close
Kebijakan

Penguasaan Narkoba oleh Negara dan Rakyat

opi

Ganja adalah tanaman dengan beragam potensi. Manusia telah memanfaatkan tanaman ini sejak ribuan tahun lalu. Tidak hanya mengandung zat psikoaktif, tanaman ini juga memiliki serat yang kuat, nutrisi yang tinggi, dan minyak untuk energi terbarukan. Bangsa Mesir Kuno sudah menggambarkan ganja untuk pengobatan dalam naskah papirus yang berasal dari 1550 SM.

Sayangnya, ingatan manusia akan potensi-potensi tersebut tergerus oleh penerapan sebuah kesepakatan internasional yang ditandatangani pada 1961. Ganja (Cannabis sativa), bersama koka (Erythroxylaceae) dan opium (Papaver somniferum), dikategorikan sebagai narkotika. Kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan dengan pengawasan ketat, pemanfaatan ganja dilarang di negara-negara anggota PBB.

Dua tanaman yang disebut terakhir juga memiliki sejarah panjang pemanfaatannya oleh umat manusia. Artikel ini akan mengulas pelarangan dan skema penguasaan ganja sebagai hal yang juga berlaku dan bisa diterapkan untuk bahan-bahan psikoaktif lain, dikenal sebagai narkoba (drugs), khususnya yang berupa tanaman.

Lebih spesifik, bahan dan tanaman yang mengandung zat psikoaktif tersebut saat ini dilarang pemanfaatannya kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).  

Sebuah skema pengaturan, pengendalian, dan penguasaan diperlukan agar bahan-bahan ini tidak dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mengeruk laba sebesar-besarnya baik melalui kerangka ekonomi pasar gelap maupun kerangka ekonomi pasar bebas.

Tanaman Pekarangan

Meliputi seluruh tumbuh-tumbuhan yang terdaftar dalam Lampiran 1 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Diperbolehkan untuk ditanam secara pribadi (swatanam) sebagai tanaman pekarangan, dapat dimanfaatkan khasiatnya untuk keperluan pribadi.

Kewenangan Sektoral. Sebagai tanaman yang dapat dibudidayakan, tentunya pengadaan bibit, penyemaian, dan perlindungan terhadap varietas tanaman-tanaman tersebut mutlak dibutuhkan. Kewenangan tata kelola untuk hal-hal tersebut berada di Kementerian Pertanian.

Selain pemerintah, masyarakat melakukan swatata kelola untuk tanaman-tanaman jenis ini mulai dari informasi mengenai kebijakan pengendalian tanaman tersebut hingga pengawasan sosialnya. Diperlukan juga kewenangan Kementerian Perindustrian terhadap penguasaan tanaman-tanaman ini untuk keperluan industri demi mencegah terakomodasinya permintaan langsung dari luar negeri kepada para penanam individual.

Hal ini didasarkan pada disparitas harga yang tentu akan sangat tajam atas masih adanya penerapan pelarangan/kriminalisasi di luar negeri yang menjadi godaan besar bagi individu untuk mengomersialkan hingga skala ekspor tanaman peliharaannya.

Perolehan dan Penyerahan. Terutama untuk bibit, individu yang ingin memperolehnya untuk memelihara tanaman tersebut melakukan pendaftaran ke sektor pemerintahan terkait di daerah masing-masing. Penyerahan bibit atau tunas siap tanam harus disertai informasi yang disepakati atas risiko pemanfaatan khasiat oleh individu yang memeliharanya serta ketentuan pidana atas penyalahgunaan peruntukkan tanaman.

Baca juga:  Undang-Undang Narkotika Sebabkan Lapas Kelebihan Penghuni

Harga. Dekriminalisasi suatu barang sehingga sah untuk dimiliki, dalam hal tanaman (mahluk hidup): serta dipelihara, siapapun akan menurunkan nilai ekonomisnya. Izin yang memperbolehkan atau ketiadaan larangan bagi setiap orang untuk menanam misalnya koka (atau pandan – sebagai imbangan analogi) di pekarangan rumahnya masing-masing untuk keperluan pribadi akan secara otomatis hampir meniadakan nilai jualnya.

Tidak semua orang membutuhkan koka (atau pandan) untuk keperluan apapun. Kalaupun ada yang yang butuh namun tidak menanamnya, tinggal meminta ke tetangga-tetangganya. Terlebih ketika tanaman-tanaman yang tadinya dilarang ini sudah dianggap sebagai tanaman liar (tumbuh subur dengan sendirinya dimana saja tanpa pemeliharaan seperti krokot, alang-alang, atau kelor yang padahal memiliki sejumlah manfaat). Dengan sendirinya tanaman-tanaman ini akan terabaikan, bahkan dianggap mengganggu keindahan dan pertumbuhan tanaman utama sehingga dicabuti dan dibuang.

Ketiadaan larangan tidak serta-merta membuat semua orang menanam ganja sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Sebelum 1976, sebagai contoh, tidak semua orang Aceh menanam ganja.

Ketika ganja sudah dianggap sebagai tanaman liar, dengan sendirinya akan terabaikan. Walaupun krokot (Portulacaceae), kelor (Moringa Oleifera), atau alang-alang (Imperata Cylindrical), contohnya, memiliki khasiat pengobatan, keberadaannya kerap dianggap mengganggu keindahan atau mengganggu pertumbuhan tanaman lain sehingga dicabuti dan dibuang. Inilah yang diharapkan dari penetapan ganja sebagai tanaman pekarangan dalam jangka panjang.

Tanaman Industri

Saat ganja, koka, dan opium boleh ditanam di pekarangan, mungkin negara-negara lain masih memberantasnya sehingga terjadi disparitas harga yang menjadi peluang bisnis menggiurkan. Negara harus mengambil alih budi daya tanaman-tanaman tersebut yang berpotensi untuk dikomersialkan. Dengan anggaran negara, perkebunan berskala luas yang menyerap banyak tenaga kerja sangat dimungkinkan. Komersialisasi oleh sektor privat bisa diminimalkan bahkan dicegah.

Mekanisme pajak dapat diberlakukan bagi sektor privat yang mengolah terutama yang dijadikan produk-produk inovatif. Namun, pemanfaatan tanaman untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap dikuasasi negara.

Meliputi seluruh tumbuh-tumbuhan yang terdaftar dalam Lampiran 1 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ditujukan untuk keperluan industri yang dikuasai oleh negara terutama dalam hal pembibitan, pembudidayaan, hingga proses manufaktur/produksinya. Akan terdapat dua jenis produk jadi dari industri tanaman-tanaman ini, yaitu:

1) Produk untuk konsumsi tubuh: obat makanan dan minuman – tunduk pada tata kelola Narkoba Pabrikan/Laboratorium untuk Konsumsi Tubuh; dan

Baca juga:  Indonesia Darurat Kebijakan Berbasis Ilmiah

2) Bermacam jenis produk non konsumsi tubuh yang secara inovatif menjadi substitusi komoditas yang selama ini dikonsumsi secara massal seperti bahan bakar, berbagai serat (kertas, plastik, tekstil), bahan bangunan, biopestisida, dll.

Kewenangan Sektoral. Untuk produk-produk konsumsi tubuh, kewenangan tata kelolanya berada di Kementerian Kesehatan dan Badan POM, sementara untuk produk non konsumsi tubuh kewenangan sektoralnya disesuaikan dengan jenis produk: Kementerian ESDM untuk produk bahan bakar; Kementerian Pertanian untuk berbagai macam serat dan biopestisida; Kementerian Lingkungan Hidup untuk pembudidayaan tanaman penyerap polusi, pencegah tanah longsor, dsb. Tentunya masing-masing sektor memerlukan koordinasi dalam pengolahan tanaman-tanaman industri tersebut.

Perolehan dan Penyerahan. Karena merupakan industri yang ditujukan untuk konsumsi massal dengan skala yang luas, maka perolehan dan penyerahannya dikendalikan sepenuhnya oleh negara. Hal ini untuk mencegah komersialisasi tanaman pekarangan individu karena ketiadaan perbedaan jenis saat masih menjadi tanaman. Ketika sudah menjadi sebuah produk, penyerahan dilakukan oleh sektor-sektor terkait kepada penyalur dan/atau gerai-gerai resmi.

Harga. Sebagai produk substitusi yang inovatif, harga mutlak ditetapkan di bawah produk yang disubstitusikannya. Dalam hal ini, negara dianggap melakukan investasi, membelanjakan dana yang proporsional di depan (in advance) untuk penelitian-penelitian, proses produksi, dan awal pendistribusian untuk berbagai keuntungan atau manfaat jangka panjang: terutama kelestarian sumber daya alam dan kesejahteraan rakyat.

Produk Laboratorium untuk Konsumsi Tubuh

Narkoba dalam kategori ini merupakan produk jadi olahan laboratorium pabrik, ditujukan untuk keperluan medis dan/atau rekreasional pribadi. Dari kerangka ekonomi pasar gelap meliputi produk jadi Narkotika Golongan I dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 yang tentu saja melalui survei nasional dibutuhkan atau banyak secara ilegal dikonsumsi rakyat. Produk dari kerangka ekonomi pasar bebas meliputi minuman beralkohol, rokok, serta produk farmasi.  

Kewenangan Sektoral. UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebenarnya telah mengatur mengenai:

1) Pengadaan – Bab IV yang meliputi Rencana Kebutuhan Tahunan, Produksi, Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penyimpanan dan Pelaporan;

2) Peredaran – Bab VI yang meliputi [Pemahaman] Umum, Penyaluran, dan Penyerahan;

3) Label dan Publikasi – Bab VII;

4) Perkursor Narkotika – Bab VIII yang meliputi Tujuan Pengaturan, Penggolongan dan Jenis, Rencana Kebutuhan Tahunan, dan Pengadaan;

5) Pengobatan dan Rehabilitasi – Bab IX;

6) Pembinaan dan Pengawasan – Bab X.

Keenam bab tersebut termasuk Bab V tentang Impor dan Ekspor merupakan pengaturan administratif yang dapat diaplikasikan dalam tata kelola narkoba yang dimaksud pada bagian ini. Beberapa di antaranya harus diaplikasikan untuk produk yang dikelola oleh sektor privat secara proporsional. Karena narkoba yang melalui proses pabrikasi laboratorium ini merupakan produk jadi siap konsumsi, maka kewenangan berada di bawah Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Baca juga:  Jangan Lupakan Pemasyarakatan dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Penyerahan dan Perolehan. Hal ini menyangkut prosedur perolehan (sisi konsumen) dan penyerahan (sisi profesi) produk. Pasien dapat memperoleh produk narkotika untuk tujuan medis dan/atau rekreasi berdasarkan indikasi yang didiagnosa tenaga profesional; dapat memiliki dan menyimpan untuk dirinya sendiri dengan memiliki bukti sesuai ketentuan resmi.

Sementara dari sisi profesi penyerahan dilakukan oleh rumah sakit, apotek, puskesmas, balai pengobatan pada pasien berdasarkan resep tenaga profesional berdasarkan indikasinya. Hal ini juga berlaku untuk produk farmasi zat psikoaktif yang tidak tercantum dalam Lampiran 1 UU Narkotika.

Untuk produk non farmasi (rokok, miras), penyerahan dilakukan di gerai-gerai resmi oleh tenaga profesional terlatih untuk mengenali konsumsi bermasalah, memberi informasi keamanan dan saran kesehatan atas konsumsi napza serta memberikan rujukan ke layanan-layanan lain yang mungkin dibutuhkan.

Label dan Publikasi. Label pada kemasan produk harus mencantumkan dengan jelas informasi mengenai:

1) Kandungan, baik istilah teknis maupun populer;

2) Dosis yang Dianjurkan;

3) Khasiat dan Efek Samping,

4) Risiko Umum dan Spesifik seperti keracunan akut dan kronis, ketergantungan, dampak terhadap janin, konsumen dengan kelainan jantung, dsb.;

5) Risiko Sekunder: pengaruh terhadap konsentrasi berkendara, bekerja dengan mesin, dsb.;

6) Pengurangan Dampak Buruk: bagaimana meminimalkan risiko;

7) Kontraindikasi;

8) Dimana Mendapat Informasi Lebih Lengkap serta Layanan Penunjang;

9) Ketentuan Legal sebagai tanggung jawab produsen, seperti, “Hanya untuk yang Berusia Lebih dari 18 Tahun”, “Hanya Dikonsumsi oleh Nama yang Tertera sebagai Konsumen/Pasien,” dll.;

10) Jaminan Keaslian Produk dan Harga Eceran Tertinggi (HET); serta

11) Tanggal Periode Konsumsi.

Narkoba dalam kategori ini hanya dapat dipublikasikan pada jurnal-jurnal ilmiah bidang keilmuan terkait.

Harga. Penentuan harga narkoba dalam kategori ini ditentukan oleh pemerintah dengan menekankan pada keseimbangan antara upaya meruntuhkan kerangka ekonomi pasar gelap termasuk pemalsuan produk dengan perlindungan kesejahteraan masyarakat yang terbagi atas: konsumen (termasuk calon konsumen); dan daya saing produk sektor privat lokal. Pertimbangan tersebut berlaku pula untuk penentuan HET yang didasarkan atas kandungan bukan merk terutama untuk produk-produk sektor privat.

Untuk tulisan lengkap, silakan baca Menggugat “Perang terhadap Narkoba“.******

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.