close
Anar.png
Ilustrasi: @abulatbunga

Hari Buruh Internasional diperingati tiap 1 Mei sehingga kerap disebut “May Day” sejak 1886. Dari namanya saja, seseorang bisa langsung tahu kalau ini adalah peringatan tentang buruh, karyawan, pegawai, pekerja, atau siapapun yang mencurahkan tenaga untuk orang lain dengan mendapat upah atau gaji.

Banyak yang memperingati tanggal merah ini untuk menuntut berbagai ketidakadilan kompensasi atas kucuran keringat serta pengorbanan waktu para pekerja demi menghasilkan produk yang mencetak laba bagi (segelintir pemilik) perusahaan.

Aksi-aksi saat May Day di Indonesia lazimnya dilakukan untuk menuntut kesetaraan derajat pekerja dalam memperoleh hak sesuai amanat konstitusi. Tiap orang Indonesia dijamin oleh Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, negara menjamin pemenuhan hak setiap warganya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak atau pantas sebagai manusia yang menjalani kehidupan, bukan sekadar bertahan hidup (to live a life, not to survive).

Selain kesetaraan derajat, tuntutan yang diajukan biasanya fasilitas beserta peningkatannya serta kepastian jam kerja. May Day kerap pula jadi momen untuk menuntut keamanan dan keselamatan kerja. Selain alat pelindung diri yang memadai, andil perusahaan dalam menjamin kesehatan tak hanya karyawan tapi juga keluarganya turut dikemukakan.

May Day terutama merupakan praksis soal penghargaan atas keringat dan waktu yang dihabiskan pekerja untuk majikannya. Penghargaan yang diharapkan bukan saja untuk saat ini, tapi juga untuk masa senja saat tubuh tidak lagi punya tenaga untuk menghasilkan komoditas perusahaan. Jaminan sosial tenaga kerja yang diinisiasi sejak 1947 oleh pemerintah telah menumbuh-mekarkan harapan itu.

Meski demikian, sejumlah ketetapan pemerintah mengenai tenaga alih daya (outsourcing) masih jadi momok yang sanggup meluluhlantakkan harapan tadi tanpa ampun.

Riwayat Peringatan May Day di Nusantara

Konon peringatan Hari Buruh Internasional pertama di Asia digelar pada 1918 di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya, Jawa Timur oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan yang bermarkas di Shanghai, Tiongkok tapi ratusan anggotanya ada di Surabaya. Henk Sneevliet dan Adolf Baars dari Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda menghadiri perayaan itu.

Catatan Anindhita Maharrani untuk Beritagar.id tertanggal 1 Mei 2019 menyatakan, di peringatan May Day 1918 itu, orang-orang pribumi belum tertarik dengan isu ini.

HOS Tjokroaminoto merupakan pribumi nonkomunis pertama yang berpidato mewakili kawanan buruh Sarekat Islam pada perayaan May Day 1921, sesuatu yang diidamkan Sneevliet pascaperingatan Hari Buruh 1918.

Mengenai gelaran Hari Buruh di Surabaya kala itu, Sneevliet menulis, perayaan tersebut hanya mampu menarik kehadiran orang-orang Eropa dan itu mengecewakannya. Pascakehadiran Tjokroaminoto yang ditemani Sukarno, salah seorang muridnya ke perayaan May Day 1921, Hari Buruh di Nusantara bukan lagi acara yang hanya dihadiri dan menampilkan pidato orang-orang Eropa.

Proletariat di negeri jajahan ini pun mulai rutin merayakan May Day.

Hingga 1925, tercatat, peringatan tahunan Hari Buruh Sedunia di Hindia Belanda kerap disertai pemogokan umum besar-besaran.

Pada peringatan Hari Buruh 1923 misalnya, wakil Serikat Buruh Kereta Api dan Trem, Semaun dan Thomas Najoan menyampaikan kalau aksi pemogokan umum di Semarang, Jawa Tengah untuk memperkuat tuntutan utama mereka, yakni delapan jam waktu kerja dalam sehari, penundaan penghapusan bonus sampai janji kenaikan gaji dipenuhi, penanganan perselisihan ditangani oleh satu badan arbitrase independen, dan pelarangan PHK tanpa alasan.

Pemogokan dan gerakan lintas rasial tentu mengkhawatirkan penguasa dan pemodal kolonial. Sebab, penciptaan perbedaan ras maupun gender dalam bidang kerja hingga urusan pengupahan memudahkan kontrol kapitalisme kolonial terhadap pluralitas kaum pekerja. Ini merupakan ancaman bagi penjajahan. Apalagi pada 1925 sejumlah elite Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kerap mengorganisir pemogokan buruh, menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintah penjajah Belanda.  

Efek Hari Buruh yang Terasa sampai Sekarang

Saking santernya kabar bahwa PKI akan menggulingkan pemerintahan kolonial, para penjajah Belanda sudah mempersiapkan berbagai langkah antisipatif. Karena itu, pemimpin PKI memutuskan untuk tidak menyelenggarakan peringatan May Day pada 1926 demi mencegah penangkapan kader-kader yang tenaganya amat dibutuhkan.

Pemerintah terus menekan serikat-serikat buruh secara represif dan melarang mereka memperingati May Day.

Menurut Jafar Suryomenggolo, peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara (CSEAS) Universitas Kyoto, setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, perayaan Hari Buruh kembali diperbolehkan bahkan dianjurkan Kabinet Syahrir. Pemerintah RI pun menetapkan UU RI No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang isinya antara lain, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja pada 1 Mei, selain perlindungan terhadap anak dan pekerja perempuan, termasuk soal waktu menyusui, cuti melahirkan, dan cuti haid.

Baca juga:  Bingung, Ikut Terapi ARV atau Pengobatan Herbal

Sejak saat itu, Hari Buruh Sedunia selalu diwarnai kemeriahan. Tidak hanya pawai dan arak-arakan, tiap tahun terjadi aksi demonstrasi dan pemogokan. Tuntutan yang disampaikan tak jauh berbeda dengan tuntutan yang kita dengar dan saksikan tiap 1 Mei kiwari, terutama soal upah.

Lalu ingatlah baik-baik, tunjangan hari raya (THR) yang tiap tahun kamu dapatkan menjelang perayaan hari besar keagamaanmu itu merupakan tuntutan berbagai serikat pekerja pada periode 1950-an. Para buruh konsisten memperjuangkannya dan tak segan-segan melakukan pemogokan agar tuntutan tersebut segera dipenuhi.

Pemerintah kala itu pun meresponsnya dengan menerbitkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951 yang berisi, pemogokan di perusahaan-perusahaan vital harus diselesaikan oleh Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan, dan perselisihan perburuhan yang terjadi di perusahaan-perusahaan yang tidak vital diselesaikan secara damai (konsiliasi) melalui instansi/ pegawai perantara perselisihan peburuhan di daerah-daerah.

Menurut Jafar, aturan larangan pemogokan tersebut menjadi kerangka awal keterlibatan militer dalam urusan perburuhan dan menjadi pola umum dalam menundukkan kaum buruh, yang berlanjut hingga Orde Baru.

Pada September 1951, pemerintah menerbitkan UU darurat untuk menggantikan peraturan sebelumnya yang militeristis. UU darurat tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan kemudian diganti menjadi UU RI No. 22 Tahun 1957. Pada kurun pergantian UU tersebut, tepatnya pada 1954, perjuangan buruh untuk THR menampakkan hasil. Sejumlah peraturan tentang pembayaran THR diterbitkan. THR pun ditetapkan sebagai hak buruh

Selain THR, di dekade 1950-an, isu buruh perempuan juga mendapat perhatian besar termasuk pengakuan pemerintah terhadap Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 yang mengatur kesetaraan upah buruh laki-laki dan perempuan pada 1957.

Gerakan Buruh Tak Ciut Direpresi

Di masa Orde Baru, Hari Buruh Sedunia tidak lagi diperingati. Buruh tidak lagi dibebaskan dari kewajiban bekerja tiap 1 Mei, bahkan peringatan May Day di masa kekuasaan Presiden daripada Soeharto masuk kategori kegiatan subversif karena diasosiasikan dengan ideologi komunis.

Istilah “buruh” diganti dengan “karyawan”. Sejak kekuatan politiknya mulai naik pada 1966, Soeharto memang membidik kelompok yang jumlahnya jauh melebihi seluruh tentara di bawah kekuasaannya.

Departemen Perburuhan pun namanya diubah menjadi Departemen Tenaga Kerja pada 27 Maret 1966. Awaloeddin Djamin yang menjadi menterinya mengaku, ia masih membiarkan Hari Buruh 1 Mei 1966 diperingati, tapi setelahnya ia menekankan bahwa Hari Buruh tidak cocok bagi bangsa ini. Alasannya sangat politis, yakni PKI dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) bisa menungganginya. Karenanya, sepanjang Orde Baru, peringatan Hari Buruh Sedunia dilarang.

Pemerintahan Orde Baru, seperti pemerintah penjajahan Belanda, bertindak represif pada buruh yang melakukan aksi mogok kerja. Pegiat hak buruh ditangkap bahkan dibunuh. Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, Jawa Timur adalah salah satu korban yang tewas pada Mei 1993. Tapi aksi represif tidak menyurutkan nyali para buruh. Tiap 1 Mei, buruh rutin beraksi di penjuru negeri dengan konsekuensi mendapat tindakan represif.

Era Orde Baru usai bersama lengsernya Presiden daripada Soeharto pada 1998. Walaupun bebas merayakan May Day, tapi bukan berarti buruh terbebas sepenuhnya dari tindakan represi. Buktinya, pascaratifikasi Konvensi ILO No. 81 tentang Kebebasan Berserikat Buruh yang disusul terbitnya UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, bentrokan antara buruh dan aparat keamanan, bahkan dengan sesama buruh sering terjadi.

Berbagai aksi saat Hari Buruh Sedunia marak lagi di era Reformasi. Tak hanya buruh yang berdemo, tapi juga ribuan mahasiswa menuntut agar 1 Mei kembali diperingati sebagai Hari Buruh. Tapi tuntutan itu berkembang di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang membuahkan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Akhirnya SBY menetapkan, Hari Buruh Sedunia resmi jadi hari libur nasional per 1 Mei 2014. Tapi urusan demonstrasi buruh tidak kelar hanya dengan menjadikan 1 Mei sebagai tanggal merah di kalender. Walaupun sudah diliburkan, buruh tetap menggelar May Day lengkap dengan tuntutan-tuntutan sesuai zaman dan isu yang berkembang di kalangan para pekerja.

Baca juga:  Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Permohonan Uji Materi UU Narkotika
Anarki yang Memihak Gerakan Buruh

Serombongan remaja, dinyatakan berjumlah 619, dengan outfit hitam-hitam dikumpulkan di halaman Polrestabes Bandung. Mereka diamankan di sana lantaran diduga melakukan kerusuhan pada peringatan May Day 2019. Pakaian serba hitam jadi penanda kalau enam ratusan remaja tersebut adalah anggota anarkosindikalis, walaupun hanya dua orang yang diproses dengan sangkaan kekerasan terhadap orang dan barang sesuai Pasal 170 Ayat 1 KUHP, lalu sisanya dipulangkan.

Sejak itu, anarkosindikalis kerap menjadi kambing hitam bahkan dijadikan hantu yang dibangkitkan oleh segelintir elite negeri ini untuk menakut-nakuti masyarakat. Tak sedikit warga yang ikut-ikutan memasang spanduk di lingkungan tempat tingggalnya. Isinya tentang ketidaksetujuan akan paham ini sebagaimana spanduk penolakan terhadap narkoba, komunisme, atau ISIS (Negara Islam Irak Suriah).

Kita juga mungkin masih ingat saat sejumlah pelaku vandalisme dengan cat semprot dibekuk polisi April tahun lalu. Kapolda Metro Jaya saat itu menyatakan, kalau mereka adalah anggota kelompok anarkosindikalis yang berencana membuat aksi besar-besaran berupa penjarahan di seluruh Jawa saat covid-19 baru dua bulan dinyatakan mewabah di Indonesia.

Pada 14 April 2020, sebuah media menayangkan video pengakuan Ketua Anarko-Sindikalis Indonesia yang tertangkap saat mencuri helm milik polantas di Kawasan Semanggi, Jakarta. Dalam video yang jadi bahan olok-olok warganet tersebut, orang yang mengaku bernama Pius Laut Labungan itu membenarkan kalau dia adalah Ketua Anarko-Sindikalis Indonesia yang punya sejumlah anak buah dengan tugasnya masing-masing yang ia beberkan lengkap dengan nama-namanya dipandu seseorang yang tak terlihat di layar.

Saat penayangan pengakuannya, Pius bertelanjang dada sehingga tampak tato huruf A lambang anarki yang memenuhi tubuh bagian depan dari dada sampai perutnya. Rajahan abal-abal itu sengaja ditampilkan untuk meyakinkan penonton bahwa Pius ini benar pentolan kelompok yang selama ini diuber-uber aparat. Sebagai dedengkot, wajar bila tubuhnya ditato lambang kelompoknya dengan ukuran yang tidak masuk akal.    

Yang teranyar adalah tuduhan bahwa kelompok ini merusak fasilitas umum mendompleng unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja, Oktober tahun lalu. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol. Argo Yuwono, peserta unjuk rasa yang terindikasi anarko sampai diamankan sebanyak 796 orang. Jumlah sebanyak itu tersebar di Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Jakarta Raya, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.

Penegak hukum jelas mencari kelompok yang bisa disalahkan dalam menuntaskan kasus-kasus perusakan fasilitas umum alias vandalisme. Apalagi selama ini kata “anarkis” sering dipakai untuk menyatakan pelaku perusakan fasilitas publik atau vandal. Terlebih, sejumlah figur publik dan praktisi media cenderung latah memakai istilah ini sehingga malah mencap buruk bahkan mengerdilkan filsafat politik tersebut hanya untuk menggambarkan perilaku vandal.

Sebagian anarkis dalam sejarahnya memang pernah memakai kekerasan, perusakan, bahkan pembunuhan demi mewujudkan cita-cita mengenyahkan kapitalisme dan otoritas kekuasaan (negara) yang melindunginya. Karena itu, anarkis kerap dikonotasikan vandal dan perusuh. Tapi, jalan kekerasan bukan semata milik anarkisme. Imperialisme, otoritariansime, atau feodalisme adalah tiga dari banyak contoh paham yang lebih sarat akan kekerasan.

Perkembangan Anarko-Sindikalis Global Termasuk di Negara +62

Kalau aparat penegak hukum harus menuntaskan dan mencari tahu siapa yang merusak fasilitas umum berbekal alat bukti yang ditemukan serta sesuai ketentuan pidana yang bisa menjeratnya, tidak demikian dengan para pengamat.

Para pengamat tidak dibebani kewajiban membuktikan bahwa seseorang memang merusak barang milik publik saat menjadi peserta demonstrasi. Mereka tidak pula secara ketat menjalankan asas praduga tak bersalah. Oleh karena itu, mereka jauh lebih woles menyampaikan pendapat sesuai bidang keahliannya ketimbang aparat. Tapi sebagai ilmuwan, para pengamat ini tidak boleh berbohong atas subjek yang diamatinya meskipun sangat mungkin mereka melakukan kesalahan pengamatan.

Terdapat sejumlah pendapat tentang kapan eksistensi anarki di Nusantara. Sebagai filsafat politik, anarkisme kerap melebur dengan paham lain seperti antipenjajahan, sindikalisme, kelestarian alam, bahkan komunisme. Interpretasi anti-otoriter dalam komunisme, kolektivisme, sindikalisme, mutualisme, atau ekonomi partisipatif dicerminkan oleh sebagian besar filsafat hukum dan ekonominya. Tak heran jika paham ini kerap dianggap ideologi kiri jauh.

Padahal, haram hukumnya bagi sebuah ideologi untuk collab bareng dua paham yang paradoks. Dalam konteks anarki, dua paham paradoks tersebut adalah individualisme dan kolektivisme

Sebagai filsafat politik, tentu anarkisme memiliki varian yang tak terkungkung oleh satu ideologi tunggal. Karena tidak menawarkan satu susunan doktrin yang mutlak dari satu pandangan dunia tertentu, maka banyak jenis dan tradisi anarkis eksis dan tidak semuanya eksklusif satu sama lain.

Baca juga:  Kegiatan Komunitas Gay di Tengah Wabah Korona

Asosiasi Pekerja Internasional 1864-1876 (L’Internationale I) didirikan dalam sebuah pertemuan pekerja yang diadakan di St. Martin’s Hall London, Inggris pada 1864. Organisasi internasional ini bertujuan menyatukan berbagai macam kelompok sosialis sayap kiri, kelompok komunis dan anarkis yang berbeda, serta serikat-serikat yang berasal dari kelas pekerja alias proletariat serta menjadikan perjuangan kelas sebagai dasar gerakannya.

Sejak L’Internationale I itu, anarkisme semakin menebarkan pemikirannya ke sejumlah negara mulai dari Amerika Selatan hingga Asia. Sedangkan di Nusantara, sebagian kalangan meyakini tokoh anarkisme pertama di tanah air adalah Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Teks-teks Multatuli memberikan pengaruh signifikan terhadap pekerja anarkis dan sindikalis di Belanda pada awal abad ke-20.

Pemberantasan PKI 1965-1966 turut membungkam tokoh-tokoh anarki di tanah air sampai paham ini tumbuh kembali lewat genre musik punk rock pada 1990-an. Kenapa harus punk rock? Karena ini satu-satunya genre musik yang secara filsafat politik berjejaring hingga tingkat internasional.

DR. Budi Rajab, Dosen Jurusan Antropologi FISIP Unpad yang pada May Day ini saya jadikan teman berbincang menjelaskan bahwa, prasyarat untuk mengembangkan paham anarkosindikalisme adalah pendidikan yang tinggi. “Sekarang ini yang menggerakkan anarkosindikalis di Inggris adalah anak-anak buruh yang menamatkan sekolah mereka,” tegasnya.

Tapi nampaknya prasyarat bersekolah formal yang tinggi itu bisa ditinggalkan sejenak. Anak-anak ini bisa mencari referensi atau bahan-bahan bacaan yang diperlukan di internet. Bahkan mereka tidak perlu lagi mendengar punk rock untuk menghayati filsafat politik anarkisme.

“Di zaman internet sekarang, sepertinya para anarko enggak perlu lagi dengar musik punk untuk menghayati anarkisme, banyak-banyak baca saja lewat internet. Dengar musiknya yang khas tanah air, bisa dangdut koplo, Panturaan, campur sari, atau Cianjuran,” pancing Budi begitu sadar kalau tatanan pendidikan pun telah berubah.

Menurutnya gerakan anarko tidak perlu ditakuti karena perjuangannya tidak akan pernah sampai mendirikan negara, tidak terorganisir. Itu kata kunci yang membedakannya dengan komunisme.

Kalaupun melakukan aksi, kebanyakan anarko melakukannya secara sporadis karena dari jumlah massa saja, siapa sih yang dengar musik punk rock? “Kalau mau lebih banyak yang masuk gerbong anarko, bikin musiknya yang merakyat lah, dangdut kek, Cianjuran kek,” tantang Budi, “Jangan segala yang dari Barat kita ambil. Emang hebatnya apa orang Barat itu?!”

Di Hari Buruh Sedunia tahun ini, kita simak yuk obrolan bareng Kang Budi tentang anarkosindikalisme yang sejak 2019, kiprahnya terus digaungkan sebagai perusak fasilitas-fasilitas umum yang kebetulan dilewati oleh massa demonstran. Siapapun demonstrannya, sepanjang ada kerusakan fasilitas publik, itu pastilah ulah anarko yang desperately butuh publikasi supaya masyarakat tahu kalau ini kelakuan mereka.

Sebagai organisasi yang sejak 2003 menyoroti stigma terhadap orang-orang dengan HIV, Rumah Cemara tercengang dengan stigma yang ditanamkan ke para anarko tersebut. Ini sudah di luar kaidah stigma dan diskriminasi. Bayangkan saja, pengakuan ketuanya disiarkan televisi nasional dengan bertelanjang dada demi menampilkan tato yang kesakralan ukurannya tidak mungkin dimiliki sembarang orang.

Upaya stigmatisasi ini bukan saja memberi kesan kuat kalau penganut paham ini identik dengan perusakan fasilitas umum yang ditandai dengan coretan cat semprot lambang anarki. Mereka terlatih mengidentifikasi diri sebagai sindikat yang tahu persis ukuran kertas yang kerap dipakai berbagai usaha percetakan di Indonesia.

Kalau kita perhatikan video pengakuan Ketua Anarko-Sindikalis Indonesia, ia fasih sekali menyebut ukuran-ukuran kertas mulai dari A1, biasanya untuk membuat poster album musik menggunakan glossy paper dan bingkai akrilik, A4 yang kerap dipakai untuk fotokopi buku-buku teks di daerah kampus. Lalu ukuran A3 untuk mencetak menu di warung-warung makan yang biasanya baru buka, dan A2 untuk fotokopi selebaran acara.

Beberapa pandangan pengamat sudah bertebaran dan bisa kita simak di beragam media daring, tapi Kanal Indonesia Tanpa Stigma menawarkan pandangan yang beda dan belum pernah dijelaskan para pengamat secara gamblang. Maka simak deh obrolan Patri Handoyo, Pengasuh Padepokan Media Rumah Cemara dengan Budi Rajab, Dosen Jurusan Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.

Audiografer: Budi Itong
Videografer: Eric Arfianto
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.