Kebijakan Liberalisasi pada dasarnya sama dengan Kebijakan Pelarangan. Ekses yang ditimbulkan yaitu masyarakat menjadi korban dan bandar-bandar, dalam hal ini pelaku industri NAPZA yang legal, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini disebabkan oleh prinsip dasarnya yang meminimalkan atau bahkan menghapus intervensi pemerintah dengan penurunan atau bahkan penghapusan hambatan kegiatan-kegiatan ekonomi.
Liberalisasi ditandai dengan kampanye positif (promosi atau periklanan) di ruang-ruang publik untuk meningkatkan konsumsi produk. Pada produk yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen dan berdampak sosial, kebijakan ini juga meningkatkan masalah-masalah sosial dan kesehatan di masyarakat.
Sebagai contoh liberalisasi tembakau yang jelas menguntungkan produsennya, menimbulkan biaya kesehatan Rp14,5 triliun pada tahun 2007 terkait masalah merokok. Belum lagi jika dikaitkan dengan kesejahteraan buruh rokok yang masih tergolong buruk untuk produk yang mampu menyumbang 5% dari total pendapatan Indonesia dalam setahun.
Pada prakteknya negara, dengan melarang maupun meliberalkan NAPZA, malah melepas kendali kepada dua kekuatan yang masing-masing memiliki motif sama: mencari laba. Penerapan liberalisasi berarti negara melepaskan kendali kepada pelaku industri di pasar terang, sah terdaftar sebagai produsen maupun distributor.
Jika negara menerapkan Kebijakan Liberal (dilegitimasi melalui peraturan perizinan untuk produksi, promosi, pajak [yang bisa dimanipulasi], dsb.), maka kekuatan modal berinteraksi dengan konsumen NAPZA melalui Kerangka Ekonomi Pasar Bebas. Yang menjadi motor pengeruk laba adalah buruh pabrik, distributor resmi, sales, bartender, termasuk oknum dokter, apoteker, dst.
Untuk mengurangi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan NAPZA yang diliberalisasi, upaya-upaya pembatasan dilakukan.
Liberalisasi dengan Pembatasan
NAPZA yang saat ini telah menjadi industri dalam kerangka ekonomi pasar bebas (liberalisasi), seperti tembakau dan alkohol serta farmasi, harus dibuat regulasinya agar dapat mengurangi dampak sosial dan kesehatan dari industri tersebut. Pembatasan usia untuk pembelian dan pembatasan lokasi seperti “ruang publik bebas asap rokok” merupakan beberapa contoh regulasi untuk tujuan tersebut.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah dan legislatif juga perlu mempertimbangkan agar regulasi yang dibuat untuk tujuan mulia ini tidak membunuh industri-industri kecil dalam negeri. Di sisi lain, tidak pula melanggengkan kekuasaan produsen multinasional di pasar dalam negeri.
Liberalisasi dengan Pembatasan tidak terutama ditujukan bagi NAPZA yang saat ini dilarang atau ilegal. Kebijakan ini diterapkan menyusul sejumlah dampak yang terjadi di masyarakat atas konsumsi NAPZA yang berada dalam kerangka ekonomi pasar bebas atau liberal seperti tembakau, alkohol, serta berbagai obat untuk keperluan medis.
Ketidakterkendalian tempat konsumsi NAPZA kerap menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Contohnya merokok. Pembatasan tempat-tempat merokok serta usia calon konsumen kemudian diterapkan. Tidak hanya konsumsi, penjualan secara liberal juga tentu akan membawa dampak merugikan terhadap masyarakat. Gerai-gerai penjualan, secara langsung maupun tidak, melakukan promosi demi meningkatkan angka penjualan.
Pembatasan konsumsi juga banyak diterapkan melalui pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap suatu NAPZA. Namun hal ini justru akan berdampak pada industri-industri kecil lokal khususnya jika cukai harus dibayar terlebih dulu oleh produsen.