Masih ingat Rafli Kande? Itu lo, anggota DPR RI asal daerah pemilihan Aceh yang awal tahun ini usul agar Indonesia ekspor ganja.
Kita tidak pernah dengar kabar kelanjutan usulan itu lagi saat hampir semua orang sekarang sibuk bahas penanggulangan covid-19 beserta dampak krisis yang ditimbulkannya.
Kalau jajaran Pemerintahan Jokowi menjawab krisis ini dengan berbagai paket wisata murah di awal-awal wabah, tidak dengan Lebanon. Parlemen negara di barat laut jazirah Arab ini, pada 21 April lalu mengesahkan budi daya ganja untuk keperluan medis. Satu-satunya penolak usulan itu adalah Partai Hizbullah.
Selama ini, ganja dalam bentuk hasish atau damar ganja didatangkan secara ilegal dari Lebanon ke negara-negara Afrika dan Eropa. Maret lalu saja, polisi menggagalkan upaya penyelundupan 25 ton hashish ke Afrika. Dikutip dari sejumlah portal, negara berpenduduk kurang dari lima juta jiwa ini berharap budi daya ganja bisa meningkatkan pemasukan ekspor.
Alain Aoun, anggota parlemen senior dari Partai Gerakan Patriot Bebas yang didirikan Presiden Michel Aoun itu mengatakan, mereka yakin legalisasi ganja mampu mendongkrak pendapatan negara dan mengembangkan sektor pertanian di Lebanon. Menyusul adanya aturan baru itu, mereka pun mengesahkan sejumlah lahan pertanian ganja ilegal yang sudah ada.
Menyinggung pengesahan aturan budi daya ganja itu, Aoun juga menyatakan, “Kami memiliki reservasi moral dan sosial tetapi hari ini ada kebutuhan untuk membantu ekonomi dengan cara apa pun.”
Seperti di tanah air, ganja juga ilegal di Lebanon. Walaupun demikian, tanaman itu dibudidayakan secara terbuka di Lembah Bekaa kawasan timur negeri itu. Supaya keuntungan niaganya tidak hanya dinikmati sindikat penjahat, sejak 2018 lalu pemerintah mengkaji ganja untuk menghasilkan produk obat bernilai tambah untuk ekspor. Sebuah perusahaan konsultan swasta asal AS ditugaskan untuk melakukan kajian tersebut.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari peresmian budi daya ganja Lebanon. Sebagaimana kita tahu, kawasan Aceh terkenal dengan ladang-ladang ganjanya. Rafli Kande sebagai putra Aceh yang duduk di parlemen tentunya sangat paham kondisi daerahnya. Maka, ia mengusulkan ekspor ganja saat rapat dengan Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto Januari lalu. Rafli bahkan bersedia menyiapkan lahan dan meminta pemerintah tidak kaku terhadap ganja.
Saya cukup yakin, Rafli tidak dapat untung dari bisnis ganja di Aceh. Sebab, orang-orang yang selama ini mendapat keuntungan dari budi daya dan penjualan ganja di Aceh pasti akan berusaha sekuat tenaga supaya kerangka ekonominya tetap ilegal bukan sebaliknya. Di Lebanon, hal itu diperlihatkan Hizbullah saat rapat pengesahan aturan budi daya ganja di parlemen.
Hizbullah merupakan organisasi politik dan paramiliter yang selama ini berbasis di Lembah Bekaa tempat ladang-ladang subur ganja berada. Sejumlah laporan menyatakan organisasi ini mendapat keuntungan dari budi daya dan penjualan ganja ilegal di sana. Karena itu saat rapat di parlemen, Partai Hizbullah menjadi satu-satunya fraksi yang menolak usulan peresmian budi daya ganja untuk kebutuhan pengobatan.
Tentu saja mereka kalah suara, sehingga Lebanon menjadi negara Arab pertama yang meresmikan budi daya ganja sejak 21 April lalu.
Di Indonesia mungkin saja belum sampai pada taraf sebuah partai politik mendapat pendanaan dari bisnis narkoba ilegal. Berbagai penolakan politikus atas usulan untuk meresmikan budi daya atau produksi sebuah narkoba selama ini lebih dilatari popularitas sikap antinarkoba di masyarakat. Seorang anggota partai politik tentu tidak mau suaranya tergerus pada pemilu gara-gara setuju legalisasi ganja, misalnya.
Walaupun belum pada taraf mendapat pendanaan dari bisnis narkoba ilegal, setidaknya belum ada bukti, tapi sikap-sikap antinarkoba para politikus justru membuat bisnis komoditas tersebut semakin menguntungkan karena dikelola secara gelap. Saking menguntungkannya, mungkin saja suatu waktu nanti kita dengar ada partai politik di Indonesia yang mendapat dana dari hasil bisnis narkoba. Maklum, biaya pemenangan pemilu sangat besar!
Bila demikian, maka wajar kalau sikap antinarkoba politikus dinilai mengakomodasi narkoba untuk terus dikelola pasar gelap supaya keuntungannya berlipat ganda serta bebas pajak dan partai politik mendapat pendanaan dari bisnis komoditas ini seperti yang dilakukan Hizbullah di Lebanon.
Aceh dan Lembah Bekaa di Lebanon sama-sama terkenal akan ladang-ladang ganjanya. Sebelum 21 April 2020, potensi ekonomi ganja di Lembah Bekaa tidak bisa dikelola negara karena status ilegalnya sama seperti di Aceh. Tapi Lebanon tidak mau potensi tersebut hanya dikuasai oleh segelintir orang. Maka, mereka berupaya agar ganja bisa mereka kelola terutama untuk menghasilkan devisa.
Kini ganja resmi menjadi komoditas ekspor di Lebanon sebagaimana yang Rafli Kande, anggota Fraksi Partai Keadilan dan Sejahtera DPR RI, pernah usulkan untuk Indonesia.