Kalau ditanya kapan peringatan Hari AIDS Sedunia, pasti sudah banyak yang tahu. Ya, setiap 1 Desember, di berbagai tempat berlangsung peringatan Hari AIDS Sedunia atau World AIDS Day ini.
Tapi, selain Hari AIDS Sedunia (HAS), sebenarnya ada lagi satu momentum yang tidak kalah pentingnya untuk terus diperingati tiap tahun. Pernahkah dengar Malam Renungan AIDS Nusantara atau sering disingkat MRAN? Kegiatan yang secara internasional disebut The International AIDS Candlelight Memorial ini biasanya diperingati setiap tahunnya pada minggu ketiga di bulan Mei.
Bisa jadi MRAN tidak sepopuler HAS. Tapi, arti penting MRAN bagi kita semua, terutama para aktivis HIV-AIDS, orang dengan HIV-AIDS (ODHA) serta orang yang di sekelilingnya merupakan hari yang dapat dijadikan momen untuk memberitahukan kepada semua orang mengenai bahaya HIV-AIDS dan bagaimana menanggulanginya secara manusiawi.
Jika Hari AIDS Sedunia merupakan gerakan yang dibangun tokoh-tokoh dunia, Malam Renungan AIDS atau The International AIDS Candlelight Memorial ini merupakan gerakan dan semangat yang berasal dari masyarakat. Tujuannya, untuk mengenang saudara, kakak, istri, anak, suami, pacar, dan teman dekat yang meninggal karena AIDS. Mereka bersama-sama memberikan dukungan kepada orang yang hidup dengan HIV-AIDS, membangkitkan kesadaran akan bahaya HIV, serta menggugah kita semua untuk terlibat aktif dalam upaya melawan HIV dan AIDS.
Dari sejarahnya, kegiatan ini pertama kali dilakukan di San Francisco, Amerika Serikat pada 1983. Selanjutnya, berkembang menjadi kegiatan internasional di ratusan kota seluruh dunia. Mereka serentak menyelenggarakan acara ini bersama-sama.
Lalu bagaimana di sini, di tanah air kita? Di Indonesia, sebenarnya kegiatan ini sudah berlangsung sejak 1991. Tapi, baru lima tahun kemudian (1996) Malam Renungan AIDS Nusantara ini diperingati secara meluas di berbagai tempat.
Melalui MRAN, kita semua diajak untuk merenungkan sejenak betapa AIDS telah banyak merenggut jiwa saudara kita, teman kita, pacar kita, atau keluarga kita. Semangat yang ada di balik renungan ini adalah ajakan bagi kita untuk memberi dukungan kepada orang dengan HIV-AIDS dan yang hidup dengan mereka. Kita juga diajak untuk lebih peduli terhadap masalah AIDS dan turut ambil bagian dalam menanggulangi AIDS sesuai kemampuan kita.
Biasanya, penyelenggaraan MRAN sering ditandai dengan menyalakan lilin. Cahayanya memang tidak sebenderang lampu listrik, namun cahaya lilin tetap dapat mengurangi gelapnya tempat kita. Cahayanya yang redup juga memberikan ketenangan bagi mereka yang hendak merenungkan betapa kita masih harus terus berjuang mengatasi penyebaran HIV dan AIDS di sekitar kita bersama-sama.
Setiap Mei, berbagai pelosok bumi merenungkan makna pentingnya kebersamaan dalam menanggulangi epidemi ini. MRAN menjadi momentum penuh arti untuk memberikan penghargaan dan dukungan terhadap teman kita yang telah meninggal dunia karena AIDS. Demikian pula untuk rekan-rekan atau suadara kita yang sampai saat ini masih bertahan hidup, tapi bukan menunggu kematian, karena mereka sesungguhnya berdaya dalam mengisi waktu hidupnya.
Informasi lebih jauh tentang Malam Renungan AIDS dapat dilihat dalam link berikut:
http://www.candlelightmemorial.org/
Mohon maaf, bukannya saya merasa lebih tau, tapi bukankah sebaiknya kita bersandar pada nilai-nilai budaya Timur?
Menyalakan lilin di sebuah acara renungan adalah cara-cara Barat. Menurut saya, mohon maaf, akan lebih baik jika dalam mengenang orang-orang yang telah mendahului kita, orang-orang yang hadir membaca kitab suci agama yang kita anut.
Saya tidak begitu tahu apa sebenarnya makna dari menyalakan lilin. Tapi, mohon maaf, mungkin Kang Tri Irwanda juga pasti tau bahwa selain mendapat pahala, membaca kitab suci akan menenangkan baik yang membacanya maupun keluarga yang ditinggalkan.
Semoga kita semua berada di jalan yang lurus, jalan yang diridhoi oleh-Nya… Amin!