komoditas yang menghasilkan keuntungan besar dibanding dengan bisnis ilegal lain. Pada 2007, nilai bisnis narkoba ilegal mencapai $322 miliar, sementara perdagangan manusia $32 miliar, dan senjata ilegal $1 miliar (UN World Drug Report, 2007).

Freddy Budiman sendiri mengaku bahwa dia bisa menjual sebutir ekstasi hingga Rp300 ribu yang dibelinya seharga Rp5 ribu. Keuntungan hingga 6.000% ini tentu saja membuat sindikat narkoba dengan mudah melibatkan penguasa sebuah negara untuk melindungi bisnisnya. Bahkan, CIA yang merupakan lembaga negara pernah membiayai militer Mujahidin melawan Soviet lewat bisnis heroin karena dana tersebut tidak bisa didapat dari anggaran belanja pemerintah AS pada 1980-an.

Baca juga:  Mengenal Anarko-Sindikalis, Kelompok yang Digosipkan Rancang Penjarahan se-Jawa

Suap kepada aparat hingga petinggi negara untuk melindungi sindikat narkoba merupakan konsekuensi logis dari sebuah kebijakan yang membuat komoditas tersebut bernilai tinggi. Adalah hukum ekonomi ketika sebuah komoditas dilarang, maka permintaan dan pasokannya akan bertemu di pasar gelap, pasar di mana tidak ada yang menjamin kualitas serta harga komoditas tersebut. Itu berarti keuntungan dapat ditentukan semena-mena oleh pemasok.

Tidak hanya itu, karena dianggap bisa merusak moral bangsa, maka hukuman mati terhadap pemasok narkoba menjadi kebijakan populer.

Terlepas kebijakan populer ini tidak sedikit yang menentang, namun, seperti yang dinyatakan Haris Azhar, eksekusi Freddy berpotensi melenyapkan keterangan yang signifikan untuk membongkar kejahatan yang melibatkan sejumlah petinggi di negeri ini yang turut menikmati ratusan miliar hasil bisnis gelap narkoba.

Kesaksian Freddy Budiman yang diunggah ke media sosial bisa jadi membuka kotak pandora mengenai bisnis narkoba di Indonesia. Setelah 40 tahun pemberantasan ganja, koka, dan opium, serta hampir 20 tahun pemberantasan narkoba sintetis seperti sabu-sabu dan ekstasi di Indonesia, mungkin saja telah banyak oknum aparat negara yang terlibat dan menikmati keuntungan bisnis ilegal tersebut.

Sebutlah AKBP Idha dan Bripka MP Harahap dari Polda Kalbar yang tertangkap di Malaysia karena membawa sabu-sabu pada 2014, atau Kasat Narkoba Polres Belawan, Medan, AKP Ikhwan Lubis yang ditangkap karena menerima suap dari bandar narkoba April lalu. Belum lagi sejumlah sipir yang diberhentikan karena menjadi kurir narkoba untuk penghuni lapas dan rutan di berbagai daerah.

Kami, di Rumah Cemara, meyakini bahwa sindikat perdagangan gelap narkoba tidak akan menghasilkan keuntungan miliaran dolar jika seluruh aspek ekonomi komoditas ini dimonopoli negara. Pelarangan dan pemberantasan narkoba selama 40 tahun di Indonesia membuatnya bernilai ekonomi tinggi karena berada di pasar gelap di mana tidak ada pengawasan atas bahan baku, kewenangan rantai distribusi, dan kendali harga.

Baca juga:  Harapan Pasien Lupus pada Ganja

Freddy Budiman membeli sebutir pil yang tidak jelas bahan bakunya apa seharga Rp5 ribu lalu dijual eceran Rp300 ribu. Keuntungan ribuan persen bebas pajak tentu saja menarik minat siapapun termasuk aparat untuk turut menikmati uang besar dari bisnis tersebut.  

Upaya Haris Azhar mungkin akan mengungkap siapa saja petinggi negara yang selama ini terlibat bisnis triliunan rupiah per tahun di Indonesia ini. Dan jika memang sistem hukum kita mampu mengungkap itu semua dan memenjarakan mereka, pertanyaannya kemudian, apakah itu bisa menghentikan bisnis komoditas tersebut? Bukankah karena ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan, maka bisa jadi sindikat akan mencari beking baru?

Mengutuk hukuman mati terpidana narkoba karena selain tidak sesuai HAM, juga turut mengubur informasi untuk bisa menghukum petinggi-petinggi negara yang terlibat, tidak serta merta menghapus laba besar narkoba yang karena pelarangannya, ia berada dalam sistem ekonomi pasar gelap.

Semakin dilarang dan diberantas, bisnis narkoba akan semakin menguntungkan. Hal ini telah terbukti dengan tidak pernah dimenangkannya “perang terhadap narkoba” secara internasional yang sudah berlangsung hampir setengah abad (1971-2016).

Sepatutnya pengungkapan skandal mafia narkoba dan aparat dari kesaksian Freddy Budiman bisa dijadikan refleksi bahwa sudah saatnya semangat pemberantasan dan “perang terhadap narkoba” diganti dengan semangat pengelolaan narkoba oleh negara seperti tercantum dalam Pasal 4 Huruf (a) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan IPTEK.

Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__